Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah perokok aktif di Indonesia diklaim melebihi 70 juta orang dengan mayoritas anak muda. Karena itu, ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Profesor Tjandra Yoga Aditama, mengusulkan sejumlah langkah konkret yang dapat dilakukan demi melindungi generasi muda dari bahaya rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengutip Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang mengatakan konsumsi tembakau sudah turun di 150 negara, sedangkan jumlah perokok secara global turun 19 juta dibanding 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan ada pertumbuhan jumlah perokok aktif di Indonesia. Karena itu, sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk melindungi generasi muda dari rokok, yang pertama adalah memperluas kawasan tanpa rokok.
"Kita tahu sekolah dan perguruan tinggi memang tidak boleh merokok. Jangan sampai sekolah enggak boleh merokok tapi di luar bagian sekolah ada penjual rokok," ujarnya dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2024.
Selain itu, mendorong mahasiswa agar membujuk anggota keluarga untuk berhenti merokok. Dalam beberapa kejadian, bapak-bapak mau berhenti merokok kalau yang meminta anak atau cucunya. Selain itu, memasukkan kurikulum tentang bahaya merokok di sekolah dan perguruan tinggi. Contohnya, sebagai bagian dari tri dharma perguruan tinggi, mahasiswa diminta membuat penelitian tentang merokok.
Layanan berhenti merokok
Tjandra menambahkan cara lain berupa perluasan layanan untuk berhenti merokok. Menurutnya, sudah banyak pelayanan untuk berhenti merokok di klinik namun masih kurang digaungkan sehingga perlu dipromosikan lebih banyak. Ia mencontohkan membuat kontes kecil-kecilan di mana siswa atau mahasiswa mengunggah anjuran berhenti merokok di media sosial dan unggahan dengan like terbanyak mendapat hadiah berupa uang saku.
"Di media sosial ini penting juga, jadi penting bukan hanya untuk menjelaskan bahaya merokok tapi juga untuk melawan kegiatan pemasaran karena sekarang, tadi sudah disebut juga industri rokok itu menggunakan berbagai platform digital untuk mengiklankan," paparnya.
Menurutnya, perlu ada pengetatan penjualan serta produk tembakau pada generasi muda, misalnya membatasi pembelian hanya untuk umur 21 tahun ke atas dan melarang penjualan rokok batangan.
"Cukai dan harga harus ditingkatkan, ini akan mempengaruhi generasi muda dan juga devisa negara tetap cukup karena cukainya tinggi. Tapi anak-anak dan generasi muda lebih sulit membeli merokok," paparnya.
Yang terakhir, mengatur iklan, promosi, dan sponsor rokok secara ketat mengingat banyak anak yang merokok karena melihat hal-hal itu.
"Dengan program pengendalian bahaya merokok yang sistematis, terukur, dan dengan peta jalan yang jelas, maka kita dapat mencapai derajat kesehatan yang diinginkan untuk mencapai Indonesia Emas 2045," katanya.
Pilihan Editor: IDAI Soroti Kemudahan Akses Rokok pada Anak