Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernahkah Anda melihat langsung kundur, orok-orok, telang ungu, saga rambat, atau tomat kemir? Atau tahukah Anda dengan nama tanaman seperti gambas, kecipir, koro pedang, kapas lowo? Wajar bila Anda tidak pernah melihatnya langsung, bahkan tidak tahu aneka tanaman itu. Apalagi jika Anda tinggal lama di perkotaan dan tak punya hobi berkebun. Aneka tumbuhan itu memang mulai langka dan jarang ditanam orang. Padahal aneka tanaman asli Indonesia itu punya banyak manfaat. Selain untuk sumber pangan, sebagian di antaranya punya nilai ekonomi dan bermanfaat menjaga kelestarian lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kacang koro, misalnya. Ketika harga kacang kedelai membubung sewaktu krisis ekonomi pada 2008, tanaman ini justru menjadi solusi bagi para pengusaha tahu dan tempe di Wonogiri, Jawa Tengah, untuk tetap beroperasi. "Kacang koro itu tanaman asli Indonesia, tapi kita malah ketergantungan pada kedelai yang harus diimpor," kata Chandra Kirana Prijosusilo, aktivis sosial yang menginisiasi gerakan Pamong Benih Warisan, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Keberhasilan penggunaan koro pada krisis kedelai 12 tahun lalu itu, kata Kiki, panggilan akrab Chandra, memperlihatkan bahwa sesungguhnya tanaman asli Tanah Air punya resiliensi tinggi terhadap gejolak ekonomi dan pasar.
Berkaca dari pengalaman itu, Chandra pun terinspirasi untuk menggalakkan kembali penanaman aneka tumbuhan asli Nusantara pada masa pandemi virus corona (Covid-19) ini. Pada Mei lalu, Kiki mengajak rekan-rekannya yang berkecimpung di bidang pemuliaan benih tanaman untuk mengumpulkan benih tanaman lokal. "Kami mencari benih tanaman yang potensial untuk menjaga ketahanan pangan di masa pandemi." Beberapa orang yang ia ajak: Leya Cattleya Soeratman dan Zubaidah Djohar (Komunitas Empu), Nissa Wargadipura (pemimpin Pesantren Ekologi At Thaariq, Garut), Diah Widuretno (pendiri Sekolah Alam Pagesangan, Gunungkidul), serta Titik Sasanti (Yayasan Gita Pertiwi, Solo).
Misi gerakan ini, kata Chandra, adalah menyebarkan benih-benih itu seluas-luasnya kepada masyarakat secara gratis dan tidak diperjualbelikan. "Kami berikan kepada mereka yang punya niat untuk melestarikan tanaman asli, sekaligus menjaga ketersediaan pangan." Untuk mempermudah dan memperluas distribusi, mereka mengajak orang lain untuk menjadi relawan alias pamong. Para pamong bertugas mengemas benih ke kantong-kantong kecil dan mengirim ke orang yang menginginkan benih itu atau pengadopsi.
Para penerima benih itu disebut pengadopsi karena mereka diharapkan akan menanam dan merawat tanamannya dengan cara alami. Kemudian, jika sudah panen, para pengadopsi diharapkan berbagi hasil kebunnya kepada tetangga dan kerabat. "Lebih bagus lagi, jika tanaman yang berbuah, bijinya dapat dijadikan benih dan disebarkan lagi ke orang lain, sehingga gerakannya terus meluas," ujarnya.
Meski baru sebulan berjalan, gerakan ini disambut antusiasme dari berbagai penjuru Tanah Air. Kiki mencatat sudah lebih dari 2.000 paket benih yang disebarkan. Lokasinya tak hanya di Pulau Jawa, tapi juga Pulau Buru di Maluku, Ambon, Sulawesi Tengah, sampai Aceh. Mereka pun membuat grup di Facebook sehingga para pengadopsi dapat berbagi tentang perkembangan tanaman mereka.
Adapun anggota yang punya pengetahuan berkebun dan bertani rutin membagikan ilmunya kepada anggota lain. Tak sedikit para pamong dan pengadopsi yang masih benar-benar hijau dalam hal bercocok tanam. Salah satunya Evie Permatasari. Ia adalah pamong benih yang paling awal bergabung.
Dia mengaku sama sekali tak punya pengetahuan dan pengalaman berkebun. Meski begitu, Evie, yang merupakan aktivis isu anak dan perempuan di Lembaga Partisipasi Perempuan, termotivasi untuk mulai menanam di halaman rumahnya di Tangerang. Menurut Evie, aneka tanaman lokal ini bisa langka dan benar-benar hilang jika tidak ada lagi orang yang menanam. "Apalagi dulu ibu saya gemar menanam aneka tanaman obat keluarga di rumahnya."
Kini di rumah Evie sudah tumbuh berbagai tanaman sayuran, seperti kangkung, bayam, dan terung telunjuk. Di sela kesibukan pekerjaannya dan berkebun, dia juga rutin mengemas dan mengirim benih-benih kepada para pengadopsi yang tertarik. Ia kerap membuat pengumuman daftar benih yang baru ia terima dari para inisiator.
Tak asal membagikan, Evie menjelaskan, para pamong juga ikut membantu menghitung jumlah kebutuhan benih sesuai dengan luas lahan para pengadopsi. Belakangan, gerakan berbagi benih ini tak hanya mengandalkan para pamong. Evie bercerita, para pengadopsi benih pun ada yang mulai membagikan benih kepada rekan-rekannya. "Mereka membuat pembenihan berdasarkan tanaman yang sudah mereka tanam," tutur dia.
Bahkan orang-orang yang punya banyak tanaman di tempat tinggalnya ikut berkontribusi mengirim ribuan butir benih ke sekretariat Pamong Benih Warisan di kediaman Kiki di Bogor.*
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo