Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rentan betul posisi kita, konsumen Indonesia. Kita bersandar penuh pada pemerintah yang menegakkan aturan tentang keamanan pangan. Tapi pemerintah tempat kita bersandar belum bekerja maksimal.
Pada 1 Desember lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) memerintahkan sejumlah produk minuman kemasan ditarik dari peredaran. Mizone, Zestea, Mogu-Mogu, Zporto, dan Jungle Juice "disemprit" karena tidak menyampaikan informasi kandungan bahan pengawet dengan benar.
Badan POM memberi batas waktu dua pekan sejak pengumuman. Para produsen diwajibkan menanggapi dan membenahi kemasan produk. Jika tidak, sanksi menanti mereka, yakni pidana dengan penjara lima tahun atau denda Rp 2 miliar sesuai dengan Undang Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (baca, Penyakit di Balik Kemasan).
Langkah Badan POM tepat dan perlu. Tapi kenapa baru sekarang? Mizone, umpamanya. Minuman isotonik ini telah diproduksi sejak September tahun lalu, disokong jaringan distribusi perusahaan besar Aqua Danone. Semestinya tes terhadap kandungan bahan pengawet dan akurasi kemasan Mizone itu dilakukan sebelum Mizone resmi beredar di pasaran.
Tindakan Badan POM bisa dibilang terlambat. Bahkan, POM bergerak di belakang Komite Masyarakat Anti-Bahan Pengawet. Bulan lalu, Komite mengumumkan hasil risetnya tentang sembilan dari 31 merek minuman kemasan yang dinilai melanggar aturan bahan tambahan makanan. Baru setelah temuan ini dirilis, Badan POM melakukan uji ulang yang menguatkan kesimpulan Komite.
Benar, kandungan pengawe Mizone masih dalam taraf aman. Para penggemar minuan dalam botol plastik biru ini boleh sedikit merasa lega. Kekeliruannya adalah tidak mencantumkan informasi secara akurat. Mizone cuma menyebut adanya pengawet kalium sorbat, padahal sesungguhnya dia juga mengandung pengawet jenis natrium benzoat.
Boleh jadi produsen Mizone, juga yang lain, merasa label kemasan tidak terlalu penting karena kadar pengawet kimia dalam produk mereka masih sesuai dengan aturan. Namun, informasi yang akurat tetap perlu disampaikan kepada konsumen.
Konsumen memerlukan informasi itu untuk memutuskan seberapa banyak konsumsi yang akan dilakukan. Menurut ahli pangan, batas aman bagi tubuh untuk mengkonsumsi pengawet jenis sorbat adalah (25 miligram per kilogram berat badan saban hari. Untuk benzoat, batas aman adalah 5 miligram per kilogram berat badan tiap hari. Label yang tidak akurat bisa menjerumuskan, berpotensi mendatangkan salah informasi. Ini yang bisa menyebabkan konsumsi tak terkontrol, membuat aneka bahan kimia menumpuk dan menjadi racun dalam tubuh tanpa disadari konsumen.
Kejadian ini, sekali lagi, menguatkan fakta bahwa kalagan industri pangan di negeri ini masih abai pada hak konsumen. Tentu kita belum lupa betapa heboh pemberitaan tentang formalin dan boraks-pengawet yang sama sekali dilarang-pada tahu, ikan, dan mi, awal tahun ini. Lalu, tak berapa lama setelah pemerintah melonggarkan pengawasan, sumber di Badan POM menyebutkan bahwa formalin dan boraks muncul kembali di piring makan kita.
Kasus minuman kemasan berpengawet ini perlu dijadikan momentum baru peningkatan fungsi pengawasan pangan. POM perlu lebih tegas menegakkan aturan. Posisi konsumen yang sangat rentan harus diperkuat, oleh POM dan berbagai lembaga masyarakat, seperti Komite Masyarakat Anti-Bahan Pengawet itu. Dalam soal apa yang kita makan dan minum, kita tak bisa sepenuhnya bergantung pada pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo