Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyanyi Taylor Swift mengungkapkan menderita Sindrom Imposter atau sindrom penipu. Perasaan tersebut muncul terutama saat dia memulai debut sutradara film pendek "All Too Well: The Short Film".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Rasanya saya mengalami Sindrom Imposter dan berkata, 'Tidak, kamu tidak melakukan hal itu'. Orang lain melakukan itu, bahkan pergi ke sekolah untuk penyutradaraan," kata Taylor Swift dalam percakapan panel dengan sutradara Mike Mills, dikutip dari dari Pinkvilla.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah Sindrom Imposter pertama kali digunakan oleh psikolog Suzanna Imes dan Pauline Rose Clance pada 1970-an. Sindrom Imposter mengacu pada pengalaman internal yang percaya seseorang tidak kompeten seperti orang lain. Meskipun biasanya diterapkan secara sempit pada kecerdasan dan pencapaian, definisi ini memiliki kaitan dengan perfeksionisme dan konteks sosial.
Sederhananya, sindrom penipu merupakan suatu keadaan ketika orang merasa menjadi palsu. Orang-orang yang berjuang dengan sindrom penipu percaya mereka tidak layak mendapatkan prestasi dan penghargaan tinggi yang sebenarnya mereka pegang, menganggap pencapaian hanya karena keberuntungan semata.
Sindrom Imposter dapat mempengaruhi siapa saja tanpa memandang status sosial, latar belakang pekerjaan, tingkat keterampilan atau keahlian. Namun, pengidap Sindrom Imposter sering kali berhasil dengan baik, seperti halnya mereka mungkin memegang jabatan tinggi atau banyak gelar akademis.
Diketahui ada sekitar 25-30 persen orang berprestasi tinggi mungkin menderita Sindrom Imposter. Adapun, hal yang menyebabkan sindrom tersebut termasuk ciri-ciri kepribadian yang sebagian besar mendorong Sindrom Imposter. Mereka yang mengalami hal tersebut berjuang dengan efikasi diri, perfeksionis, dan neurotisisme.
Penting bagi penderita untuk melawan keadaan tersebut sebab Sindrom Imposter dapat menghambat potensi pertumbuhan dan makna dengan mencegah orang mengejar peluang baru untuk pertumbuhan secara pribadi, baik dalam kaitannya di tempat kerja, hubungan, atau hobi. Menghadapi Sindrom Imposter dapat membantu orang terus tumbuh dan berkembang.
DIAH RETNO ANDANI | PINKVILLA | VERRYWELLMIND | PSYCHOLOGYTODAY