Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K)
Setelah mereda pada akhir 2006, kembali kita harus menghadapi kenyataan merebaknya flu burung pada awal 2007. Orang jadi bertanya, kenapa hal ini terjadi dan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Sejauh ini flu burung adalah penyakit yang menular dari unggas ke manusia. Artinya, kalau sumber penularan pada unggas masih ada, kemungkinan penyakit pada manusia juga masih akan tetap ada.
Dari sejumlah pasien flu burung 2007, tampak jelas adanya kontak dengan unggas, sebagian bahkan dengan unggas sakit atau mati. Kalau kontak seperti ini terus berlanjut, kemungkinan sakit pada manusia tentu akan terus terbuka. Adapun para ahli—dan juga WHO—kembali mengingatkan soal kemungkinan bahaya pandemi. Karena itu, yang penting sekarang adalah bagaimana kita dapat menanggulangi flu burung.
Seyogianya ada tiga kegiatan penanggulangan flu burung. Pertama, penanggulangan virus di unggas; kedua, mencegah kontak unggas dengan manusia; dan ketiga, penanganan pada pasien. Kegiatan pertama, berupa pemusnahan virus pada unggas, tampaknya masih sulit dilakukan. Bahkan pada Januari 2007 ini dilaporkan berjangkitnya lagi flu burung pada unggas di Thailand, Vietnam, Hong Kong, dan Jepang. Untuk Indonesia, virus ini memang telah ada di sebagian besar wilayah kita.
Untuk kegiatan kedua, kebijakan melarang unggas di permukiman adalah salah satu jalan keluar yang baik. Ada aspek lain seperti ekonomi atau sosial. Tetapi, kalau tidak ada unggas di lingkungan kita, kemungkinan sakit flu burung juga dapat dikendalikan. Sebagai ilustrasi, ketika saya berkunjung ke Kota Ho Chi Minh, Vietnam, pertengahan Januari 2007, saya tidak menemui seekor ayam pun di seputar kota. Bahkan di pasar tradisional (wet market), saya tidak melihat penjualan ayam hidup.
Penanganan pasien di rumah sakit juga tidak mudah karena sering kali penyakitnya sudah amat berat. Sebagian besar pasien kita pada awal 2007 ini datang setelah sekitar seminggu gejalanya timbul. Artinya, penyakitnya sudah parah dan efektivitas obat pun berkurang. Data dunia menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pasien flu burung meninggal walau mendapat pengobatan yang maksimal.
Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa pencegahan penularan penyakit dari unggas ke manusia merupakan pilihan terbaik. Tentu saja akan berbeda kalau kelak flu burung ini sudah bermutasi, sehingga terjadi penularan antarmanusia, yang akan membuka pintu ke arah pandemi.
Pandemi (wabah di berbagai negara) flu terbesar terjadi pada 1918, ketika 50 juta orang meninggal. Dengan perkembangan kini, para ahli sepakat bahwa pandemi flu akan terjadi. Hanya kita tidak tahu kapan, seberapa dahsyat, dan bermula dari negara mana. Yang penting dilakukan kini adalah membuat perencanaan yang matang. Sehingga, kalau pandemi memang terjadi, dampaknya dapat dikendalikan.
Dalam pertemuan yang saya hadiri di Atlanta pada Desember 2006, disebutkan bahwa Amerika Serikat, misalnya, sudah membuat perkiraan kalau terjadi pandemi yang sama hebatnya seperti pada 1918. Mereka menghitung, 90 juta orang Amerika akan sakit, 45 juta berobat jalan ke rumah sakit, 9,9 juta dirawat, 1,5 juta orang terpaksa masuk ICU, 745 ribu pasien ICU perlu mesin pernapasan (ventilator), dan 1,9 juta orang Amerika akan meninggal.
Berdasar angka perkiraan terperinci—walau belum pasti akan terjadi—Amerika dapat mempersiapkan berapa dokter dan perawat yang diperlukan, berapa kamar rumah sakit disiapkan, berapa botol infus yang harus ada, dan seterusnya. Kalau pandemi jadi datang, mereka sudah siap. Simulasi di fasilitas kesehatan harus dilakukan untuk menghadapi kemungkinan ”serbuan” pasien kalau terjadi pandemi.
Selain persiapan obat dan rumah sakit, diperlukan juga kegiatan yang disebut non pharmacological intervention, berupa pencegahan penularan di masyarakat, antara lain dengan membudayakan ”etiket batuk” (tutup mulut, jangan meludah), menanamkan kebiasaan cuci tangan, serta penggunaan masker. Untuk mencegah meluasnya penularan kalau terjadi pandemi, Amerika Serikat telah merencanakan kemungkinan karantina pasien, penutupan sekolah dan tempat kerja, serta melarang pengumpulan massa.
Persiapan mereka sudah amat terperinci. Kalau sekolah ditutup, misalnya, sejak sekarang sudah dipikirkan bagaimana dampaknya bagi pendidikan anak, siapa yang mengurus anak di rumah kalau orang tuanya bekerja, apa yang akan dikerjakan oleh guru dan bahkan sopir bus sekolah bila sekolah tutup, dan lain-lain.
Indonesia yang sudah memiliki banyak pasien tentunya juga harus membuat perencanaan yang matang. Kini beberapa perusahaan besar di Indonesia—khususnya multinasional—sudah melakukan persiapan jika pandemi datang. Ada perusahaan di Jakarta yang sudah siap-siap memasang monitor suhu badan di pintu kantor bila situasi flu burung memburuk. Mereka yang demam tidak akan boleh masuk kantor dan langsung ditangani dokter perusahaannya. Ada pula bank yang mempersiapkan petugas yang akan diisolasi dan bekerja di ruangan pusat komputer mereka supaya kalau ada pandemi, nasabah tetap dapat mengambil uang di ATM.
Pemerintah kita juga sudah membuat beberapa upaya persiapan menghadapi pandemi. Upaya perencanaan seperti ini memang penting dan harus dilakukan sejak sekarang, bukan untuk membuat masyarakat gelisah, tapi untuk membuat kita siap menghadapi hal yang mungkin terjadi. Bukankah pepatah menyebutkan ”sedia payung sebelum hujan”, dan bukankah ”proper plans prevent poor performances”?
*) Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FKUI/RSP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo