Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menangguk Ampas Berlumpur

Keluarga Bakrie diminta menanggung semua kerugian. Medco dan Santos belum tentu selamat.

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOSOK yang paling dinanti itu akhirnya muncul juga. Di Pa-sar Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Nirwan Bakrie bersama rom-bong-an Wakil Presiden Jusuf Kalla datang menemui ribuan pengungsi kor-ban lumpur panas. Kehadiran pemegang kendali usaha Grup Bakrie itu, Selasa pekan lalu, menyedot perhatian.

Ia langsung diberondong tuntutan ganti rugi. Soalnya, Lapindo Brantas In-corporated, salah satu anak perusaha-an Grup Bakrie, dituding menjadi biang keladi semburan lumpur panas se-bulan terakhir ini di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Lumpur merendam Desa Jati-rejo, Renokenongo, Siring, dan Kedungbendo. Sawah produktif yang terbenam lumpur kini sudah 127,29 hektare, dan mengancam 503 hektare lainnya. Lumpur juga menggenangi jalan tol Gempol-Surabaya setinggi 20 sentimeter.

Rata-rata volume semburan melejit, dari 5.000 meter kubik per hari menjadi 50 ribu. Jika ditotal, volume lumpur yang sudah muntah mencapai 1,1 juta meter kubik—setara dengan 183 ribu truk ukuran sedang.

Jusuf Kalla meminta kelompok usaha Bakrie menanggung se-luruh kerugian. ”Keluarga Bakrie ha-rus berada di depan,” katanya se-mbari menunjuk Nirwan dan direksi La-pindo. ”Sebagai perusahaan nasio-nal, Lapindo harus memberikan contoh.” Nirwan, yang didampingi Presiden Direktur PT Bumi Resour-ces Tbk (anak perusahaan Grup Bakrie) Ari Saptari Hudaya dan General Manajer Lapindo Imam P. Agustino, pun mengangguk takzim.

Memang sulit menampik keberadaan keluarga Bakrie di balik kasus ini. Selain Lapindo, perusahaan kontraktor pengeboran yang ditunjuk, PT Medici Citra Nusantara, ternyata juga punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari lalu.

Alton Indonesia didirikan Medici dan Alton International Singapore (AIS)—anak perusahaan Federal International (2000) Ltd—pada Oktober 2004. Di Federal inilah, Syailendra Surmansyah Bakrie (anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie) dan Nancy Urania Rachman Latief (istri Rennier Abdul Rachman Latief, Komisaris PT Energi Mega Persada, induk Lapindo) tercatat sebagai pemilik saham.

Kepemilikan saham Nancy dan Syai-lendra yang semula kurang dari 7 per-sen membengkak jadi sekitar 23 persen, setelah membeli 42 juta lembar saham pada 9 Januari lalu. ”Kami percaya me-reka dapat membantu memperkuat bisnis kami di Indonesia,” kata Koh Kian Kiong, CEO Federal, sumri-ngah.

Mimpi Koh terbukti. Tak sampai dua minggu, Alton Indonesia menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta. ”Kontraktor ini terpilih karena masih orang dekat Lapindo,” ujar sumber Tempo. Terakhir, total saham Nancy dan Syailendra hampir mencapai 25 persen, yang merupakan pemilik saham mayoritas Federal.

l l l

KEMBALI ke soal ganti rugi, menurut Jusuf, Lapindo antara lain harus membayar gaji buruh yang pabriknya tutup, memperbaiki jalan, sekolah, serta mengembalikan rumah warga seperti semula. ”Warga tak boleh rugi satu sen pun,” katanya. Nirwan berjanji akan memenuhi tuntutan itu. ”Atas nama keluarga Bakrie, kami pun minta maaf,” katanya.

Keesokan harinya, giliran sang ka-kak, Aburizal Bakrie, yang meminta Lapindo bertanggung jawab. Detailnya bagaimana, ia meminta ditanyakan langsung ke Grup Bakrie. ”Jangan tanya saya, saya kan Menko Kesra,” kata Ical yang belum sekali pun melongok lokasi bencana.

Petaka di Sidoarjo bermula ketika sepetak sawah di Desa Renokenongo menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter pada 29 Mei lalu. Karena lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji 1, tudingan langsung mengarah ke La-pindo. Di sumur itulah Lapindo melakukan pengeboran gas pertama, awal Maret lalu.

Sepucuk surat tertanggal 5 Juni 2006 dari Medco E&P Brantas menguatkan tudingan tersebut. Surat dari Budi Basuki, wakil Medco di komite operasi itu, ditujukan kepada General Manager Imam P. Agustino. Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu disebutkan, pada rapat teknis 18 Mei 2006, anak perusahaan Medco Energi Internasio-nal ini telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing).

Selubung berdiameter 9-5/8” (se-ki-tar 25 sentimeter) mestinya dipasang di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter). Fungsinya untuk mengantisipasi po-ten-si hilangnya sirkulasi lumpur (loss) dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke arah atas (kick) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung (batu gamping), sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.

Tapi Lapindo, menurut Medco—yang memiliki partisipasi modal kerja 32 persen di blok Brantas—tidak melak-sa-nakannya. Itu sebabnya, sumur tak mampu menahan tekanan saat terjadi tendangan balik sehingga terjadi kebocoran. Atas dasar itu, Medco menilai Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28.

Mengacu pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.

Dody Mochtar, juru bicara Santos Ltd, membenarkan klausul tersebut. Menurut dia, keberadaan klausul ini membuat Santos, yang memiliki penyerta-an mo-dal operasi 18 persen, tak bisa di-mintai pertanggungjawaban. ”Kami berpangku pada perjanjian kerja sama operasi,” katanya.

Suara senada disampaikan Di-rektur Utama Grup Medco, Hilmi Panigoro. Menurut dia, keberadaan Medco di blok itu hanya sebatas partisipasi modal kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis. ”Dalam perjanjian sudah jelas, apa yang menjadi tanggung jawab operator dan pemegang saham,” katanya kepada Sofian dari Tempo. Soal penggantian kerugian, Hilmi juga menyatakan tak akan jadi masalah. ”Semua operasi telah di-asuransikan, termasuk klaim,” ujarnya.

Masalahnya ternyata tak segampang itu. Pihak asuransi pagi-pagi sudah menyatakan tak serta-merta kerugian yang timbul dari pengeboran bisa diklaim. ”Bila Lapindo terbukti harus bertanggung jawab, ya dilihat dulu cakupan polis asuransinya,” kata Amir Moch-tar, Direktur Pemasaran Tugu Pratama I-ndonesia.

Tugu Pratama, bersama Jasa Asuran-si Indonesia, Wahana Tata, Central Asia, dan Astra Buana, tergabung dalam konsorsium yang menangani aset milik Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), termasuk ladang migas di Sidoarjo. Untuk itu, kantor Matthews Daniel—per-usahaan yang biasa menilai besarnya kerugian di bidang energi dan permi-nyakan—sedang menghitung dampak aki-bat luapan lumpur di Sidoarjo. ”Me-reka juga menentukan penyebab kerusakan,” kata Amir. Perusahaan ini pula yang akan membuktikan apakah kerusakan akibat lumpur panas bisa dijamin oleh perjanjian asuransi.

Peluang itu tampaknya kian kecil. Sebab, dari hasil pemeriksaan 32 saksi, polisi menyimpulkan PT Medici tidak melaksanakan pengeboran menurut prosedur standar. ”Diduga, selubung pa-da pipa bor tidak digunakan,” kata ju-ru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Bambang Kuncoko. Jika dugaan ini benar, kelalaian itu bahkan bisa digolongkan tindak pidana.

Jika begini masalahnya, bisa-bisa keluarga Bakrie memang harus sendirian menanggung semua ampas berlumpur ini. Padahal, satu sumber di pemerintah menyebutkan, biaya untuk menutup kebocoran akibat pengeboran saja bisa mencapai US$ 20-100 juta. Itu belum termasuk biaya sosial sebagai dampak banjir lumpur. Karena itu, kata seorang kolega keluarga Bakrie, total b-iaya kerugian ditaksir mencapai US$ 200 juta (sekitar Rp 1,9 triliun).

Tapi itu semua masih sebatas pernyataan yang harus dibuktikan. Sebab, semua pihak yang terlibat: Lapindo, Medco, Santos, maupun asuransi, sampai saat ini masih mengunci rapat-rapat dokumen perjanjian di antara mereka. Menurut sumber Tempo, dalam soal Medco dan Lapindo, jika mengacu pada perjanjian pengelolaan Blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil, kesimpulan akhirnya bisa lain. Dalam perjanjian itu disebutkan, setiap operasi pengeboran harus mendapat persetuju-an dari semua pihak yang ikut menyertakan modal.

Bisa saja salah satu pihak tidak mau memberikan persetujuan, sehingga bebas dari tanggung jawab. Namun, jika dari hasil pengeboran ditemukan ca-dang-an migas, pihak tadi baru bisa turut me-ngenyam hasilnya, dengan syarat di-kenakan biaya penalti—karena tidak ikut menanggung risiko di awal pengeboran.

Pertanyaannya, apakah Medco dan Santos telah memberikan persetuju-an itu. Sekretaris Perusahaan Me-dco, Andy Karamoy, menyatakan belum bi-sa menjawabnya. ”Semuanya masih d-i-kaji,” t-uturnya. Namun, kata sumber tadi, ”Bila benar sudah ada persetuju-an, Medco dan Santos harus ikut ambil risiko.” Lagi pula, bila selama ini me-reka mendapat laporan dari operator dan tidak menyatakan keberatan, itu sama saja dengan membiarkan potensi kerusakan terjadi. ”Jadi jangan cuma teriak di akhir,” ujarnya.

Untuk menekan beban kerugian, se-betulnya masih ada satu peluang yang bisa dimanfaatkan Lapindo. Cara-nya, memasukkan sebagian beban itu ke cost recovery alias penggantian biaya eksplorasi. Modus ini tentu harus diwaspadai, karena negaralah yang bakal harus nombok. Abdul Mutalib Masdar, praktisi di bidang perminyakan, mewanti-wanti biaya eksplorasi tak bisa begitu saja dimasukkan ke cost recove-ry, bila pelaksanaannya tak sesuai de-ngan prosedur.

Dalam kaitan ini, kata sumber yang terlibat proses pengeboran, BP Migas pada Agustus 2004 sesungguhnya pernah mengingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran di Banjar Panji. ”Bila tidak diantisipasi dengan desain selubung (pipa bor) yang bagus, potensi kebocoran akan besar,” katanya. Nah, peringatan itulah yang tampaknya diabaikan Lapindo.

Yandhrie Arvian, Metta Dharmasaputra, Rohman Taufiq, Adi Mawardi (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus