Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAHAN yang demokratis adalah pemerintah yang tak alergi atas kritik rakyatnya. Agaknya jalan pikiran itulah yang membuat Mahkamah Konstitusi pekan lalu mencabut pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tentu ini berita gembira bagi demokrasi Indonesia.
Mahkamah menyatakan pasal 134, 136 bis, 137 tak relevan lagi diterapkan di Indonesia yang konstitusinya menjamin kebebasan berpendapat. Putusan bersejarah itu bukan sekadar kemenangan Eggy Sudjana atau Pandapotan Lubis, dua "aktivis demo" yang mengajukan gugatan uji materiil "pasal karet" itu. Ini kemenangan bagi Indonesia.
Dengan kemenangan ini mestinya korban "pasal karet" tak jatuh lagi. Bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, putusan Mahkamah mestinya dipandang sebagai peluang baru untuk membedakan antara pemerintahan sekarang dan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru Soeharto gemar menggunakan pasal warisan pemerintah kolonial itu untuk menangkap para aktivis mahasiswa yang dianggap tak sejalan. Setelah reformasi, pasal ini pun ternyata masih "sakti". Pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono memakai pasal ini untuk menangkap para aktivis mahasiswa yang berunjuk rasa, antara lain, dalam menentang kenaikan bahan bakar minyak.
Seperti namanya, pasal ini memang sangat "lentur" dan mudah dimultitafsirkan. Pasal ini memang tak menjelaskan batasan atau definisi perbuatan apa yang disebut "menghina" presiden atau wakil presiden. Tidak diterangkan, misalnya, apakah membakar foto atau mencoreng-coreng gambar presiden termasuk perbuatan menghina. Padahal, bisa saja yang dimaksudkan mahasiswa dengan membakar foto presiden sekadar ekspresi luapan kejengkelan atas kebijakan pemerintah. Ini pula, misalnya, yang terjadi dengan Pandapotan Lubis. Ia dijerat dengan pasal ini karena membentangkan poster Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang di dalamnya tertera tulisan Go Down saat demo menentang kenaikan harga BBM di Bundaran Hotel Indonesia, Mei silam.
Karena itu, pemerintahan otoriter akan memakai pasal ini untuk memenjarakan mereka yang bersuara kritis. Sedangkan aparat negara yang punya mental gemar menjilat kekuasaan bisa memakai pasal karet ini secara maksimum. Ancaman penjara hingga enam tahun bisa cukup ampuh membungkam mereka yang mengkritik atau berniat kritis terhadap pemerintah.
Dengan dihapuskannya pasal ini oleh Mahkamah Konstitusi, presiden dan wakil presiden kini "kembali" menjadi warga biasa. Sama dan sejajar kedudukannya dengan warga negara lainnya. Jika merasa dihina atau namanya dicemarkan, mereka bisa melapor ke polisi dan menggunakan Pasal 310 KUHP untuk memperkarakan sang pelaku ke meja hijau. Petugas negara juga tak perlu lagi memelototi para mahasiswa yang berunjuk rasa dan lantas sibuk menafsirkan apakah tingkah laku mereka menghina presiden atau tidak.
Kita berharap pencabutan pasal-pasal penghinaan presiden ini merupakan awal pencabutan aturan hukum lainnya yang cenderung membungkam aspirasi masyarakat. Sebab, hingga kini, setidaknya masih ada 37 pasal dalam KUHP yang masuk kategori hatzaai artikelen (pasal kebencian), seperti pasal 154, 155, atau 160, yang perlu disetip. Pasal-pasal ini kerap dipakai menyeret pekerja pers ke pengadilan dengan tuduhan menyiarkan berita yang menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap pemerintah. Pemerintahan SBY punya pekerjaan rumah besar menghapuskan pasal-pasal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo