Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Nongon Pembunuh Kanker

Tanaman sarang semut berpotensi mengobati berbagai penyakit, termasuk kanker. Mestinya dikembangkan menjadi fitofarmaka.

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA nyeri hebat menghantam Meyti Ngantun setiap kali payu-dara kanannya tersentuh. Wanita asal Sulawesi Utara berusia 33 tahun ini takut beraktivitas. Makan pun tak enak. Berat badan ibu dua anak ini melorot 10 kilogram dari beratnya semula 60 kilogram.

Sebuah benjolan sebesar bola ping-pong- adalah penyebab semuanya. Tiga tahun lalu, bayi benjolan itu didiagnosis- dokter sebagai kanker yang harus di-buang. Meyti tak menurut. ”Saya takut kehilangan payudara,” ujar perempuan yang tinggal di Jayapura, Papua ini. Sebagai pengganti operasi, ia rajin menenggak pelbagai tanaman yang di-kabarkan punya khasiat menghilangkan kanker.

Apa daya, bayi benjolan terus tumbuh. Meyti hampir putus asa, sampai suatu hari Dirtje, suaminya, menyorongkan obat tradisional lain, jamu berbahan ta-na-man sarang semut. Tiga kali sehari Meyti menenggak air rebusan serbuk ta-naman itu. Khasiatnya ia rasakan hanya dalam tempo tiga hari. Nyeri di pa-yu-dara-nya jauh berkurang.

Air sarang semut terus bekerja, hingga- pada minggu ketiga keluar cairan- ku-ning- dari benjolan di atas puting payu-dara kanan Meyti. Setelah beberapa hari, cairan itu berhenti mengalir. Benjolan menghilang. Luka di payudara menutup dan sembuh.

Meyti girang bukan kepalang. Ia tak mau mengecek penyakitnya ke dokter- karena, ”Semua gejala penyakit di payu-dara kanan menghilang,” katanya, yang bobotnya kini naik menjadi 70 kilogram. Ibu muda itu tak mau meninggalkan minuman sarang semut. Bukan untuk menghantam kanker, tapi untuk menambah dan memperlancar air susu. Khasiat ini amat terasa saat Meyti menyusui anak keduanya yang kini ber-umur lima bulan.

Setelah buah merah dan minyak ke-la-pa murni, khasiat tanaman sarang semut dari Papua kini memang sedang menjadi buah bibir di mana-mana. Peng-akuan mereka yang sembuh dari penyakit setelah mengkonsumsi sarang semut pun bertebaran di Internet. Ada yang mengaku sembuh dari stroke, mimisan, alergi, lemah syahwat, nyeri punggung, dan jantung bocor. Banyak pula yang mengatakan tak lagi mengalami gangguan prostat dan wasir setelah menenggak sarang semut. Salah satunya Edy, sebut saja begitu, pekerja swasta di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Sarang semut (Myrmecodia Jack) me-rupakan tanaman epifit yang hidupnya menempel pada tumbuhan lain, seperti kayu putih, cemara gunung, dan pohon kaha. Di Papua, tanaman ini banyak ditemukan terutama di daerah Pegunungan Tengah, seperti hutan belantara Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, dan Paniai.

Menurut Hendro Saputro, pengusaha kopi di Papua yang kini getol mempro-duksi dan memasarkan sarang semut, ta-naman itu sudah lama dimanfaatkan warga setempat untuk berbagai peng-obatan. Mereka memang tak bisa secara detail menyebut penyakitnya, cuma menyebutnya dengan ”penyakit dalam”. Warga menyebut tanaman itu dengan nongon. Penulis Belanda, K. Heyne, dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia menyebut dengan rumah semut.

Tanaman sarang semut memiliki- ke-khasan, yakni ujung batangnya menggelembung (hypocotyl), berbentuk bulat saat muda, lalu menjadi lonjong memendek atau memanjang setelah tua. Dari bentuknya, orang sering salah mengira batang menggelembung itu sebagai umbi.

Bagian luar tanaman montok ini diselubungi duri yang melindunginya dari pemangsa herbivora. Yang menarik, di dalamnya terdapat rongga-rongga yang saling terhubung. Rongga-rongga ini dijadikan rumah oleh kawanan semut sehingga tanaman ini lazim disebut sarang semut.

”Jika satu jenis semut sudah masuk, jenis lain tak mau ikutan,” kata Ahkam Sub-roto, peneliti di Pusat Penelitian Bio-tek-nologi Lembaga Ilmu Pengeta-huan In-do-nesia (LIPI) Cibinong, Bogor. Semut ter-ta-rik untuk bersarang di situ karena ”umbi” tersebut mengandung gula atau gli-ko-sida sebagai sumber makanan me-reka.

Misteri khasiat tanaman sarang semut dicoba ditelisik dalam penelitian yang dilakukan Ahkam, bekerja sama dengan Hendro. Uji penapisan yang dilakukan Ahkam menunjukkan bahwa ternyata- sarang semut mengandung senyawa kimia golongan flavonoid dan tanin.

Berbagai kajian ilmiah mengungkap, flavonoid berfungsi sebagai antioksidan- dalam tubuh sehingga bagus untuk pen-cegahan dan pengobatan kanker. Senyawa inilah yang diduga kuat berada- di balik kesembuhan para pengidap kanker. Adapun tanin merupakan astri-ngen, polifenol tanaman berasa pahit yang dapat mengikat dan mengendapkan protein. Dalam ranah pengobatan, zat ini bisa dimanfaatkan untuk peng-obatan diare, menghentikan perdarahan dan wasir.

Selain menemukan flavonoid dan tanin, Ahkam juga menemukan banyak- senyawa dan mineral penting lain dalam sarang semut. Misalnya anti-ok-sidan tokoferol (vitamin E), kalsium, natrium, kalium, seng, besi, fosfor, dan magnesium. Manfaat mineral itu beraneka. Sekadar contoh, kalsium sangat baik untuk fungsi jantung, impuls saraf, dan pembekuan darah.

Dalam penelitian itu, mereka juga melakukan uji toksitas untuk mengetahui keamanan penggunaan sarang semut. Hasilnya, lewat pengujian binatang percobaan, dosis yang selama ini dikonsumsi masyarakat—tiga gelas sehari—masih terbilang aman.

Bahkan, ketika dosis dilipatgandakan- hingga 100 kali, belum ada tanda-tanda- kematian pada binatang percoba-an. Pengujian lanjutan hingga kini masih ber-jalan. ”Uji keamanan sangat penting- untuk pengobatan herbal,” kata -Ahkam.

Untuk menunjang dosis yang aman, cara penggunaan juga harus diperhati-kan. Dalam urusan ini, Ahkam meng-anjurkan sarang semut direbus, tak se-kadar diseduh, sehingga organisme yang potensial mengganggu kesehatan benar-benar mati.

Tindakan pengovenan memang sudah dilakukan oleh produsen, tapi itu belum menjamin hasil olahan sarang semut steril seratus persen. Soalnya, dengan suhu 70 derajat Celsius, bahkan di atas 100 derajat Celsius, masih banyak bakteri dan jamur yang mungkin bertahan hidup. ”Kalau mau benar-benar steril, mesti diradiasi dengan sinar gamma,” ujar Ahkam.

Untuk meningkatkan ”pamor” tanam-an sarang semut dari jamu menjadi fitofarmaka—tanaman yang sudah dilakukan uji klinis dan khasiatnya dianggap sama dengan obat kimia—menurut Ahkam, tak tertutup kemungkinan peng-ujian klinis sarang semut pada manusia akan dilakukan. Stempel baru itu niscaya bakal membuat penerimaan sarang semut sebagai obat makin luas karena prosedur standar pembuatan obat dijalani.

”Kendalanya memang masalah dana. Tak mungkin kita bergantung pada pengusaha. Sebab itu, kita juga sedang mencari sumber dana dari anggaran peme-rintah,” katanya. Sikap serupa- ia lakukan- terhadap- berbagai tanaman berkhasiat obat yang lain. Soalnya, ia percaya, prospek produk seperti itu sangat bagus.

Dokter Agus Sudiro Waspodo, spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, menyokong pendapat Ahkam. Baginya, dunia kedokteran modern sangat terbuka terhadap temuan baru, termasuk dari tanam-an berkhasiat obat. Agar keamanan dan khasiatnya terbukti serta terukur, serangkaian uji praklinis dan klinis memang harus dilalui. ”Fenomena alam biasa dimanfaatkan dalam dunia kedokteran,” katanya.

Hanya, pemahaman tentang penyakit yang bisa disembuhkan tanaman obat ter-sebut mesti benar, sehingga kesalah-an bisa dihindari. Dalam kasus Meyti-, sekadar contoh, ia tak yakin benjol-an di payudara tersebut merupakan kanker-. Sebab, dalam proses penyembuhan kan-ker atau tumor, sel-sel yang mati akan kempis, bukan keluar cairan seperti itu.

Agus berpendapat, pengalaman empi-ris para pengguna obat tradisional ha-nya sebagai pijakan awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Contohnya, mencari senyawa aktif yang berpotensi sebagai obat, mengulik cara kerja, dosis, dan kemungkinan efek sampingnya.

Dalam pengobatan kanker, kehadir-an obat kemoterapi cair berbahan dasar senyawa docetaxel dari duri tanaman European yew (Taxus Baccata) bisa di-ja-dikan contoh. Obat ini mulai diguna-kan untuk terapi kanker payudara sejak 1995. Sebelumnya, pengujian berlapis telah dilakukan, sehingga akhir-nya penggunaannya disetujui The European Commission, Health Canada, dan Food and Drug Administration Ame-rika Serikat.

Bah-kan, seperti diungkap jurnal Annals of Oncology, 1994, pengujian klinis tersebut melibatkan para ahli di sembi-l-an pusat penelitian. Contoh-nya, Ne-therlands Cancer Institute Am-sterdam, Belanda, Centre Regional Leon Berard Lyon, Prancis, dan Beatson Cancer Center Glasgow, Inggris. Ha-sil-nya, docetaxel adalah obat yang sangat aktif melawan kanker payudara.

Belakangan, penggunaan docetaxel- -bahkan tak melulu untuk kanker payudara. Ia juga bisa digunakan buat jenis kanker lain seperti prostat dan paru-paru. Ini jelas berita bagus untuk- para penderita kanker. Cuma, kemungkinan efek samping docetaxel- yang berbahan dasar dari tanaman te-tap saja ada. Jadi, mungkin sekali, peminumnya akan merasakan gejala anemia, mual, rambut rontok, dan diare, hal yang juga mereka alami bila minum obat kimia.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus