SEANDAINYA benar kapsul Super Heporine telah mengakibatkan
terjadinya cacat pada bayi dalam kandungan, maka ada dua
masalah yang timbul.
Pertama bahwa obat-obat yang telah diizinkan beredar secara
bebas dengan nama "jamu" ternyata tidak sesungguhnya aman. Dalam
hal kapsul Super Heporine ini terlihat lebih parah lagi. Khasiat
sebagai pendatangkan haid belum pasti, akibat sampingannya
ternyata lebih mengerikan.
Agaknya sudah saatnya bagi pemerintah untuk membuat ketentuan
yang lebih ketat terhadap peredaran "jamu", terutama yang
diproduksi secara massal. Paling tidak diperlukan ketentuan yang
mengharuskan penelitian dengan percobaan binatang terhadap
jamu-jamu yang ditujukan untuk wanita dan kehamilan. Bila pada
percobaan binatang, jamu tersebut dapat mengakibatkan timbulnya
cacat pada bayi, maka sebaiknya tidak diizinkan untuk diedarkan
bagi wanita hamil.
Diharapkan para produsen jamu tidak berkeberatan lagi
menyerahkan komposisi jamunya secara terperinci dan terus terang
kepada pemerintah untuk diteliti. Sebaliknya diperlukan
kesungguhan pemerintah untuk melakukan penelitianpenelitian
semacam itu dalam usaha mengawasi keamanan obat.
Jika benar kapsul Super Heporine telah mengakibatkan cacat pada
bayi, tindakan hukum apa kira-kira yang harus dikenakan pada
produsennya? Dalam kasus Thalidomide 15 tahun yang lalu pabrik
pembuatnya bangkrut karena diwajibkan membayar ganti rugi kepada
korban. Super Heporine memang mencantumkan larangan untuk
dimakan oleh mereka yang sedang hamil, tetapi bagi ibu-ibu awam
sulit untuk mengetahui apakah keterlambatan haidnya itu karena
hamil atau karena hal lain.
Tergiur
Masalah kedua adalah kenyataan bahwa banyak di antara wanita
pemakan kapsul Super Heporine itu sebenarnya karena ketakutan
kalau hamil. Karena takut kalau-kalau keterlambatan haid itu
disebabkan oleh hamil, maka ia berusaha untuk "mendatangkannya".
Larangan digunakan oleh wanita hamil seperti yang tercantum
dalam bungkus Super Heporine itu justru lebih merupakan daya
tarik bagi mereka yang benar-benar ingin membatalkan
kehamilannya.
Masalah "kehamilan yang tidak diingini" dan usaha "membatalkan
kehamilan" ini memang sudah terdapat sejak zaman purba. Tetapi
perkembangan norma-norma manusia modern telah membuat usaha
semacam itu menjadi tabu. Agama dan hukum negara telah melarang
usaha membatalkan kehamilan tersebut.
Tetapi sebaliknya, juga norma-norma manusia modern itu pula yang
justru meningkatkan kebutuhan untuk membatalkan kehamilan.
Masalah hamil karena perkosaan, hamil di luar perkawinan, dan
hamil karena kegagalan pencegahan semakin banyak terjadi di
lingkungan manusia modern. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin
bila seorang tokoh saleh di masyarakat akan tergiur melakukan
usaha ini bila musibah itu menimpa anaknya, misalnya.
Kegagalan pencegahan kehamilan sering terjadi karena penggalakan
KB masih lebih ditujukan kepada kaum wanita. Pembudayaan norma
keluarga kecil seperti yang dikehendaki GBHN belum terasa di
kalangan pria. Sementara dalam masyarakat yang paternalistik ini
keputusan terakhir masih berada di tangan pria. Juga dalam hal
perencanaan keluarga, persetujuan dari pihak pria selalu masih
dipersyaratkan. Tetapi justru pada umumnya pihak suami inilah
yang berkeberatan.
Ketentuan KUHP yang melarang segala bentuk usaha membatalkan
kehamilan membuat kaum wanita mencari usaha secara
gelap-gelapan. Dipijat oleh dukun, dikuret oleh bidan atau
dokter yang melakukan praktek gelap semacam itu, atau makan jamu
seperti yang terjadi dengan kasus Super Heporine tersebut.
Cara-cara gelap yang akhirnya lebih mahal serta lebih
mendatangkan akibat-akibat buruk.
Lebih Aman
Cara-cara gelap ini menyulitkan dilakukannya penelitian yang
ditujukan untuk melakukan pengamanan bagi kaum wanita. Sulit
diketahui berapa banyak yang telah meninggal, infeksi, harus
dipotong rahimnya karena terlanjur robek, atau cacat pada
bayinya seperti akibat jamu-jamu tadi.
Permintaan pembatalan kehamilan ini mungkin akan lebih meningkat
lagi dengan perkembangan teknologi kedokteran akhir-akhir ini.
Salah satu kemajuan itu adalah kemampuan mendeteksi adanya cacat
bawaan semenjak bayi masih dalam kandungan usia muda.
Amniosentesis, recombinant DNA engineering melalui pemeriksaan
darah, dan ultrasonografi telah memungkinkan para dokter
mengetahui apakah bayi dalam kandungan itu akan cacat atau
tidak.
Akan menjadi godaan yang besar bagi calon ayah dan ibu si bayi
untuk membatalkan kehamilan tersebut, terutama karena adanya
cacat itu dapat dikenali sejak kandungan masih berusia muda.
Adakah ia akan mematuhi KUHP dan membiarkan anaknya lahir dengan
risiko anak itu kelak akan menanggung beban cacat seumur hidup
dan menjadi beban pula bagi orang lain? Adakah pemerintah yang
melarang ia membatalkan kandungan itu akan bersedia menanggung
beban tersebut?
Godaan akan menjadi lebih besar lagi karena teknik-teknik
kedokteran mutakhir memungkinkan usaha pembatalan kehamilan ini
dilakukan secara lebih aman. Perkembangan ilmu obat-obatan kini
sudah menemukan suatu hormon, prostaglandin, yang dapat
digunakan untuk membatalkan kehamilan secara aman tanpa melalui
kuret atau sedot. Bahkan konon sampai pun usia kehamilan enaul
bulan. Hanya dengan suntikan atau bahkan memasukkannya ke leher
rahim, kehamilan akan dibatalkan begitu saja. Sewajar orang haid
atau melahirkan.
Perkembangan-perkembangan ini perlu dihadapi dengan
pemikiran-pemikiran yang realistis, apapun bentuknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini