SEBELUM menyerahkan jabatan, Menteri Agama Alamsyah sempat
memikirkan nasib tamatan IAIN (Institut Agama Islam Negeri).
Lulusan jurusan syariah dari perguruan tinggi agama itu mulai
tahun ini boleh mendapatkan lapangan kerja baru. Profesi yang
dibuka Alamsyah untuk mereka: sebagai pengacara di peradilan
agama.
Menyusul penandatanganan naskah Surat Keputusan Bersama dengan
Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, diam-diam Alamsyah menandatangani
sebuah surat keputusan yang sudah lama ditunggu-tunggu kalangan
peradilan agama dan juga IAIN. Surat keputusan yang mengatur
pemberian bantuan hukum di peradilan agama itu, juga menentukan
syarat-syarat dari pemberi bantuan hukum. Selain SH-SH dari
fakultas hukum, mulai tahun ini sarjana syariah juga diizinkan
berpraktek.
Untuk menyambut keputusan tertanggal 6 Januari itu, hari-hari
ini Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga - Yogyakarta berbenah.
"Kami sekarang memasuki tahap penyesuaian untuk menyambut
keputusan itu,'' kata Dekan Drs. Asyumni. Penyesuaian itu berupa
penambahan kurikulum dengan pelajaran praktek hukum.
Pada semester yang tengah berlangsung sekarang ini, mahasiswa
jurusan itu diwajibkan mengikuti persidangan di peradilan agama.
Mahasiswa tingkat terakhir malah harus membuat acara "peradilan
semu". "Kekurangan selama ini hanya soal keterampilan saja,"
kata Asyumni.
Kebutuhan pengacara dari IAIN itu menurut Direktur Pembinaan
Badan Peradilan Agama, Muchtar Zarkasyi, sudah lama terasa di
kalangannya. Selama ini, katanya, perkara di peradilan agama -
kebanyakan soal "kawin cerai" - diurus oleh pengacara dari
fakultas hukum. Padahal, urusan di peradilan agama memakai hukum
khusus, fiqh. Sebab itu, kata Muchtar, sejak 1977 dalam
lokakarya yang diselenggarakan direktoratnya telah disimpulkan
akan kebutuhan itu. Namun saat itu belum mungkin dilakukan.
Kesempatan itu baru terbuka, kata Muchtar lagi, setelah
ditandatanganinya SKB antara ketua Mahkamah Agung dan menteri
agama awal tahun ini.
Berbagai kesulitan pihak peradilan agama dengan pembela-pembela
yang SH, diakui juga oleh Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Alimi. "SH-SH itu tidak lengkap pengetahuan mereka
tentang hukum Islam," ujar Alimi. Karena itu tidak aneh, kalau
sekali waktu ada pengacara - SH meminta seorang wanita menjadi
saksi dalam suatu perkawinan Islam. "Padahal menurut hukum Islam
itu tidak boleh," kata Alimi.
Dalam kasus perceraian, keluh Alimi, banyak pengacara yang tidak
tahu makna mut'ah. Pengacara itu menganggap, setelah perceraian,
seorang janda hanya berhak mendapatkan tunjangan hidup dari
bekas suaminya. Menurut Alimi, itu adalah ketentuan hukum
perdata Barat. "Pada hukum Islam, selain tunjangan hidup,
seorang bekas suami juga wajib membayar langsung kepada
jandanya, begitu perceraian disahkan - itu yang dinamakan
mut'ah," kata Alimi lagi.
Sebab itu pula, Alimi menganggap keputusan menteri agama yang
mengizinkan tamatan IAIN berpraktek di peradilan agama, akan
banyak membantu pihaknya. Namun sebaliknya ia berharap,
tampilnya ahli hukum Islam di sidang-sidang pengadilan agama,
jangan menjadi penghambat jalannya peradilan. "Sebab tanpa
pengacara, sebenarnya persidangan di peradilan agama tidak
pernah mendapat kesulitan," ujar Alimi sambil tertawa.
Kekhawatiran yang lebih besar dikemukakan Ketua Pengadilan Agama
Yogyakarta Drs. Duror Mansur: "Munculnya pengacara agama jangan
membuat penyelesaian perkara jadi berlarut-larut atau malah
menambah perselisiban pihak-pihak yang berperkara." Sebab bagi
Duror, seperti juga tanggapan Alimi, "ada atau tidak ada
pengacara, bagi saya, sama saja."
Menurut Duror, jika di peradilan umum para pengacara umumnya
semata-mata berpedoman memenangkan kliennya, hal itu tidak
mungkin dilakukan di peradilan agama. Sebab, hakikat peradilan
agama dalam perkara perceraian, misalnya, mendamaikan kedua
pihak. "Kalau pengacara semata-mata membela pihak istri atau
pihak suami saja, bisa-bisa suami-istri yang tidak seharusnya
pecah, Jadi bercerai gara-gara pembela," ujar Duror lagi.
Percaya atau tidak, sampai pekan lalu banyak mahasiswa IAIN
Ciputat Jakarta yang belum tahu, kesempatan yang dibuka
Alamsyah. "Kami baru tahu sekarang. Kalau itu benar berarti
peluang untuk kami bisa mandiri terbuka dan sekaligus juga
merupakan tantangan," ujar Janiadi di tengah rekan-rekannya
sesama mahasiswa Fakultas Syariah.
Di Yogya, para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga,
baru sekadar gembira saja mendengar kabar baik itu. "Habis saya
masih ragu, apa saya mampu tampil di persidangan," kata
Asminarsih seorang mahasiswi di sana. Ia mengusulkan perubahan
kurikulum di fakultasnya, karena sampai sekarang, kepada
mahasiswa belum diajarkan keterampilan berpraktek diperadilan.
Rekannya, Robiatul Adawiyah, juga mengeluh soal itu. "Saya belum
berani menentukan pilihan sebagai pembela. Sebab masalahnya
belum jelas, apa profesi itu memungkinkan hidup layak," kata
Robiatul lagi. Sebab kasus-kasus di peradilan agama rata-rata
hanya soal perkawinan. Itu pun kebanyakan perkara dari
orang-orang yang kurang mampu.
Yang lebih gembira, tentunya, para mahasiswa yang sudah bertekad
memanfaatkan kesempatan itu. "Saya sudah siap untuk jadi
pembela, modal utama untuk tampil itu hanya keberanian, karena
soal ilmu hukum sudah cukup dipelajari di fakultas ini," ujar
Fatahudin seorang anggota senat di fakultas itu. Mungkin dalam
waktu dekat ini akan muncul pengacara berkerudung di
kantor-kantor pengadilan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini