Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar itu berwujud sesosok tubuh pendek berkepala besar. Tertawa lebar, mempertontonkan giginya yang hanya dua. Kedua tangannya terentang lebar. Tampak sekali keceriaan di wajah dari hasil "coret-coret" dengan krayon biru itu.
Entah siapa obyek yang digambar Fero Adhimada Sardjono, 10 tahun, di atas selembar kertas putih itu. Bisa jadi itu potret dirinya. Sebab, bungsu dari empat bersaudara anak pasangan Sardjono dan Naniek Lestari ini memiliki ukuran kepala lebih besar dibanding rata-rata anak seusianya. Tubuhnya cebol, hanya 90 sentimeter.
Ketika ditemui Tempo, Senin pekan lalu, di International Center for Special Care in Education di Pejaten, Jakarta Selatan, Fero tak banyak bicara ketika ditanya tentang makna gambarnya itu. Maklum saja, adatnya memang demikian. Menurut Iwan Sintera, psikolog lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus, hanya satu murid di sana yang memiliki sindrom Morquio. Anak-anak lain menyandang autisme, Down syndrome, dan sebagainya. Di sekolah tersebut, Senin-Jumat, Fero mendapatkan sejumlah pelajaran dan terapi. Menurut sang terapis, Risa, Fero menjalani fisioterapi, terapi okupasi, serta aktivitas kelompok dan sosialisasi.
Sindrom Morquio atau mucopolysaccharidosis IVA (MPS IVA) adalah penyakit keturunan akibat diwariskannya gen cacat kedua orang tua. Kelainan ini ditandai dengan kekurangan atau ketiadaan enzim N-asetilgalaktosamin-6-sulfatase.
Enzim tersebut berfungsi memecah molekul gula yang memiliki ukuran besar, yang disebut glycosaminoglycans (GAGs) atau mucopolysaccharides. Letak enzim ini ada di lisosom, "ruang" di antara sel-sel yang bertugas memecah dan mendaur ulang berbagai jenis molekul. Akibat kekurangan dan ketiadaan N-asetilgalaktosamin-6-sulfatase, jaringan tubuh si penderita berkembang tak normal (displasia), termasuk susunan tulang-belulangnya. Itu sebabnya pertumbuhan tubuh Fero terhambat sehingga menjadi cebol.
"Sindrom ini terjadi akibat kelainan genetis," kata dokter Damayanti R. Sjarif, konsultan nutrisi dan penyakit metabolik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang sempat merawat Fero. Namun, menurut sang ibu, Naniek Lestari, dari garis keturunannya, juga suaminya, tidak ada yang menderita sindrom tersebut. Saat dia mengandung Fero, semua juga berjalan biasa, seperti saat Naniek mengandung ketiga kakak Fero. Itu sebabnya keluarga besar Naniek kaget ketika mengetahui Fero menderita sindrom Morquio.
Morquio berasal dari nama Morquio, dokter anak di Montevideo, Uruguay. Pada 1929, ia "menemukan" sebuah keluarga dengan empat anak cebol dengan kepala berukuran besar.
Ada dua jenis sindrom ini. Tipe A ditandai hilangnya enzim galaktosa-6-sulfatase, sedangkan tipe B, yang lebih jarang terjadi, ditandai ketiadaan enzim beta-galaktosidase—yang berfungsi menjadi katalisator proses pemecahan kimia dengan air (hidrolisis) dari beta-galaktosidase menjadi senyawa kimia yang lebih sederhana, monosakarida. Belum ada data pasti angka kejadian sindrom ini di Indonesia, tapi secara global 1 : 200.000 kelahiran hidup.
Sindrom Morquio merupakan satu dari sekitar 40 gangguan fungsi penyimpanan lisosom (lysosomal storage diseases/LSD), yaitu kelainan genetis yang mempengaruhi metabolisme lisosom. Dalam kondisi normal, lisosom, yang mengandung enzim-enzim hidrolitis, mencerna dan menyingkirkan berbagai limbah sel yang sudah tak berfungsi dan benda asing yang tak diinginkan tubuh, termasuk bakteri yang masuk ke sel. Lantaran ketiadaan enzim tertentu, zat yang masuk itu, karena tidak dicerna, akan menumpuk dan mengganggu fungsi sel. Sejumlah kelainan, termasuk pada tulang, bermunculan.
"Pada saat lahir, bayi terlihat normal," kata Damayanti. Namun, dalam perkembangannya, saat usia bayi setahun atau lebih, kelainan mulai muncul lantaran makin banyak materi sisa sel di tubuh si bayi yang tak bisa dicerna. Tulang yang bengkok-bengkok adalah salah satu gejala yang gampang dilihat. Naniek membenarkan, Fero terlihat sehat saat dilahirkan. Kelainan muncul saat dia berusia setahun: sendi pergelangan tangan Fero tidak menyambung sempurna sehingga terlihat keple.
Lalu muncul sejumlah kelainan lain. Seperti diungkap Peni Utami, kakak tertua Fero, secara perlahan tulang kaki adiknya menjadi berbentuk X dan tulang belakangnya bengkok, bahkan beberapa bagian tulang belakang leher tidak tumbuh sempurna. Fero pun harus menjalani operasi di Taiwan. Untuk keperluan ini, kepala Fero harus "dikerangkeng" dengan alat khusus selama enam bulan sehingga tidak bisa menengok kanan-kiri sedikit pun.
Adapun tulang dada Fero tampak menonjol seperti burung, ukuran kepalanya lebih besar dibanding teman sebaya, dan jarak antargiginya berjauhan. Derita Fero masih bertambah dengan rusaknya klep jantung, sehingga dia harus menjalani operasi penggantian klep saat berusia empat tahun.
Pendengaran Fero juga lemah, membuat dia perlu dioperasi untuk pemasangan alat—semacam pipa kecil—yang memperkuat fungsi gendang telinga. Tulang lidahnya juga pendek, sehingga kemampuan bicaranya terbatas. "Kosakata yang dimiliki Fero cuma sekitar 100 kata," kata Ludwi, suami Peni, yang tak bosan mencari pengobatan buat Fero.
Saat ini, belum ada pengobatan tokcer untuk menangani penderita sindrom Morquio. Salah satu solusi yang pernah dipraktekkan adalah transplantasi tulang belakang, tapi hasilnya mengecewakan. Sedangkan penanganan yang kini umum dilakukan adalah pemberian terapi pengganti enzim yang hilang, yakni N-asetilgalaktosamin-6-sulfatase. Tindakan ini tidak menyembuhkan, hanya akan memperbaiki kualitas hidup.
Salah satu perusahaan farmasi yang sedang melakukan uji klinis terapi ini adalah BioMarin asal Amerika Serikat. Perusahaan itu telah melakukan uji klinis tahap 1 dan 2 dan mengklaim hasilnya bagus. Mulai Februari lalu, BioMarin melakukan uji klinis tahap 3, untuk menguji keamanan dan efektivitas terapi. Secara bertahap, upaya ini akan melibatkan 40 pusat penelitian kesehatan di Brasil, Jepang, Taiwan, dan Kanada. Sekitar 160 sukarelawan penderita sindrom Morquio akan dilibatkan dan mendapatkan terapi penggantian enzim asetilgalaktosa selama 24 pekan.
Saat Fero menjalani operasi di Taiwan, hingga pertengahan tahun lalu, keluarganya tahu Taiwan akan terlibat dalam uji klinis tahap 3 itu. Fero pun didaftarkan dan bergabung dengan masyarakat MPS Taiwan. Namun upaya itu rontok karena BioMarin mencoretnya. Ketiadaan dukungan dari masyarakat MPS Indonesia menjadi salah satu alasan kegagalan Fero menjadi sukarelawan.
Masyarakat MPS Indonesia sebenarnya sudah terbentuk. Dokter Damayanti dan kawan-kawan di subdivisi penyakit metabolik FKUI-RSCM terlibat di dalamnya. Di organisasi yang diberi nama Yayasan MPS dan LSD Indonesia ini, Peni menjadi ketua. Namun, untuk mempertemukan para pasien dan keluarga pengidap MPS—setidaknya ada 5-6 pasien yang pernah ditangani Damayanti—luar biasa sulit. Apalagi sebagian di antara mereka tinggal di luar Jawa.
Pada akhir tahun ini, giliran Kanada akan terlibat uji klinis terapi penggantian enzim. Keluarga Fero berharap si bungsu bisa ikut serta. Itu berarti dukungan dari masyarakat MPS Indonesia sangat dibutuhkan. Lewat situs www.ferofoundation.com, mereka mengkampanyekan ihwal sindrom Morquio. "Hasil uji klinis itu pasti sangat bermanfaat bagi pasien sindrom Morquio lain di Indonesia," kata Ludwi.
Dari situs itu pula keluarga Fero berharap bisa mengajak keluarga pasien Morquio berkumpul dan berbagi cerita. Mereka percaya banyak pasien senasib Fero yang butuh teman berbagi.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo