JANUARI 1989 akan menjadi era baru bagi apotek. Mulai tahun depan, pedagang obat yang paling bergengsi ini harus lebih berhati-hati menjual obat. Salah sedikit dalam menetapkan harga, apotek bersangkutan bisa-bisa ditinggalkan konsumen. Dan ini dimungkinkan oleh adanya "banderol obat" yang akan dipasang pada semua obat resep. Dengan banderol itu masyarakat akan tahu apakah harga obat "dicatut" atau tidak. Adalah Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) yang pada 12 Oktober lalu memutuskan untuk memasan banderol pada semua obat resep per 1 Januari 1989. Tujuannya, konon, menyeragamkan harga eceran obat di apotek-apotek. Mengapa baru sekarang? Sudah jadi keluhan umum bahwa harga obat semakin tinggi, di samping sering tidak seragam. Perbedaan harga sering sampai tidak masuk akal. Contoh: dua apotek yang jaraknya tak sampai 100 meter -- tanpa mereka sadari -- memasang harga yang perbedaannya 1: 5. Mengapa begitu, tak pernah terungkap dengan jelas. Ada dugaan, para distributorlah yang mempermainkan harga. Tapi tidak sedikit syak wasangka bahwa apoteklah yang kemaruk. "Nantinya masyarakat bisa mengetahui harga plafon obat di apotek," kata Edy Lembong, Wakil Ketua Umum GP Farmasi. Harga yang dicantumkan pada banderol adalah harga eceran tertinggi (HET). Nilai harga ini dalam struktur harga obat didapat dari menambahkan harga jual pabrik (HJP), konsinyasi para distributor, dan keuntungan apotek. HET menurut ukuran GP Farmasi adalah harga yang wajar. Di atas itu harga obat menjadi tidak wajar. Tingginya harga obat yang dikeluhkan masyarakat, menurut Lembong, akibat harga tidak wajar itu. "Maka, secara tidak langsung pemasangan banderol ini menurunkan harga obat," kata Lembong. Bagaimana mungkin? Pemasangan banderol, katanya, akan menekan keinginan menaikkan harga obat ke tingkat tidak wajar. Ia yakin, kebijaksanaan ini akan berjalan efektif, karena sudah dirundingkan oleh semua organisasi anggota di lingkungan GP Farmasi, di antaranya PBF (Pedagang Besar Farmasi), Asosiasi Apotek dan Asosiasi Toko Obat yang menjual obat bebas. Depkes menilai prakarsa GP Farmasi ini positif. "Pokoknya, kami menghargai itikad baik itu," kata Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Slamet Soesilo kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO. Struktur harga obat, menurut Soesilo, memang belum berubah, tapi dengan adanya banderol, harga obat menjadi jelas. Sebelumnya, struktur harga obat ditentukan hanya dengan persentase. PBF diperbolehkan mengambil keuntungan 40%, apotek 30%. Harganya sendiri sering tidak jelas. Tapi HET, yang dianggap GP Farmasi mencerminkan kewajaran harga, oleh banyak kalangan masih dianggap tinggi. Apalagi bila harga itu dibandingkan dengan harga obat yang sama di beberapa negara tetangga. Departemen Kesehatan, yang belakangan banyak melakukan terobosan, kini sedang mengkaji harga obat itu secara menyeluruh. Sebuah tim ekonomi diminta membuat evaluasi yang harus selesai digarap April tahun depan. Pengkajian ini ditempuh Depkes setelah Ditjen POM, dalam sebuah penelitian, gagal menemukan indeks harga obat. Depkes, menurut Slamet Soesilo, kini cenderung berhati-hati dalam mengeluarkan peraturan yang menyangkut harga obat. Dan memang sebelum ini Depkes sudah berulangkali gagal menurunkan harga obat. Padahal, berbagai peraturan sudah dicobakan. Salah satunya, melarang pabrik obat membagikan contoh obat kepada dokter. Peraturan yang dikeluarkan Juli 1987 ini merupakan reaksi terhadap ramainya isu tentang dokter yang mendapat komisi dari pabrik-pabrik obat. Ketika itu media massa dan berbagai kalangan menuduh, biaya promosi yang tinggi adalah penyebab naiknya harga obat. Pada kenyataannya, harga obat tetap tinggi, bahkan bertambah tinggi, walaupun promosi obat sudah sangat dibatasi. Sikap mencurigai contoh obat ini nampaknya sudah ditinggalkan Depkes. Kendati larangan tahun 1987 belum dicabut, Menteri Kesehatan pekan lalu mengizinkan pengedaran contoh obat. Namun, ini baru terbatas pada Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 28 November depan di Surabaya. "Ini sikap yang realistis," ujar Ketua IDI dr. Kartono Mohamad. Contoh obat itu, menurut Kartono, diperlukan dokter untuk mengetes daya penyembuhan obat. Walaupun belum ada kesepakatan tentang penyebab tingginya harga obat, terdapat beberapa faktor yang tidak wajar dalam perdagangan obat. Seperti dikemukakan beberapa ahli ekonomi, kondisi produksi dan distribusi obat sangat tidak sehat. Nilai penjualan obat total yang naik setiap tahunnya, tidak diikuti naiknya angka produksi ini terlihat dengan menurunnya tingkat konsumsi obat. Di sektor produksi telah terjadi inefisiensi, akibat ekonomi biaya tinggi dan tidak wajarnya peraturan Depkes. Di tingkat distributor, terlalu banyak manipulasi, misalnya distributor lebih suka melemparkan obat ke pasar gelap daripada ke apotek. Peraturan perdagangan obat yang dikeluarkan Departemen Kesehatan di masa lalu tak luput dari kritik. Departemen ini terlalu mudah mengeluarkan izin produksi, hingga kini terdaftar 12.000 merk obat. Dampaknya: persaingan tidak sehat dalam memasarkan obat-obat itu -- yang tidak semuanya efektif -- juga sulit mengontrol kualitas maupun harganya. Izin juga terlampau mudah diberikan pada industri farmasi dan pedagang farmasi, padahal banyak yang tidak memenuhi syarat. Sebaliknya, izin untuk pembukaan apotek, yang merupakan ujung tombak distribusi obat, justru sangat sulit. Kendati Depkes belum terlihat akan bergerak ke arah mana, GP Farmasi pagi-pagi sudah tergetar untuk berbenah diri. Organisasi ini berusaha menyehatkan prosedur perdagangan obat sekaligus menyodorkan harga. Toh Depkes masih menunggu. Apakah, misalnya, HET di banderol disepakati sebagai harga wajar? Belum tentu. "Nanti bila penelitian menyeluruh sudah selesai dan sudah jelas sektor mana penyebabnya, baru Depkes melangkah," demikian janji Slamet Soesilo. Jim Supangkat, Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini