Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Orang baru untuk pfn

Gufron dwipayana dilantik menjadi direktur pusat produksi film negara (ppfn) menggantikan padma astradiningrat. manajemennya nanti diharapkan lebih baik. (fl)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Perusahaan Film Negara (PFN) hampir saja terlupakan. Mung kin hanya mereka yang tinggal jauh dari jangkauan bioskop dan TVRI, masih berkenalan dengan kegiatan PFN lewat film penerangannya. Di kota besar, sebelum film diputar di bioskop biasanya penonton disuguhi film' pendek (2,5 - 7,5 menit) Membina Hari Esok dengan cap PFN. Kerja laboratoriumnya hampir terbenam dengan nama Universal Lab. Hongkong, Perfini, Sarinande, dan pendatang baru Inter Studio. Film dokumenter yang ditangani PFN, belakangan juga merosot. PFN yang pernah besar dulu itu kini nyaris jadi dongeng. Pekan lalu Dirjen Radio, Televisi dan Film (RTF) drs Soemadi melantik drs Gufron Dwipayana, menjadi Direkrur baru Pusat Produksi Film Negara (PPFN) menggantikan Padma Astradiningrat. Sarjana publisistik lulusan UI yang dikenal sebagai kepala bagian media massa Sekretariat Negara (Sekneg) ini tugasnya tidak ringan. Apalagi Dwipa, 46 tahun, masih harus merangkap jabaran. Management tidak beres, kemampuan karyawan juga harus didorong dengan tuntutan dunia film kini. Dari 350 karyawan (40 masih honorer termasuk direktur lama sendiri), hanya 120 saja yang terlibat langsung dengan kerja film. Seperti yang dikatakan Dirjen Soemadi, itu "merupakan ketimpangan yang selekasnya perlu dibereskan. Tapi tidak berarti akan dilakukan rasionalisasi secara drastis." Sejak TVRI mengambil alih sebagian tugas penerangan pemerintah--menyajikan film pengguntingan pita misalnya --kedudukan PFN memang agak kabur. Ditambah karena sistim organisasi yang merosot, perlahan-lahan film seri pembangunan PFN Gelora Indonesiapun menghilang. Ketika awal tahun 1970 film Indonesia mulai bernafas, kalangan film hanya mengenal PFN lewat studio rekaman suara dan editingnya saja. Kini dengan dana Rp 1,5 milyar, PPFN sudah memiliki fasilitas prosesing laboratorium yang, meskipun kecil, cukup memadai. Dengan itu, sejak Juli tahun kemarin, PPFN sudah bisa melaksanakan seluruh pekerjaan film. Film-filmnya tidak lagi diproses di Hongkong atau di Tokyo. Meskipun demikian, kata bekas Direktur PPFN, Padma Astradiningrat: "Belum berani terima pekerjaan dari luar. Sebelum PPFN yakin benar hasil prosesing itu baik." Ia memang tidak mau gegabah, walau sebenarnya PPFN punya banyak kesempatan baik. Tapi kini timbul persoalan baru untuk melayani perlengkapan modern itu. Seperti dikeluhkan Padma, yang juga sudah dilihat Dwipayana, yakni bagaimana mengandalkan tenaga yang ada, yang kebanyakan sudah setengah umur dan meskipun sudah ditatar untuk memenuhi tuntutan dunia film, masih memprihatinkan. "Dengan tawaran gaji pegawai negeri, akan tertarikkah sarjana kimia bekerja di laboratorium prosesing itu?" tanya Padma. Dari pengalaman Dwipayana sendiri, setelah melihat film produksi PFN, banyak kekurangan dijumpai pada cara kerja karyawannya. Tapi, kata Dwipa, "saya kira diperlukan peningkatan kemampuan mereka, sambil bekerja." Untuk menyelenggarakan kegiatannya PPFN mempunyai sumber Anggaran Rutin dan Pembangunan. Tahun 1977/1978 ini dari Rutin mendapat Rp 300 juta, dan Pembangunan Rp 1,3 milyar. Dana Anggaran Pembangunan ini digunakan untuk membiayai pembuatan film dokumenter (30 menit), film pembangunan (10 menit) dan direncanakan membuat film cerita (1,5 jam). Di-Perum-kan Dibiayai anggaran Pembangunan 76/77 sebesar Rp 60 juta PPFN juga membuat film cerita Kelabang Hitam dan Warok, tanpa menurunkan bintang pop. Tapi sejak 1976 lalu belum selesai juga, karena keruwetan administrasi. Nampaknya di bawah Dwipayana nanti, pembuatan film cerita bukan menjadi prioritas utama. Yang jelas sebelum itu diperlukan setidaknya setahun untuk memberesi PPFN, agar kembali sehat. Bagaimana kalau PPFN di-Perumkan.? "Kalau di-Perum-kan, dengan kondisi yang sekarang, belum mampu. Pada tahap pertama dalam 5 tahun mendatang, kita lihat dulu prospeknya untuk Perusahaan Jawatan," kata Dirjen RTF Soemadi. Menurut dia, masalah mendesak yang harus diperhatikan menghadapi prospek ke depan adalah, "pengelolaan PPFN secara perusahaan: ekonomis dan rasionil " Ide ke arah Perum itu juga diragukan oleh Padma, dengan alasan lain. "Untuk menjadi Perum masih berat saya kira. Sebab itu berarti dihentikannya subsidi, dan peremajaan," kata Padma. "Masalahnya kemudian psikologis dan kemanusiaan," katanya. Peremajaan toh barangkali sudah waktunya. Sejarah PFN cukup ruwet. Ia dilahirkan September 1945 dengan nama Berita Film Indonesia (BFI). Berada di bawah Kementerian Penerangan BFI menjadi organ pemerintah, yang bertugas membuat dan mengedarkan film yang mengobarkan semangat perjuangan rakyat melawan Belanda. Pernah mengungsi ke Surakarta, ketika Aksi Militer Belanda, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta pada tahun 1949, dan mengalami peleburan dengan Regerings Film Bedryfs menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN). Ketika RIS kembali pada bentuk Negara Kesatuan, tahun 1950 PPN berubah jadi Perusahaan Film Negara (PFN) "Saya masih ingat ketika itu kita cuci film masih pakai kotak-kotak kayu, dan melakukan opname film dengan kamera sederhana," kata SD Hutapea yang bekerja di PFN sejak tahun 1950-an. Dikoordinir RM Soetarto, PFN tahun 1956 pernah dipecah menjadi 3 dinas Film Cerita (Difta), Film Penerangan (IFP), dan Central Film Laboratory (FI,) Disatukan kembali ke PFN tahun 1960. Kedudukannya pernah berada langsung di bawah koordinasi Menteri Penerangan, tapi berdasar SK Menpen No. 10, 11 dan 12 tahun 1970, kedudukannya berada di bawah koordinasi Ditjen RTF. 'Lucunya dulu pihak Ditjen Pajak sering menyodori formulir isian pajak, sebab ada kata Perusahaan pada PFN," cerita Padma. Masih Dibayar Mungkin untuk mencegah salah paham berlanjut itu, sambil mendudukkan pada peranannya, PFN bersalin ke PPFN berdasar SK Menpen 55a/55b tahun 1976. Sebagai organ pemerintah yang menjelaskan setiap kebijaksanaan, sudah banyak film dokumenter yang dibuatnya, seperti yang terakhir Hama Wereng dan Inseminasi buatan. Film cerita yang dihasilkan lebih 10 buah, mulai Nopember 1977 kemarin PPFN mengganti serial Flora Indonesia dengan film pendek Membina Hari Esok. Film pendek ini diedarkan ke bioskop Kebiasaan zaman Belanda memungut bea atas pemutaran film pemerintah di bioskop itu masih diteruskan oleh PPFN. Setiap minggu ganti, dari pengedaran film pendek itu PPFN di Jakarta memperoleh penghasilan Rp 45 ribu seminggunya atau Rp 1000 untuk sebuah film pendek. sementara dari luar Jakarta sebulan dikumpulkan sekitar Rp 160 ribu . Penerimaan dari sektor ini masih kecil, dibanding penerimaan dari sektor sewa menyewa perlengkapan kamera, editing, ataupun studio rekaman suara. Dari sektor terakhir ini tahun 1975/1976 PPFN menerima Rp 34,5 juta, tahun 1976/1977 menerima Rp 23 juta, dan tahun 1977/1978 ini menerima Rp 31 juta. Dengan perlengkapan lab yang baru itu, diharapkan penerimaan PPFN akan meningkat. Tidak seluruh hasil penerimaan itu digunakan untuk kesejahteraan karyawan, sebab 30% di antaranya disetorkan ke Kas Negara. Memang mengandalkan penerimaan dari lab saja. menurut Dwipayana, terang tidak cukup. Dwipayana memang menghadapi tugas yang bergulung-gulung. Tapi di Sekneg ia bukan orang baru dalam pembikinan film. Sebagian dari isi film 30 Tahun Kemerdekaan adalah hasil timnya, yang biasa bekerja keras, dengan jumlah personil sedikit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus