HARGA emas melenting sampai di atas Rp 12 ribu per gram. Masruf
(41 tahun) perajin emas tradisional (kemasan) yang tinggal di
Desa Kelayan, Banjarmasin, menilai harga seperti itu mengganggu
stabilitas ekonomi. Binalnya harga si kuning itu disinyalirnya
terjadi jauh sebelum Iran berkelahi dengan Amerika. Ia sendiri
sudah meninggalkan profesi perajin emas. "Sejak Kenop 15, saya
sudah menyatakan selamat tinggal pada gurinda dan perkakas
lainnya," ucapnya dengan lirih, "kini saya jadi tukang ojek."
Sebelum Kenop 15 Masruf yang berpengalaman 25 tahun dalam soal
pembuatan perhiasan emas masih mendapat Rp 1500 sampai Rp 3000
setiap hari. Perlahan-lahan kemudian harga emas mencapai Rp
5000. Dan ketika angka sudah menunjukkan Rp 6000 per gram, ia
hampir-hampir tidak kebagian order lagi. Sebab rupanya orang
cenderung menyimpan emas batangan daripada perhiasan. Sementara
toko-toko emas yang menjadi langganan tetap Masruf tidak memberi
pesanan lagi. Praktis sejak awal 1976, Masruf dalam keadaan
setengah menganggur. Sehingga begitu Kenop 15 diumumkan ia tak
mau menyentuh alat-alat membuat perhiasan itu. Apalagi sekarang
setelah si kuning membubung terus, ia hampir tak punya nafsu
walaupun hanya untuk melihat alat-alat tadi.
"Akan tetapi saya tidak menjual perkakas-perkakas saya," ujar
ayah 5 orang anak itu. Alat-alat seperti gurinda, kikir, tukul,
gumgum, pompa tiup, tuangan dan sebagainya itu bernilai tidak
kurang dari Rp 200 ribu. Masruf rupanya masih berjaga-jaga
barangkali satu ketika salah seorang anaknya mewarisi
ketrampilannya.
Lewat pekerjaan yang diturunkan oleh moyangnya itu, Masruf
sempat menyimpan kenang-kenangan manis. Ia mampu menghidupi anak
dan istrinya dan membuat sebuah rumah yang layak. Ketika ia
harus membayar uang mahar untuk pernikahannya dulu, ia sanggup
menyediakannya dari hasil cucuran keringat sebagai perajin emas.
Meskipun akibat persentuhannya dengan perkakas itu, sejak usia
belasan tahun, ia terpaksa mengorbankan sekolahnya. "Habis saya
telanjur kenal duit," ujarnya.
Tetangga Masruf, sesama tukang emas Basran, Fandy dan Abdul
Khair, masih mencoba menegakkan profesi mereka. Hanya saja
sekarang mainannya tidak hanya si kuning. "Perak atau tembaga
pun kini kami kerjakan," kata Basran. Padahal sebelumnya jenis
logam itu tak pernah mereka jamah. "Kami menolak mengerjakan
perak, lebih-lebih tembaga, dulu," ujar mereka. Karena upah
mengerjakan emas lebih mahal. Lagi pula bekas larutan emas yang
kena ukir, bisa dikumpulkan. Larutan yang seperti abu itu bisa
dijual. "Dan ini merupakan keuntungan yang jelas di luar upah,"
ujarnya.
Khair mengaku ia ditodong untuk memilih: bertahan atau tukar
pekerjaan. Sebagaimana umumnya perajin emas di Banjarmasin ia
merasa sedih jika terpaksa harus lari dari pekerjaan yang sudah
menjadi tradisi keluarganya itu. "Jika kami mencari pekerjaan
lain nanti, itu semata-mata demi perut. Tidak berarti kami
melupakan warisan nenek moyang kami yang tidak ternilai harganya
itu," kata Basran "lihat saja nanti, kami bisa bertahan atau
tidak."
Sebagai perajin emas selama beberapa bulan ini Basran dan
kawan-kawannya hanya berpenghasilan sekitar Rp 1000 sehari. Ini
ancaman. Sebab bekerja atau tidak, setiap hari mulutnya harus
disulut 30 batang rokok kretek. Artinya Rp 400. Itu baru asap
mulut. Asap dapur lain lagi. Tak kurang dari 4 kepala yang
menjadi tangggungannya. Sudah setahun ini Basran tidak bisa lagi
mengikuti perkembangan film di bioskop Banjarmasin. "Jangankan
nonton, mikirkan ongkos hidup harian saja sudah-setengah modar,"
ujar lelaki pemuja bintang film Charles Bronson ini.
Jantungnya Berdetak
Menurut Basran, tahun emas bagi pedagang emas adalah sekitar
1968 sampai dengan 1976. Waktu itu tiap hari datang antara 5
sampai 10 pesanan perhiasan. Hal ini dibenarkan oleh Masruf.
Lelaki yang kini jadi tukang ojek ini menilai paling sedikit 1
gram emas jadi miliknya setiap hari. Karena itu pada 1974 ia
sempat memiliki simpanan 1 kg emas. Kini sisanya memang masih
terlihat di leher dan kuping istrinya sekitar 60 gram.
"Mudah-mudahan saja saya tak sampai menjual apa yang kini masih
ada di leher dan kuping istri saya," ujar Masruf.
"Tiap saya dengar emas naik, jantung ini rasanya berdetak lebih
keras," kata Muslihuddin (52 tahun) perajin emas di Sidoarjo
(Ja-Tim). Ia adalah salah satu dari 4000 perajin emas yang
terserak di kota-kota Jawa Timur: Bondowoso, Lumajang, Bangil,
Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Di Bangil, Mulyono (24 tahun)
mengeluh "Sejak kenaikan emas yang pertama tahun lalu, saya
sudah diberhentikan oleh majikan saya. Alasannya order dari
Surabaya merosot," ujarnya. Ia kini bekerja sebagai tukang cat
di Pasuruan. Untung ia sempat beli motor dari hasil keahliannya.
Motor itulah yang kini membantunya untuk mencari order mencat
tembok.
Tidak hanya perajin emas yang kena sikut. Para juragan juga
menderita. Haji Hamzah (55 tahun) di Bangil yang sudah 4
keturunan jadi juragan perajin emas, terpaksa menghentikan 84
orang pekerjanya. Kini hanya tinggal 18 perajin. "Itu pun
rasanya akan saya berhentikan seandainya bulan mendatang tidak
ada pesanan lagi," ujarnya cemas. Sebelum meletus G-30-S emas
dianggapnya merupakan komoditi paling mantap. "Coba lihat,
berkat emas ini saya jadi jaya, padahal asalnya saya hanya orang
kemasan biasa. Dalam tempo 5 tahun kemudian saya mendapat
kepercayaan dari pedagang di Surabaya," kata Pak Hai itu.
Pada 1968 Haji Hamzah mampu punya mobil dan membeli 4 rumah yang
khusus dipakai untuk kerja kemasan dengan 100 orang pekerja
lebih. Ia mengakui emas itulah yang membuat banyak orang pada
masa itu menjadi kaya dan mampu menambah namanya menjadi haji.
"Dulu anak berumur sekitar 17 tahun sudah diberi order oleh
orang tuanya untuk mengerjakan pesanan orang. Dan mereka punya
pekerja-pekerja," kata juragan itu mengenang masa jayanya. Waktu
itu kerja kemasan menjadi semacam tumpuan harapan para muda di
Bangil. Apalagi kemudian didirikan pabrik pemasak emas di
sekitar situ. "Dulu orang punya menantu kemasan itu bangga. Tapi
entah sekarang, apa masih bangga," ujarnya.
Di sungai
Kini di Bangil sejumlah perajin emas kehilangan pekerjaan. Tapi
segera timbul pekerjaan baru di kalangan mereka sejak harga si
kuning melonjak. Mereka turun ke kali, memungut sisa masakan
emas yang dibuat oleh 7 buah pabrik pemerintah di kota itu.
Seperti dulu-dulu lagi, setiap hari seorang bocah dapat
mengumpulkan sampai 800 miligram emas hanya dengan modal sebuah
ayakan seng yang berjari-jari 10 cm. Sementara penduduk yang
lain di kali yang sama membuang sampah dan berak.
Pagi hari, pemburu-pemburu emas itu berendam di sungai. Mahfud
yang terselip di antara orang-orang itu melaporkan betapa ia
harus melawan rasa jijik menghadapi sampah dan kotoran manusia.
Akan tetapi kemudian hal itu menjadi biasa. "Kotoran manusia
yang berseliweran di sekujur tubuh, saya anggap biasa. Dulu
malah saya pernah tertipu. Di ayakan ada kuning-kuning saya kira
butiran-butiran emas, tapi setelah saya tapis kembali ternyata
kotoran manusia, ha-ha," ujarnya sambil tertawa.
Sungai itu juga mengandung air keras yang menyebabkan tangan dan
kaki para penapis pecah-pecah. "Seperti dulu, penyakit saya
kambuh lagi. Saya sering sakit dan pilek," kata Mahfud.
Komaruddin, menantunya, yang ikut terjun ke kali juga merasakan
hal itu. Yang perlu dicatat lagi, banyak penapis emas itu kini
menderita panu.
Di Lumajang, para perajin emas yang kehilangan pekerjaan, tukar
haluan menjadi makelar. Mereka bagai tukang catut berdiri di
depan bioskop, menjadi semacam toko-toko liar. "Umumnya mereka
yang menjual emas enggan menyerahkan emasnya dengan harga
pantas. Maunya ikut-ikut seperti harga di koran," keluh seorang
makelar di Lumajang. Kadangkala memang mujur kalau ketanggor
mereka yang butuh duit mendadak. Untungnya bisa sampai Rp 3000
sehari. "Tapi itu pun tidak sebanding dengan ketika.jadi kemasan
dulu," kata makelar bekas perajin itu lebih lanjut.
Eddy Sunarso (30 tahun) di Kota Sidoarjo masih bisa menceritakan
senangnya jadi perajin emas. Ia bekerja di toko seorang pedagang
Cina. Kalau membuat perhiasan untuk mengikat berlian, ongkosnya
bisa sampai 5 atau 8 kali lipat. Karena itu meskipun harga emas
ngacung terus, ia bersama istri dan 3 orang anaknya ternyata
bisa bertahan.
Ketemu Munifah
Cerita bagus juga datang dari mulut Rofi'i Ma'sum (45 tahun)
perajin atau kemasan di kios pasar Kota Cresik. "Saya hampir
jadi perjaka tua seandainya Munifah tak memesan kalung kepada
saya," ujarnya pada TEMPO. Ia mengungkapkan, tangannya bergetar
waktu menerima pesanan itu. "Sengaja saya tunda-tunda selesainya
supaya ia suka kembali ke tempat saya," ujarnya. Demikianlah
akibat sering ketemu, kemudian Munifah menjadi istrinya. Kini
sudah menghasilkan 7 orang anak. "Barangkali kalau tidak jadi
kemasan saya tak akan bertemu gadis idaman saya ini," kata
perajin yang senang pada profesinya itu.
Tapi yang tidak enak juga banyak. Di Bondowoso Saiful Alam,
nyaris dipukuli karena dianggap mengerjakan sesuatu yang
menyimpang dari pesanan. Perajin ini memang amatiran. Ia
melayani pemesan langsung, jadi tidak melalui toko. "Masa iya
bentuknya agak lain saja dari contohnya saya sudah dituduh
mengarang sendiri," ujarnya mengingat beberapa peristiwa yang
pernah ia alami.
Yang paling tidak bisa dilupakan Saiful adalah ketika sempat
tertipu. Seorang pernah muncul memesan satu model perhiasan.
Sebagai tanda jadi, Saiful memberikan secarik kertas lengkap
dengan stempel dan tanda tangan. Tepat waktu barang selesai,
seorang lainnya datang atas suruhan sang pemesan untuk
mengambil barang itu. Tapi sial, besoknya si pemesan sendiri
muncul dengan membawa surat yang sama. "Barulah saya merasa
kalau kena tipu. Orang itu menggunakan stempel palsu. Rupanya
saya sudah diincer sejak lama," kata Saiful. Ia harus mengganti
10 gram emas.
Lain lagi yang dialami Darma (40 tahun) seorang pande emas di
Desa Ulakan, Karanasem (Bali). Sejak Gunung Agung meletus tahun
1963, ladang dan sawahnya lenyap kena lahar. Ia kini menjadi
pande emas keliling setelah gagal jadi tukang catut. Dengan
memikul dua buah kotak untuk bekerja ia mengitari hampir seluruh
Bali mencari-pesanan. Kadangkala ia harus bermalam di gunung,
tidur di aspal. Dan pada suatu hari sedang keliling, seseorang
berteriak: "Ini dia tukang emasnya! Ayo serbu!".
Darma tak tahu ujung pangkal apa yang sedang terjadi. Ia takut
setengah mati. Puluhan orang menyerbunya dengan pentung, sabit
dan parang. Untunglah sebelum terjadi apa-apa kemudian seorang
wanita berteriak mengatasi kegaduhan itu: "Bukan! Bukan dia!"
Maka selamatlah Darma. Rupanya seorang tukang emas lain,
beberapa hari sebelumnya pernah berlaku curang. Ia melarikan
gelang emas yang beratnya 30 gram.
Sejak pengalaman itu Darma berpikir keras. Akhirnya ia berhenti
keliling dan nongkrong di Pasar Kamboja, Kreneng, Denpasar.
Nasibnya mujur. "Pernah sampai kewalahan menerima pesanan,"
ujarnya. Tapi apa yang terjadi sekarang setelah emas membubung
"Pesanan paling banyak 1 atau 2 orang seminggu. Paling banter
dapat Rp 2000 sehari. Terpaksa saya ambil cincin saya sendiri
untuk diotak-atik biar tak kentara mengangggur," ujarnya terus
terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini