Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Surabaya termasuk kota dengan suguhan kuliner yang tak habis-habisnya dari pagi hingga malam hari. Bahkan saking tinggi animo orang untuk icip-icip, beberapa kedai makan buka hingga 24 jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya adalah nasi cumi di Pasar Atom, atau tepatnya di Jalan Waspada No 2-4, Bongkaran, Pabean Cantian. Datang subuh atau pun dini hari di kota ini, tinggal melipir ke sini, nasi cumi pun menjadi pengusir lapar. Orang mengenalnya sebagai Nasi Cumi Waspada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempatnya sederhana sekali, warung tenda dengan dua bangku panjang. Namun, yang datang tak berhenti-henti. Termasuk juga selebritas yang mungkin tengah berlibur di Surabaya.
Warung Nasi Cumi jalan Waspada, Surabaya, Jawa Timur. Tempo/Rully Kesuma
Nasi cumi memang bikin penasaran, dan setelah dicoba bisa jadi wisatawan pun akan ketagihan. Bagaimana tidak, meski terlihat tak menarik, olahan cumi dengan kuah tinta itam itu ternyata gurih dan menambah napsu makan.
Baca Juga:
Ada empat paket yang ditawarkan. Bagi yang tak terlalu lapar, bisa memilih nasi biasa yang terdiri dari nasi, cumi dan peyek udang. Pilihan lain, nasi campur terdiri dari nasi, cumi, empal, telur dan peyek udang.
Masih belum nendang, coba paket nasi komplet. Isinya nasi, empal, cumi, telur, usus, babat, paru dan peyek udang. Kalau tidak mengenyangkan juga, bisa tambah satu porsi. Apalagi porsi nasinya tergolong kecil.
Untuk penggemar rawon, ada pula paket nasi rawon dengan paduan nasi, rawon, empal, dan cumi. Biasanya pada paket-paket nasi juga ditambahkan mi goreng dan semur tahu.
Untuk kenikmatan hidangan yang kerap dipilih disantap tengah malam atau dini hari ini tidak perlu merogoh saku dalam-dalam. Harga dibanderol mulai Rp 18 ribu untuk paket yang sederhana.
Warung ini juga tergolong legendaris karena telah berdiri sejak 1917. Dan yang menjalankan sekarang Ibu Atun, 44 tahun, yang merupakan generasi keempat. Penasaran tidak?
RITA NARISWARI