NAMA Perusahaan Film Negara (PFN) hampir saja terlupakan. Mung
kin hanya mereka yang tinggal jauh dari jangkauan bioskop dan
TVRI, masih berkenalan dengan kegiatan PFN lewat film
penerangannya. Di kota besar, sebelum film diputar di bioskop
biasanya penonton disuguhi film' pendek (2,5 - 7,5 menit)
Membina Hari Esok dengan cap PFN. Kerja laboratoriumnya hampir
terbenam dengan nama Universal Lab. Hongkong, Perfini,
Sarinande, dan pendatang baru Inter Studio. Film dokumenter yang
ditangani PFN, belakangan juga merosot. PFN yang pernah besar
dulu itu kini nyaris jadi dongeng.
Pekan lalu Dirjen Radio, Televisi dan Film (RTF) drs Soemadi
melantik drs Gufron Dwipayana, menjadi Direkrur baru Pusat
Produksi Film Negara (PPFN) menggantikan Padma Astradiningrat.
Sarjana publisistik lulusan UI yang dikenal sebagai kepala
bagian media massa Sekretariat Negara (Sekneg) ini tugasnya
tidak ringan. Apalagi Dwipa, 46 tahun, masih harus merangkap
jabaran.
Management tidak beres, kemampuan karyawan juga harus didorong
dengan tuntutan dunia film kini. Dari 350 karyawan (40 masih
honorer termasuk direktur lama sendiri), hanya 120 saja yang
terlibat langsung dengan kerja film. Seperti yang dikatakan
Dirjen Soemadi, itu "merupakan ketimpangan yang selekasnya perlu
dibereskan. Tapi tidak berarti akan dilakukan rasionalisasi
secara drastis."
Sejak TVRI mengambil alih sebagian tugas penerangan
pemerintah--menyajikan film pengguntingan pita misalnya
--kedudukan PFN memang agak kabur. Ditambah karena sistim
organisasi yang merosot, perlahan-lahan film seri pembangunan
PFN Gelora Indonesiapun menghilang. Ketika awal tahun 1970
film Indonesia mulai bernafas, kalangan film hanya mengenal
PFN lewat studio rekaman suara dan editingnya saja. Kini
dengan dana Rp 1,5 milyar, PPFN sudah memiliki fasilitas
prosesing laboratorium yang, meskipun kecil, cukup memadai.
Dengan itu, sejak Juli tahun kemarin, PPFN sudah bisa
melaksanakan seluruh pekerjaan film. Film-filmnya tidak lagi
diproses di Hongkong atau di Tokyo. Meskipun demikian, kata
bekas Direktur PPFN, Padma Astradiningrat: "Belum berani terima
pekerjaan dari luar. Sebelum PPFN yakin benar hasil prosesing
itu baik." Ia memang tidak mau gegabah, walau sebenarnya PPFN
punya banyak kesempatan baik.
Tapi kini timbul persoalan baru untuk melayani perlengkapan
modern itu. Seperti dikeluhkan Padma, yang juga sudah dilihat
Dwipayana, yakni bagaimana mengandalkan tenaga yang ada, yang
kebanyakan sudah setengah umur dan meskipun sudah ditatar untuk
memenuhi tuntutan dunia film, masih memprihatinkan. "Dengan
tawaran gaji pegawai negeri, akan tertarikkah sarjana kimia
bekerja di laboratorium prosesing itu?" tanya Padma.
Dari pengalaman Dwipayana sendiri, setelah melihat film produksi
PFN, banyak kekurangan dijumpai pada cara kerja karyawannya.
Tapi, kata Dwipa, "saya kira diperlukan peningkatan kemampuan
mereka, sambil bekerja."
Untuk menyelenggarakan kegiatannya PPFN mempunyai sumber
Anggaran Rutin dan Pembangunan. Tahun 1977/1978 ini dari Rutin
mendapat Rp 300 juta, dan Pembangunan Rp 1,3 milyar. Dana
Anggaran Pembangunan ini digunakan untuk membiayai pembuatan
film dokumenter (30 menit), film pembangunan (10 menit) dan
direncanakan membuat film cerita (1,5 jam).
Di-Perum-kan
Dibiayai anggaran Pembangunan 76/77 sebesar Rp 60 juta PPFN juga
membuat film cerita Kelabang Hitam dan Warok, tanpa menurunkan
bintang pop. Tapi sejak 1976 lalu belum selesai juga, karena
keruwetan administrasi. Nampaknya di bawah Dwipayana nanti,
pembuatan film cerita bukan menjadi prioritas utama. Yang jelas
sebelum itu diperlukan setidaknya setahun untuk memberesi PPFN,
agar kembali sehat.
Bagaimana kalau PPFN di-Perumkan.?
"Kalau di-Perum-kan, dengan kondisi yang sekarang, belum mampu.
Pada tahap pertama dalam 5 tahun mendatang, kita lihat dulu
prospeknya untuk Perusahaan Jawatan," kata Dirjen RTF Soemadi.
Menurut dia, masalah mendesak yang harus diperhatikan menghadapi
prospek ke depan adalah, "pengelolaan PPFN secara perusahaan:
ekonomis dan rasionil "
Ide ke arah Perum itu juga diragukan oleh Padma, dengan alasan
lain. "Untuk menjadi Perum masih berat saya kira. Sebab itu
berarti dihentikannya subsidi, dan peremajaan," kata Padma.
"Masalahnya kemudian psikologis dan kemanusiaan," katanya.
Peremajaan toh barangkali sudah waktunya. Sejarah PFN cukup
ruwet. Ia dilahirkan September 1945 dengan nama Berita Film
Indonesia (BFI). Berada di bawah Kementerian Penerangan BFI
menjadi organ pemerintah, yang bertugas membuat dan mengedarkan
film yang mengobarkan semangat perjuangan rakyat melawan
Belanda. Pernah mengungsi ke Surakarta, ketika Aksi Militer
Belanda, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta pada tahun 1949,
dan mengalami peleburan dengan Regerings Film Bedryfs menjadi
Perusahaan Pilem Negara (PPN). Ketika RIS kembali pada bentuk
Negara Kesatuan, tahun 1950 PPN berubah jadi Perusahaan Film
Negara (PFN)
"Saya masih ingat ketika itu kita cuci film masih pakai
kotak-kotak kayu, dan melakukan opname film dengan kamera
sederhana," kata SD Hutapea yang bekerja di PFN sejak tahun
1950-an.
Dikoordinir RM Soetarto, PFN tahun 1956 pernah dipecah menjadi 3
dinas Film Cerita (Difta), Film Penerangan (IFP), dan Central
Film Laboratory (FI,) Disatukan kembali ke PFN tahun 1960.
Kedudukannya pernah berada langsung di bawah koordinasi Menteri
Penerangan, tapi berdasar SK Menpen No. 10, 11 dan 12 tahun
1970, kedudukannya berada di bawah koordinasi Ditjen RTF.
'Lucunya dulu pihak Ditjen Pajak sering menyodori formulir isian
pajak, sebab ada kata Perusahaan pada PFN," cerita Padma.
Masih Dibayar
Mungkin untuk mencegah salah paham berlanjut itu, sambil
mendudukkan pada peranannya, PFN bersalin ke PPFN berdasar SK
Menpen 55a/55b tahun 1976.
Sebagai organ pemerintah yang menjelaskan setiap kebijaksanaan,
sudah banyak film dokumenter yang dibuatnya, seperti yang
terakhir Hama Wereng dan Inseminasi buatan. Film cerita yang
dihasilkan lebih 10 buah, mulai Nopember 1977 kemarin PPFN
mengganti serial Flora Indonesia dengan film pendek Membina
Hari Esok. Film pendek ini diedarkan ke bioskop
Kebiasaan zaman Belanda memungut bea atas pemutaran film
pemerintah di bioskop itu masih diteruskan oleh PPFN. Setiap
minggu ganti, dari pengedaran film pendek itu PPFN di Jakarta
memperoleh penghasilan Rp 45 ribu seminggunya atau Rp 1000 untuk
sebuah film pendek. sementara dari luar Jakarta sebulan
dikumpulkan sekitar Rp 160 ribu .
Penerimaan dari sektor ini masih kecil, dibanding penerimaan
dari sektor sewa menyewa perlengkapan kamera, editing, ataupun
studio rekaman suara. Dari sektor terakhir ini tahun 1975/1976
PPFN menerima Rp 34,5 juta, tahun 1976/1977 menerima Rp 23 juta,
dan tahun 1977/1978 ini menerima Rp 31 juta. Dengan perlengkapan
lab yang baru itu, diharapkan penerimaan PPFN akan meningkat.
Tidak seluruh hasil penerimaan itu digunakan untuk kesejahteraan
karyawan, sebab 30% di antaranya disetorkan ke Kas Negara.
Memang mengandalkan penerimaan dari lab saja. menurut Dwipayana,
terang tidak cukup.
Dwipayana memang menghadapi tugas yang bergulung-gulung. Tapi di
Sekneg ia bukan orang baru dalam pembikinan film. Sebagian dari
isi film 30 Tahun Kemerdekaan adalah hasil timnya, yang biasa
bekerja keras, dengan jumlah personil sedikit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini