Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pandai Emas: Selamat Tingggal ...

Harga emas menanjak terus, tapi para pengrajin emas mengalami nasib yang tak menentu. 1968-1976, tahun emas bagi pedagang emas.

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA emas melenting sampai di atas Rp 12 ribu per gram. Masruf (41 tahun) perajin emas tradisional (kemasan) yang tinggal di Desa Kelayan, Banjarmasin, menilai harga seperti itu mengganggu stabilitas ekonomi. Binalnya harga si kuning itu disinyalirnya terjadi jauh sebelum Iran berkelahi dengan Amerika. Ia sendiri sudah meninggalkan profesi perajin emas. "Sejak Kenop 15, saya sudah menyatakan selamat tinggal pada gurinda dan perkakas lainnya," ucapnya dengan lirih, "kini saya jadi tukang ojek." Sebelum Kenop 15 Masruf yang berpengalaman 25 tahun dalam soal pembuatan perhiasan emas masih mendapat Rp 1500 sampai Rp 3000 setiap hari. Perlahan-lahan kemudian harga emas mencapai Rp 5000. Dan ketika angka sudah menunjukkan Rp 6000 per gram, ia hampir-hampir tidak kebagian order lagi. Sebab rupanya orang cenderung menyimpan emas batangan daripada perhiasan. Sementara toko-toko emas yang menjadi langganan tetap Masruf tidak memberi pesanan lagi. Praktis sejak awal 1976, Masruf dalam keadaan setengah menganggur. Sehingga begitu Kenop 15 diumumkan ia tak mau menyentuh alat-alat membuat perhiasan itu. Apalagi sekarang setelah si kuning membubung terus, ia hampir tak punya nafsu walaupun hanya untuk melihat alat-alat tadi. "Akan tetapi saya tidak menjual perkakas-perkakas saya," ujar ayah 5 orang anak itu. Alat-alat seperti gurinda, kikir, tukul, gumgum, pompa tiup, tuangan dan sebagainya itu bernilai tidak kurang dari Rp 200 ribu. Masruf rupanya masih berjaga-jaga barangkali satu ketika salah seorang anaknya mewarisi ketrampilannya. Lewat pekerjaan yang diturunkan oleh moyangnya itu, Masruf sempat menyimpan kenang-kenangan manis. Ia mampu menghidupi anak dan istrinya dan membuat sebuah rumah yang layak. Ketika ia harus membayar uang mahar untuk pernikahannya dulu, ia sanggup menyediakannya dari hasil cucuran keringat sebagai perajin emas. Meskipun akibat persentuhannya dengan perkakas itu, sejak usia belasan tahun, ia terpaksa mengorbankan sekolahnya. "Habis saya telanjur kenal duit," ujarnya. Tetangga Masruf, sesama tukang emas Basran, Fandy dan Abdul Khair, masih mencoba menegakkan profesi mereka. Hanya saja sekarang mainannya tidak hanya si kuning. "Perak atau tembaga pun kini kami kerjakan," kata Basran. Padahal sebelumnya jenis logam itu tak pernah mereka jamah. "Kami menolak mengerjakan perak, lebih-lebih tembaga, dulu," ujar mereka. Karena upah mengerjakan emas lebih mahal. Lagi pula bekas larutan emas yang kena ukir, bisa dikumpulkan. Larutan yang seperti abu itu bisa dijual. "Dan ini merupakan keuntungan yang jelas di luar upah," ujarnya. Khair mengaku ia ditodong untuk memilih: bertahan atau tukar pekerjaan. Sebagaimana umumnya perajin emas di Banjarmasin ia merasa sedih jika terpaksa harus lari dari pekerjaan yang sudah menjadi tradisi keluarganya itu. "Jika kami mencari pekerjaan lain nanti, itu semata-mata demi perut. Tidak berarti kami melupakan warisan nenek moyang kami yang tidak ternilai harganya itu," kata Basran "lihat saja nanti, kami bisa bertahan atau tidak." Sebagai perajin emas selama beberapa bulan ini Basran dan kawan-kawannya hanya berpenghasilan sekitar Rp 1000 sehari. Ini ancaman. Sebab bekerja atau tidak, setiap hari mulutnya harus disulut 30 batang rokok kretek. Artinya Rp 400. Itu baru asap mulut. Asap dapur lain lagi. Tak kurang dari 4 kepala yang menjadi tangggungannya. Sudah setahun ini Basran tidak bisa lagi mengikuti perkembangan film di bioskop Banjarmasin. "Jangankan nonton, mikirkan ongkos hidup harian saja sudah-setengah modar," ujar lelaki pemuja bintang film Charles Bronson ini. Jantungnya Berdetak Menurut Basran, tahun emas bagi pedagang emas adalah sekitar 1968 sampai dengan 1976. Waktu itu tiap hari datang antara 5 sampai 10 pesanan perhiasan. Hal ini dibenarkan oleh Masruf. Lelaki yang kini jadi tukang ojek ini menilai paling sedikit 1 gram emas jadi miliknya setiap hari. Karena itu pada 1974 ia sempat memiliki simpanan 1 kg emas. Kini sisanya memang masih terlihat di leher dan kuping istrinya sekitar 60 gram. "Mudah-mudahan saja saya tak sampai menjual apa yang kini masih ada di leher dan kuping istri saya," ujar Masruf. "Tiap saya dengar emas naik, jantung ini rasanya berdetak lebih keras," kata Muslihuddin (52 tahun) perajin emas di Sidoarjo (Ja-Tim). Ia adalah salah satu dari 4000 perajin emas yang terserak di kota-kota Jawa Timur: Bondowoso, Lumajang, Bangil, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Di Bangil, Mulyono (24 tahun) mengeluh "Sejak kenaikan emas yang pertama tahun lalu, saya sudah diberhentikan oleh majikan saya. Alasannya order dari Surabaya merosot," ujarnya. Ia kini bekerja sebagai tukang cat di Pasuruan. Untung ia sempat beli motor dari hasil keahliannya. Motor itulah yang kini membantunya untuk mencari order mencat tembok. Tidak hanya perajin emas yang kena sikut. Para juragan juga menderita. Haji Hamzah (55 tahun) di Bangil yang sudah 4 keturunan jadi juragan perajin emas, terpaksa menghentikan 84 orang pekerjanya. Kini hanya tinggal 18 perajin. "Itu pun rasanya akan saya berhentikan seandainya bulan mendatang tidak ada pesanan lagi," ujarnya cemas. Sebelum meletus G-30-S emas dianggapnya merupakan komoditi paling mantap. "Coba lihat, berkat emas ini saya jadi jaya, padahal asalnya saya hanya orang kemasan biasa. Dalam tempo 5 tahun kemudian saya mendapat kepercayaan dari pedagang di Surabaya," kata Pak Hai itu. Pada 1968 Haji Hamzah mampu punya mobil dan membeli 4 rumah yang khusus dipakai untuk kerja kemasan dengan 100 orang pekerja lebih. Ia mengakui emas itulah yang membuat banyak orang pada masa itu menjadi kaya dan mampu menambah namanya menjadi haji. "Dulu anak berumur sekitar 17 tahun sudah diberi order oleh orang tuanya untuk mengerjakan pesanan orang. Dan mereka punya pekerja-pekerja," kata juragan itu mengenang masa jayanya. Waktu itu kerja kemasan menjadi semacam tumpuan harapan para muda di Bangil. Apalagi kemudian didirikan pabrik pemasak emas di sekitar situ. "Dulu orang punya menantu kemasan itu bangga. Tapi entah sekarang, apa masih bangga," ujarnya. Di sungai Kini di Bangil sejumlah perajin emas kehilangan pekerjaan. Tapi segera timbul pekerjaan baru di kalangan mereka sejak harga si kuning melonjak. Mereka turun ke kali, memungut sisa masakan emas yang dibuat oleh 7 buah pabrik pemerintah di kota itu. Seperti dulu-dulu lagi, setiap hari seorang bocah dapat mengumpulkan sampai 800 miligram emas hanya dengan modal sebuah ayakan seng yang berjari-jari 10 cm. Sementara penduduk yang lain di kali yang sama membuang sampah dan berak. Pagi hari, pemburu-pemburu emas itu berendam di sungai. Mahfud yang terselip di antara orang-orang itu melaporkan betapa ia harus melawan rasa jijik menghadapi sampah dan kotoran manusia. Akan tetapi kemudian hal itu menjadi biasa. "Kotoran manusia yang berseliweran di sekujur tubuh, saya anggap biasa. Dulu malah saya pernah tertipu. Di ayakan ada kuning-kuning saya kira butiran-butiran emas, tapi setelah saya tapis kembali ternyata kotoran manusia, ha-ha," ujarnya sambil tertawa. Sungai itu juga mengandung air keras yang menyebabkan tangan dan kaki para penapis pecah-pecah. "Seperti dulu, penyakit saya kambuh lagi. Saya sering sakit dan pilek," kata Mahfud. Komaruddin, menantunya, yang ikut terjun ke kali juga merasakan hal itu. Yang perlu dicatat lagi, banyak penapis emas itu kini menderita panu. Di Lumajang, para perajin emas yang kehilangan pekerjaan, tukar haluan menjadi makelar. Mereka bagai tukang catut berdiri di depan bioskop, menjadi semacam toko-toko liar. "Umumnya mereka yang menjual emas enggan menyerahkan emasnya dengan harga pantas. Maunya ikut-ikut seperti harga di koran," keluh seorang makelar di Lumajang. Kadangkala memang mujur kalau ketanggor mereka yang butuh duit mendadak. Untungnya bisa sampai Rp 3000 sehari. "Tapi itu pun tidak sebanding dengan ketika.jadi kemasan dulu," kata makelar bekas perajin itu lebih lanjut. Eddy Sunarso (30 tahun) di Kota Sidoarjo masih bisa menceritakan senangnya jadi perajin emas. Ia bekerja di toko seorang pedagang Cina. Kalau membuat perhiasan untuk mengikat berlian, ongkosnya bisa sampai 5 atau 8 kali lipat. Karena itu meskipun harga emas ngacung terus, ia bersama istri dan 3 orang anaknya ternyata bisa bertahan. Ketemu Munifah Cerita bagus juga datang dari mulut Rofi'i Ma'sum (45 tahun) perajin atau kemasan di kios pasar Kota Cresik. "Saya hampir jadi perjaka tua seandainya Munifah tak memesan kalung kepada saya," ujarnya pada TEMPO. Ia mengungkapkan, tangannya bergetar waktu menerima pesanan itu. "Sengaja saya tunda-tunda selesainya supaya ia suka kembali ke tempat saya," ujarnya. Demikianlah akibat sering ketemu, kemudian Munifah menjadi istrinya. Kini sudah menghasilkan 7 orang anak. "Barangkali kalau tidak jadi kemasan saya tak akan bertemu gadis idaman saya ini," kata perajin yang senang pada profesinya itu. Tapi yang tidak enak juga banyak. Di Bondowoso Saiful Alam, nyaris dipukuli karena dianggap mengerjakan sesuatu yang menyimpang dari pesanan. Perajin ini memang amatiran. Ia melayani pemesan langsung, jadi tidak melalui toko. "Masa iya bentuknya agak lain saja dari contohnya saya sudah dituduh mengarang sendiri," ujarnya mengingat beberapa peristiwa yang pernah ia alami. Yang paling tidak bisa dilupakan Saiful adalah ketika sempat tertipu. Seorang pernah muncul memesan satu model perhiasan. Sebagai tanda jadi, Saiful memberikan secarik kertas lengkap dengan stempel dan tanda tangan. Tepat waktu barang selesai, seorang lainnya datang atas suruhan sang pemesan untuk mengambil barang itu. Tapi sial, besoknya si pemesan sendiri muncul dengan membawa surat yang sama. "Barulah saya merasa kalau kena tipu. Orang itu menggunakan stempel palsu. Rupanya saya sudah diincer sejak lama," kata Saiful. Ia harus mengganti 10 gram emas. Lain lagi yang dialami Darma (40 tahun) seorang pande emas di Desa Ulakan, Karanasem (Bali). Sejak Gunung Agung meletus tahun 1963, ladang dan sawahnya lenyap kena lahar. Ia kini menjadi pande emas keliling setelah gagal jadi tukang catut. Dengan memikul dua buah kotak untuk bekerja ia mengitari hampir seluruh Bali mencari-pesanan. Kadangkala ia harus bermalam di gunung, tidur di aspal. Dan pada suatu hari sedang keliling, seseorang berteriak: "Ini dia tukang emasnya! Ayo serbu!". Darma tak tahu ujung pangkal apa yang sedang terjadi. Ia takut setengah mati. Puluhan orang menyerbunya dengan pentung, sabit dan parang. Untunglah sebelum terjadi apa-apa kemudian seorang wanita berteriak mengatasi kegaduhan itu: "Bukan! Bukan dia!" Maka selamatlah Darma. Rupanya seorang tukang emas lain, beberapa hari sebelumnya pernah berlaku curang. Ia melarikan gelang emas yang beratnya 30 gram. Sejak pengalaman itu Darma berpikir keras. Akhirnya ia berhenti keliling dan nongkrong di Pasar Kamboja, Kreneng, Denpasar. Nasibnya mujur. "Pernah sampai kewalahan menerima pesanan," ujarnya. Tapi apa yang terjadi sekarang setelah emas membubung "Pesanan paling banyak 1 atau 2 orang seminggu. Paling banter dapat Rp 2000 sehari. Terpaksa saya ambil cincin saya sendiri untuk diotak-atik biar tak kentara mengangggur," ujarnya terus terang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus