Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Profesor dari Departemen Kimia di Universiti Putra Malaysia, Bimo Tejo, mengatakan obat Paxlovid efektif untuk semua varian mutasi COVID-19. Menurutnya, itu karena sasarannya adalah enzim protease, virus yang laju mutasinya jauh lebih rendah dibanding mutasi pada bagian spike virus corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada khir Desember 2021, Badan Administrasi Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA) telah menyetujui otorisasi penggunaan darurat (EUA) Paxlovid dalam pengobatan COVID-19. Ketersediaan obat sebagai terapi oral khusus untuk COVID-19 ini sangat dibutuhkan untuk meminimalisir efek pada tubuh dan mencegah rawat inap, sakit, dan kematian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam uji klinis, Paxlovid 90 persen efektif mencegah rawat inap dan kematian pasien berisiko tinggi. Selain itu, Paxlovid juga mampu melawan VOC virus corona, termasuk Omicron. Paxlovid juga dilaporkan dapat menghambat virus corona lain, termasuk SARS dan MERS.
Paxlovid akan tersedia dalam bentuk blister berisi dua tablet Nirmatrelvir 150 mg dan satu tablet Ritonavir 100 mg. Nirmaltrevir berasal dari kandidat obat PF-00835231 yang dulu sempat dibuat oleh perusahaan farmasi Pfizer untuk mengatasi wabah SARS di 2002. Akan tetapi, proses produksi obat tersebut dihentikan karena wabah SARS berhasil dikendalikan dengan cepat.
Kandidat obat PF-00835231 baru dilirik kembali setelah munculnya COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang merupakan virus corona beta, satu kelompok dengan virus penyebab wabah SARS yang merebak 20 tahun lalu. Adapun, tim peneliti Pfizer melakukan modifikasi terhadap kandidat obat PF-00835231 untuk meningkatkan efektivitasnya terhadap virus SARS-CoV-2. Hasil modifikasi tersebut diberi nama nirmaltrevir (PF-07321332).
Nirmaltrevir bekerja dengan menghambat enzim protease yang digunakan oleh virus SARSCoV-2 untuk bereproduksi di dalam tubuh manusia. Hasilnya, perkembangan virus jadi terhambat. Karena nirmaltrevir memiliki kemungkinan terurai di dalam tubuh manusia sehingga efektivitasnya berkurang, maka ditambahkan ritonavir untuk menjaga kestabilan nirmaltrevir supaya tidak mudah terurai.
Hasil uji klinis Paxlovid (nirmaltrevir dan ritonavir) oleh Pfizer yang melibatkan 2.246 orang menunjukkan efektivitas 89 persen mengurangi risiko rawat inap dan kematian jika diberikan tiga hari setelah munculnya gejala atau 88 persen jika diberikan lima hari setelah munculnya gejala. Selain itu, dalam uji klinis Paxlovid tersebut populasi Asia dimasukkan dalam subyek uji klinis. Komposisinya adalah 72 persen Kaukasia, 5 persen Afrika, dan 14 persen ras Asia. Jadi, efektivitas Paxlovid terhadap ras Asia telah teruji.
Lebih lanjut, Bimo memaparkan obat Paxlovid aman dikonsumsi oleh pasien COVID-19 usia 12 tahun ke atas dan berat 40 kg atau lebih. Meski demikian, Bimo mengingatkan Paxlovid tidak efektif untuk pasien COVID-19 yang bergejala berat dan sudah dirawat di rumah sakit. Obat ini juga harus diberikan segera setelah terindikasi positif COVID-19, sebaiknya dalam rentang waktu lima hari setelah munculnya gejala dan tidak bisa digunakan lebih dari lima hari berturut-turut. Bimo menegaskan pula Paxlovid hanya bisa diberikan melalui resep dokter.
“Paxlovid hanya bisa diberikan dengan resep dokter dan tidak bisa digunakan untuk mencegah COVID-19. Jadi, protokol kesehatan dan vaksinasi tetap harus dijalankan,” tegas Bimo.
Ia juga mengingatkan sebelum mengonsumsi Paxlovid, pasien juga perlu mengetahui apakah sebelumnya memiliki sejarah hipersensitivitas terhadap nirmaltrevir atau ritonavir. Selain itu, Bimo mengatakan pasien COVID-19 untuk tidak kaget apabila saat mengonsumsi Paxlovid akan mengalami gangguan indera perasa, diare, hipertensi, dan nyeri otot.
Paxlovid juga memiliki kontraindikasi jika diberikan bersama obat lain yang berinteraksi dengan CYP3A, seperti alfuzosin, pethidine, propoxyphene, amiodarone, dronedarone, flecainide, propafenone, quinidine, colchicine, lovastatin, simvastatin, phenobarbital, rifampin, dan lainnya. Daftar lengkap obat yang memiliki kontraindikasi dengan Paxlovid ada dipublikasi lembar fakta yang dikeluarkan FDA.
Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter sebelum minum obat ini. Bimo juga menjelaskan pada umumnya penderita komorbid boleh mengonsumsi Paxlovid selama dikonsultasikan dengan dokter.
Yang memiliki masalah ginjal (eGFR sama dengan atau lebih besar 30 hingga kurang dari 60 mL/min) dosis Paxlovid perlu dikurangi menjadi 150 mg nirmatrelvir dan 100 mg ritonavir dua kali sehari selama 5 hari. Meski demikian, Paxlovid tidak boleh diberikan kepada penderita gangguan ginjal dengan eGFR kurang dari 30 mL/min, juga tidak direkomendasikan untuk penderita gangguan hati yang parah (Child-Pugh kelas C).
Berbagai negara sudah menggunakan Paxlovid. Di wilayah timur, Korea Selatan menjadi negara Asia pertama yang telah menyetujui penggunaan Paxlovid. Sementara Indonesia sudah kedatangan Paxlovid dan masih menunggu kajian efikasi, khasiat, dan efek samping dari Paxlovid yang dilakukan oleh BPOM.
Bimo mengingatkan, meski kasus COVID-19 sudah menurun di banyak daerah dan negara, bukan berarti masyarakat harus lengah akan protokol kesehatan, terutama karena masih ada varian baru yang terus muncul akibat mutasi virus corona. Selain itu, diharapkan masyarakat juga tidak meremehkan virus ini karena SARS-CoV-2 adalah RNA-coronavirus yang sangat menular dan dapat menyebabkan kasus serius seperti pneumonia serta gejala long COVID yang dapat berakibat pada kerja organ tubuh di masa panjang.