Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Pos Kesehatan Nyonya Marto

Pos kesehatan desa di ngepoh, Gungung Kidul. (ksh)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEDUKUHAN Ngepoh, Kecamatan Tepus, seperti tempat lainnya di Gunung Kidul, terkenal tandus dan sulit air. Tapi penduduk pedukuhan, 157 km di selatan Yogya itu - 7 km sebelum pantai Samudra Hindia - masih dapat bertani singkong dan sehadar sayur-mayur. Dan Ngepoh yang miskin itu, "bisa dijadikan contoh bagi desa lainnya," kata Sujatmo, ketua Pembangunan Kesehatan Masuk Desa (PKMD) Kabupaten Gunung Kidul. Sebab hanya dengan modal Rp 25 dari tiap warganya, Ngepoh yang berpenduduk 228 jiwa itu, berhasil membangun Pos Kesehatan Desa (PKD). Pos kesehatan itu dibuka setiap saat. "Tengah malam pun kami tetap bersedia membantu," ujar Nyonya Martopawiro, 45 tahun. Ibu lima anak ini, adalah pimpinan kader kesehatan di desa itu. Sebelumnya ia pernah mengikuti. kursus kesehatan di Dinas Kesehatan Gunung Kidul selama 13 hari. Ngepoh termasuk salah satu dari 45 desa yang terkena proyek PKMD Gunung Kidul. Dari setiap desa diambil satu atau dua pedukuhan sebagai pilot proyek. Umumnya warga desa yang dijadikan pilot proyek itu, 'dingin' saja terhadap program kesehatan masuk desa. "Hanya Desa Ngepoh yang baik," ujar Sujatmo. Nyonya Martopawiro memang gigih menggerakkan penduduk Ngepoh. Setamat kursus (1979), bersama kepala dukuh, ia mendirikan Pos Kesehatan Desa di kamar tamu rumahnya. "Sejak bergerak memasyarakatkan kesehatan, 1979, hingga sekarang kami baru sekali mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp 2.500," ungkap Nyonya Marto, istri modin itu. Uang bantuan itu dibelikan Nyonya Marto bibit sayur-mayur dan obat kampung, seperti kunyit dan kencur. Bibit ini kemudian dibagikan kepada 20 orang penduduk yang dipilih sebagai pembantu kader kesehatan, untuk ditanam. Tapi, "terserang kemarau panjang, tanaman itu mati semua," ungkap Nyonya Marto yang juga dikenal sebagai dukun beranak itu. Namun nyonya ini mulai lagi. Dibantu kepala dukuh, Partorejo, warga Ngepoh diminta membayar iuran Rp 25 setiap bulan. Sebagai imbalan, penduduk dijanjikan berobat gratis. Dibagikan pula kepada setiap penduduk Kartu Dana Sehat, yang diperoleh dari Puskesmas Tepus. Dana sehat hanya terkumpul Rp 10 ribu hasil iuran sejak Juni 1980 sampai Oktober 1981. "Karena dirasa sudah cukup, penarikan dihentikan," ujar Nyonya Marto, memberi alasan. Uang itu alputar dengan mendirikan koperasi simpan pinjam. Yang pinjam dibebani bunga 10%. Obat pun dibeli melalui Puskesmas Tepus, dengan tarif hanya 10% dari harga umum. Ini berlaku bagi semua peserta PKMD. "Obat itu diambil dari jatah Inpres," unkaD Sularsi, bidan pengawas pada Puskesmas Tepus. Kini di kas dana sehat yang dipegang Nyonya Marto tersimpan Rp 20 ribu. Uang inilah yang dipakai untuk membeli obat dan membiayai warga Ngepoh yang sakit. Sebulan sekali obat dibeli di Puskesmas. Sularsi sebagai Pengawas Pos Kesehatan, datang setiap Rabu di Ngepoh. Tugasnya menangani penderlta yang agak berat. Ia juga memberi konsultasi buat wanita hamil. "Kalau saya tidak mampu menangani, langsung pasien dibawa ke dokter Puskesmas," kata ibu seorang anak ini sambil memegangi kandungannya. Tak kalah slbuknya, Nyonya Marto. Dari ruangan seluas 2 x 4 meter berdinding gedek, setiap saat ada saja warga yang datang berobat tanpa dipungut bayaran. Menurut dia penyakit yang umum diderita warga dukuhnya adalah pilek. Penyakit-penyakit yang muncul karena kurang gizi menurut Nyonya Marto sudah tak terdengar lagi sejak penduduk gemar menanam sayur mayur. "Sejak ada Pos Kesehatan saya selalu berobat ke sana, tidak ke dukun lagi. Lagi pula tidak ditarik bayaran," ujar Suparto, warga Ngepoh. Pelayanan kesehatan di Ngepoh memang serba cuma-cuma. Sampai petugas kader pun, seperti Nyonya Marto, tidak menerima upah. "Saya tidak mengharapkan itu, yang penting ikut membangun kesehatan desa dan bekerja secara ikhlas," ujar Nyonya Marto polos. Ia lalu beranjak ke tempat sembahyang yang ada dalam ruang praktek. Sementara itu, seperti biasanya, 'pasien-pasien'-nya mulai berdatangan, satu per satu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus