PEDUKUHAN Ngepoh, Kecamatan Tepus, seperti tempat lainnya di
Gunung Kidul, terkenal tandus dan sulit air. Tapi penduduk
pedukuhan, 157 km di selatan Yogya itu - 7 km sebelum pantai
Samudra Hindia - masih dapat bertani singkong dan sehadar
sayur-mayur.
Dan Ngepoh yang miskin itu, "bisa dijadikan contoh bagi desa
lainnya," kata Sujatmo, ketua Pembangunan Kesehatan Masuk Desa
(PKMD) Kabupaten Gunung Kidul. Sebab hanya dengan modal Rp 25
dari tiap warganya, Ngepoh yang berpenduduk 228 jiwa itu,
berhasil membangun Pos Kesehatan Desa (PKD).
Pos kesehatan itu dibuka setiap saat. "Tengah malam pun kami
tetap bersedia membantu," ujar Nyonya Martopawiro, 45 tahun. Ibu
lima anak ini, adalah pimpinan kader kesehatan di desa itu.
Sebelumnya ia pernah mengikuti. kursus kesehatan di Dinas
Kesehatan Gunung Kidul selama 13 hari.
Ngepoh termasuk salah satu dari 45 desa yang terkena proyek PKMD
Gunung Kidul. Dari setiap desa diambil satu atau dua pedukuhan
sebagai pilot proyek. Umumnya warga desa yang dijadikan pilot
proyek itu, 'dingin' saja terhadap program kesehatan masuk desa.
"Hanya Desa Ngepoh yang baik," ujar Sujatmo.
Nyonya Martopawiro memang gigih menggerakkan penduduk Ngepoh.
Setamat kursus (1979), bersama kepala dukuh, ia mendirikan Pos
Kesehatan Desa di kamar tamu rumahnya. "Sejak bergerak
memasyarakatkan kesehatan, 1979, hingga sekarang kami baru
sekali mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp 2.500," ungkap
Nyonya Marto, istri modin itu.
Uang bantuan itu dibelikan Nyonya Marto bibit sayur-mayur dan
obat kampung, seperti kunyit dan kencur. Bibit ini kemudian
dibagikan kepada 20 orang penduduk yang dipilih sebagai pembantu
kader kesehatan, untuk ditanam. Tapi, "terserang kemarau
panjang, tanaman itu mati semua," ungkap Nyonya Marto yang juga
dikenal sebagai dukun beranak itu.
Namun nyonya ini mulai lagi. Dibantu kepala dukuh, Partorejo,
warga Ngepoh diminta membayar iuran Rp 25 setiap bulan. Sebagai
imbalan, penduduk dijanjikan berobat gratis. Dibagikan pula
kepada setiap penduduk Kartu Dana Sehat, yang diperoleh dari
Puskesmas Tepus.
Dana sehat hanya terkumpul Rp 10 ribu hasil iuran sejak Juni
1980 sampai Oktober 1981. "Karena dirasa sudah cukup, penarikan
dihentikan," ujar Nyonya Marto, memberi alasan. Uang itu alputar
dengan mendirikan koperasi simpan pinjam. Yang pinjam dibebani
bunga 10%. Obat pun dibeli melalui Puskesmas Tepus, dengan tarif
hanya 10% dari harga umum. Ini berlaku bagi semua peserta PKMD.
"Obat itu diambil dari jatah Inpres," unkaD Sularsi, bidan
pengawas pada Puskesmas Tepus.
Kini di kas dana sehat yang dipegang Nyonya Marto tersimpan Rp
20 ribu. Uang inilah yang dipakai untuk membeli obat dan
membiayai warga Ngepoh yang sakit. Sebulan sekali obat dibeli di
Puskesmas.
Sularsi sebagai Pengawas Pos Kesehatan, datang setiap Rabu di
Ngepoh. Tugasnya menangani penderlta yang agak berat. Ia juga
memberi konsultasi buat wanita hamil. "Kalau saya tidak mampu
menangani, langsung pasien dibawa ke dokter Puskesmas," kata ibu
seorang anak ini sambil memegangi kandungannya.
Tak kalah slbuknya, Nyonya Marto. Dari ruangan seluas 2 x 4
meter berdinding gedek, setiap saat ada saja warga yang datang
berobat tanpa dipungut bayaran. Menurut dia penyakit yang umum
diderita warga dukuhnya adalah pilek. Penyakit-penyakit yang
muncul karena kurang gizi menurut Nyonya Marto sudah tak
terdengar lagi sejak penduduk gemar menanam sayur mayur. "Sejak
ada Pos Kesehatan saya selalu berobat ke sana, tidak ke dukun
lagi. Lagi pula tidak ditarik bayaran," ujar Suparto, warga
Ngepoh.
Pelayanan kesehatan di Ngepoh memang serba cuma-cuma. Sampai
petugas kader pun, seperti Nyonya Marto, tidak menerima upah.
"Saya tidak mengharapkan itu, yang penting ikut membangun
kesehatan desa dan bekerja secara ikhlas," ujar Nyonya Marto
polos. Ia lalu beranjak ke tempat sembahyang yang ada dalam
ruang praktek. Sementara itu, seperti biasanya,
'pasien-pasien'-nya mulai berdatangan, satu per satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini