Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laode Ida
Pawai Rakyat Cabut Mandat” yang digelar untuk memperingati peristiwa Malari tampaknya telah membuat pihak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa gerah. Apalagi muncul isu sensitif, yakni terbentuknya Dewan Revolusi yang dipimpin seorang jenderal purnawirawan.
Aksi-aksi itu seolah mengisyaratkan Presiden Yudhoyono sedang berada dalam posisi rawan, terteror secara politik. Bahkan boleh dikatakan genderang perang antarpurnawirawan di luar lingkar kekuasaan dengan yang sedang berkuasa mulai ditabuh.
Sebagai sesama tentara, apalagi pernah berada dalam posisi atasan-bawahan semasa aktif di TNI, mereka jelas sudah saling mengetahui kapasitas dan kekuatan sumber daya politik masing-masing. Kelompok purnawirawan di belakang aksi pawai itu memandang Yudhoyono sebagai junior. Mereka barangkali merasa memiliki kelebihan pengalaman serta kapasitas kepemimpinan di militer yang belum dilewati oleh Yudhoyono.
Setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan munculnya oposisi para purnawirawan. Pertama, rivalitas politik semasa pemilihan presiden/wakil presiden 2004. Hasilnya, ternyata sang junior (Yudhoyono) mengalahkan seniornya (Wiranto).
Kekalahan ini tampaknya membekas di hati sang senior, sehingga berbagai manuver pun dilakukan dalam bentuk kampanye kekurangan Yudhoyono. Bersamaan dengan itu, dia sendiri mempromosikan agenda dan kelebihan yang dikemas dalam tindakan politik yang berseberangan dengan kekuasaan.
Faktor Wiranto dengan relasi-relasi yang kuat menjadi penentu dalam membangun kekuatan politik purnawirawan yang berada di luar arena kekuasaan. Jenderal ini menjadi figur perekat antara junior dan senior. Baik dari kalangan militer maupun sipil. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Partai Hanura yang kepengurusannya terdiri atas gabungan kekuatan purnawirawan militer dan politisi sipil.
Kedua, sikap dan kebijakan Yudhoyono selama menjadi presiden dianggap belum menunjukkan karakter kepemimpinan militer yang sesungguhnya. Sikap kurang tegas Yudhoyono, sikap kompromistik dengan politisi sipil, serta gayanya yang sarat retorika, yang kemudian dituding hanya menebar pesona, dipandang telah mencederai citra figur militer di mata publik.
Para purnawirawan militer merasa malu dengan citra ini. Jika terus dipertahankan, menurut mereka, sikap tersebut akan berimplikasi negatif terhadap pencitraan kepemimpinan TNI secara umum.
Ketiga, Presiden Yudhoyono dianggap tidak memberikan kontribusi yang berarti kepada para purnawirawan. Ia dianggap mengabaikan para senior dan koleganya. Mereka merasa ditinggalkan kendati sukses Yudhoyono merebut kursi presiden merupakan hasil dukungan sebagian elite militer dan purnawirawan.
Barangkali Yudhoyono dianggap belum membalas jasa. Mungkin juga kompensasi yang diterima dari Yudhoyono masih belum cukup, sehingga ia perlu disadarkan bahwa ada kekuatan signifikan yang bisa menggoyahkan kursi kekuasaan.
Ekspresi kekecewaan berbasis individu dari sejumlah elite itu tampaknya menjadi salah satu watak khas kalangan purnawirawan dan politisi yang sudah mapan. Setelah tak lagi menjabat, mereka cenderung menjadi kekuatan oposisi oplosan (campur aduk). Dan setiap saat bisa melakukan berbagai manuver untuk menggoyang kekuasaan.
Para elite itu bukan tidak menyadari bahwa gerakan mereka tidak akan berhasil. Menjatuhkan Yudhoyono lewat pawai atau Dewan Revolusi sudah pasti inkonstitusional dan tak akan ditoleransi oleh rakyat. Apalagi kekuatan militer aktif sadar betul akan tugas utamanya, yakni membela kedaulatan negara secara konstitusional.
Namun, para aktor yang berada dalam jaringan gerakan itu tidak peduli apakah mendapat dukungan publik atau tidak. Target mereka adalah melakukan upaya-upaya sistematis untuk menciptakan pencitraan delegitimasi terhadap Yudhoyono sehingga diharapkan popularitasnya menurun. Hal ini erat kaitannya dengan Pemilu 2009.
Betapapun pahitnya, Presiden Yudhoyono tak boleh mengabaikan kritik-kritik itu, terutama pada bagian yang menyangkut tuntutan perbaikan kinerja kepemimpinan. Juga, komunikasi politik dengan para elite purnawirawan yang kini merasa terabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo