Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iklannya mengentak. Be a hundred percent…! Seolah, tanpa Mizone, minuman isotonik, tubuh gampang lunglai dan tak lagi genap seratus persen. Rasanya segar, dengan aroma jeruk atau markisa, mantap membasahi tenggorokan di siang terik. ”Sudah setengah tahun ini saya gemar sekali minum Mizone,” kata Rita Zahara, 28 tahun, karyawati perusahaan swasta di Jakarta.
Kebiasaan Rita berubah sejak heboh pemberitaan minuman berbahan pengawet muncul di media massa, dua pekan lalu. Mizone, minuman favorit, telah dia pensiunkan. ”Saya ingin aman,” katanya, ”Entah apakah berita itu benar atau meragukan, yang penting stop dulu minuman berpengawet.”
Rita bukan satu-satunya. Tak sedikit konsumen yang khawatir akan keamanan produk minuman dalam kemasan. Sebuah kerisauan yang beralasan. Pada pertengahan November lalu, Komite Masyarakat Anti-Bahan Pengawet (Kombet) mengumumkan hasil penelitian mereka tentang minuman dalam kemasan. Menurut lembaga ini, 9 dari 31 merek minuman dalam kemasan yang beredar di pasaran telah melanggar peraturan. ”Ada yang cuma mencantumkan satu bahan pengawet, padahal produk ini menggunakan pengawet lebih dari satu jenis,” kata Nova Kurniawan, Ketua Kombet.
Siaran pers Kombet bergema kencang. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) turun tangan dengan mengulang uji yang dilakukan Kombet. Buntutnya, pada 1 Desember lalu, lembaga ini melarang minuman bermerek Boy Zone, Zegar Isotonik, Kopi Kap, dan Jolly Cool Drink lantaran tidak terdaftar di Badan POM.
Bukan hanya itu. Lima merek minuman yang cukup beken diperintahkan ditarik dari peredaran, yakni Mizone, Zporto, Mogu-Mogu, Jungle Jus, dan Zestea. Kelimanya terbukti tidak memberikan informasi dengan benar. Mizone dan Mogu-Mogu hanya menyebutkan satu jenis bahan pengawet, padahal mereka menggunakan dua jenis bahan. Lalu Zestea, Zporto, dan Jungle Jus sama sekali tidak mencantumkan pengawet, padahal jelas-jelas uji laboratorium menunjukkan ketiga merek ini dilengkapi bahan kimia pengawet. ”Itu sebuah bentuk kebohongan publik,” kata Sudirman, Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan POM.
Pemerintah memang membolehkan penggunaan bahan tambahan makanan, termasuk pengawet. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722 Tahun 1988. Ada 16 jenis pengawet yang diperbolehkan, antara lain natrium benzoat dan kalium sorbat. Tapi penggunaannya harus di bawah batas yang ditentukan, misalnya pengawet dalam minuman paling banter 600 miligram/liter. Produsen pun wajib memberikan informasi dengan benar pada kemasan produk.
Sudirman menjelaskan, produsen Mizone, Zestea, Mogu-Mogu, Jungle Jus, dan Zporto diharuskan menarik dan membenahi label kemasan. ”Kita beri batas waktu dua minggu sejak pengumuman,” kata Sudirman. Jika tidak, ada sanksi menunggu, yakni pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau denda Rp 2 miliar berdasar UU Perlindungan Konsumen Tahun 1999.
Pada Rabu pekan lalu, Didi Nugrahadi, Direktur Marketing PT Tirta Investama, produsen Mizone, menyatakan menyesal atas kelalaian pada label ini. Meskipun demikian, dia menegaskan, kandungan pengawet dalam Mizone tidak berbahaya karena tidak melebihi batas yang diizinkan Badan POM. Cuma, masalahnya, jenis bahan tidak dicantumkan secara komplet pada kemasan. ”Kami sedang mengadakan penyelidikan internal mengapa hal ini bisa terjadi,” kata Didi.
Pencantuman komposisi bahan makanan adalah hal yang tak bisa ditawar. ”Karena tidak semua orang dapat menerima dan memiliki kemampuan detoksifikasi yang baik,” kata ahli toksikologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Bambang Wispriyono. Informasi yang benar akan membuat konsumen punya bekal bertindak, apakah dia akan mengkonsumsi suatu merek makanan atau tidak.
Ancaman bahaya yang diusung pengawet dalam minuman, menurut Bambang, memang tidak sebesar formalin atau boraks. Namun, bila dikonsumsi terus-menerus, bahan pengawet ini juga berisiko mengganggu keseimbangan tubuh.
Secara alamiah, tubuh tak berhenti melakukan tugas metabolisme. Dalam proses ini, bahan kimia yang bersifat tidak aktif dan kurang beracun (toksik) akan digelontor keluar, yakni melalui keringat, ludah, urin, dan tinja. Akan timbul masalah bila bahan kimia yang memasuki tubuh bersifat toksik dan aktif. ”Racun akan menumpuk di berbagai jaringan dan organ tubuh, terutama pada hati,” kata Bambang.
Timbunan racun juga terjadi pada ginjal, otak, rambut, kuku, dan tulang. Bahaya akan muncul bila timbunan bahan kimia ini bereaksi, misalnya mengikat molekul penting dalam DNA (asam deoksiribosa nukleat). Bila ini terjadi, tubuh akan mengalami ”korsleting”. Fungsi berbagai jenis protein dan enzim terganggu, sehingga mengacaukan keseluruhan fungsi tubuh. Akibatnya, dalam jangka panjang bisa timbul letupan berbahaya semisal kanker, gangguan otak dan jantung, juga gagal ginjal.
Dampak buruk pengawet juga disuarakan oleh Rachmad Wachjudi, dokter ahli reumatologi dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Pada 1999, tim yang dipimpin Rachmad Wachjudi memeriksa 380 pasien penderita penyakit lupus (systemic lupus erythematosus, SLE) yang berobat di RS Hasan Sadikin. Setelah diteliti, 80 persen pasien lupus ini memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan kemasan yang kaya bahan pengawet. Lupus adalah suatu jenis penyakit gangguan imunitas yang membuat tubuh justru melumat sel darah merah yang diproduksi tubuh. Riset yang lebih mendalam tentu dibutuhkan, karena lupus sampai kini adalah penyakit yang belum sepenuhnya dimengerti, begitu pula kaitannya dengan bahan kimia pengawet.
Rachmad menjelaskan, bahan kimia pengawet termasuk salah satu pencetus kekambuhan penyakit lupus. Faktor pencetus yang lain adalah virus, terik matahari, cat rambut, dan zat pewarna. ”Terutama jenis rhodamin dan tartrazin,” katanya. Yang menyedihkan, kedua pewarna ini banyak ditemukan dalam jajanan anak sekolah.
Begitulah, bukan hanya makanan dan minuman kemasan yang perlu diwaspadai. Jajanan anak sekolah, bahan pangan mentah yang dijual di pasar, semuanya menuntut sikap hati-hati konsumen. ”Saya sendiri nggak pernah capek memperhatikan bahan makanan yang akan saya beli,” kata Evida, 38 tahun, ibu dua anak yang tinggal di Slipi, Jakarta Barat. Label kemasan, keterangan komposisi bahan, warna, bau, tekstur, penampakan fisik bahan makanan, dia amati dengan seksama. ”Saya cerewet, sih,” katanya. Tapi, ”Biarin, demi kesehatan.”
Sunariah, Rana Fitriani Akbar (Bandung)
Pilah-Pilih Makanan
- Perhatikan label kemasan, periksa adakah kode registrasi Badan POM. Jika tidak ada, berarti makanan tersebut belum terdaftar dan sama sekali belum terjamin keamanannya.
- Perhatikan secara visual, apakah ada perubahan warna, rasa, dan aroma makanan atau minuman. Jika ada, jangan dikonsumsi.
- Periksa adakah kerusakan atau kebocoran kemasan kaleng atau plastik. Untuk mengujinya, tekan botol atau kaleng. Jika setelah ditekan ada udara atau air yang keluar dari dalam kemasan, berarti berbahaya. Jangan dikonsumsi.
- Jangan takut menyingkirkan makanan atau minuman yang mendekati atau sudah kedaluwarsa.
- Utamakan membeli makanan, sayuran, atau buah segar.
- Sebelum diolah, rebuslah bahan makanan (misalnya ayam atau tahu) minimal satu kali. Buang air rebusannya. Langkah ini untuk menghilangkan formalin yang mungkin digunakan pedagang sebagai bahan pengawet.
- Untuk menghilangkan formalin pada ikan, cuci ikan dengan cuka atau asam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo