Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Radioaktif Penyelamat Prostat

Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka Badan Tenaga Nuklir Nasional sudah bisa membuat biji implan radioisotop untuk terapi kanker. Rumah Sakit Hasan Sadikin sedang mempersiapkan uji coba terapi ini.

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walaupun usianya sudah lewat dari separuh abad, fisik Brian masih bugar dan gesit. ”Saya masih main golf seminggu sekali,” kata Brian, 56 tahun, warga Kota London, Inggris. Dia juga hobi menjelajahi berbagai kota di dunia.

Maka betapa kagetnya Brian ketika menjalani uji kesehatan rutin enam tahun lalu. Dokter menemukan kadar prostate-specific antigen (PSA) Brian naik. PSA ini merupakan penanda dini kanker prostat. Dokter menyarankan dia dibiopsi diambil contoh jaringannya untuk diperiksa di laboratorium guna memastikan diagnosis. Hasil biopsi menyimpulkan ada kanker di prostat Brian.

”Saya benar-benar tidak habis pikir. Bukankah ini penyakit para manula?” katanya. Dia merasa tubuhnya tak menunjukkan adanya tanda-tanda kanker prostat, seperti kesulitan berkemih atau kencing berdarah. Mengingat kesibukan Brian, dokter menyarankan agar dia menjalani terapi hormon testosteron dan dilanjutkan terapi braki (brachytherapy). Terapi yang pertama untuk menghentikan pertumbuhan prostat, terapi kedua untuk membunuh sel-sel kanker.

Kanker prostat sering disebut silent killer. Seperti pembunuh bayaran profesional, kanker prostat merayap tanpa suara, kemudian menikam dengan tusukan mematikan. Sebab, seperti Brian, penderita sering tidak menyadari ada sel kanker tumbuh di prostatnya. Uji colok dubur untuk meraba pembesaran prostat pun kadang gagal mendeteksi pertumbuhan kanker prostat. Perlu tes PSA dan biopsi untuk memastikannya.

Di Indonesia, menurut guru besar urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rainy Umbas, dalam 15 tahun terakhir jumlah pende rita kan ker prostat terus berlipat. Berdasarkan data di Rumah Sakit Dr Cipto Ma ngunkusumo dan Pusat Kanker Nasional Dharmais, selama periode 1995-1999, ada 135 penderita kanker prostat. Lima tahun kemudian, angka itu sudah berlipat menjadi 249 orang. Dan dalam lima tahun terakhir, penderita kanker prostat terus menggelembung menjadi 395 orang.

Masalahnya, sebagian penderita telat mendeteksi kehadiran pembunuh itu. ”Lebih dari 65 persen sudah masuk stadium lanjut,” kata Rainy, Senin pekan lalu. Biasanya, pada tahap ini sel kanker sudah menyebar ke jaringan tubuh lain.

Jika kanker prostat terdeteksi saat masih stadium dini, ada beberapa pilihan metode penanganan, di antaranya terapi radiasi eksternal (external beam radiation therapy), terapi braki, dan pembedahan. Terapi braki dan radiasi eksternal, menurut Rainy, tidak efektif pada kanker prostat stadium lanjut. Serupa dengan metode radiasi, metode braki ini menggunakan radiasi bahan radioaktif untuk membunuh sel-sel kanker. Efektivitas kedua terapi radiasi ini pada kanker prostat berisiko rendah tidak banyak beda.

Sebenarnya terapi braki ini sudah lama diuji coba. Pada 1901, Pierre Curie menyuntikkan sebatang jarum mengandung radioisotop radium untuk menangani pasien tumor di Rumah Sakit St. Louis di Paris. Selain untuk menangani kanker prostat, terapi braki dipergunakan untuk membunuh sel-sel kanker sarkoma, payudara, serviks, dan kanker kulit.

Ada beberapa jenis terapi braki berdasarkan dosis radiasinya. Pada terapi braki dosis tinggi, sumber radiasi ditempelkan pada sel kanker selama kurang-lebih satu jam. Pada terapi braki dosis rendah, radioisotop ditanam permanen di dalam sel kanker prostat. Dengan menggunakan pemindai ultraso nografi dan alat penuntun digital, radioisotope implant seed seukuran butiran beras ditanam di prostat. Berapa banyak biji radioisotop yang ditanam, kata Rainy, bergantung pada besar sel kanker.

Tapi terapi braki ini belum populer di negeri ini. ”Secara teknis kami tidak ada soal, tapi biji implan radioisotopnya masih sangat mahal,” ujar Rainy. Sementara ongkos terapi radiasi eksternal atau operasi prostatektomi hanya berkisar Rp 15 juta, biaya terapi braki pada pasien kanker prostat bisa sepuluh kali lipatnya. Biji implan radioisotop masih mahal karena selama ini belum diproduksi di dalam negeri.

Terapi braki ini populer di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Filipina, dan juga negeri jiran Singapura, karena tidak banyak makan waktu. Hanya perlu satu atau dua jam untuk menanam biji implan radioisotop dan cukup semalam menginap di rumah sakit. ”Dua hari kemudian sudah bisa berangkat kerja,” Brian menuturkan pengalamannya. Sementara itu, jika diterapi radiasi eksternal, pasien paling tidak perlu 36 kali disinar. Berarti, selama tujuh minggu, mereka mesti bolak-balik ke rumah sakit.

Saat ini, Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka Badan Tenaga Nuklir Nasional sudah berhasil mengembangkan teknologi produksi isotop iridium-192 dan yodium-125 untuk terapi braki. Biji implan iridium-192 telah dikembangkan untuk radiasi dosis rendah. ”Sekarang kami berfokus mengembangkan teknik produksi yodium-125,” kata Rohadi Awaludin, peneliti di Pusat Radioisotop.

Mereka meneliti teknologi produksi radioisotop yodium ini sejak 2002. Setelah melakukan serangkaian uji coba, pada pertengahan 2005, Pusat Radioisotop berhasil membuat yodium-125 dari isotop gas xenon-124. Tapi, setelah itu, masih perlu serangkaian uji produksi untuk mendapatkan hasil yang lebih stabil dan aman diterapkan ke manusia. Rumah Sakit Hasan Sadikin di Bandung sedang mempersiapkan uji coba terapi braki ini.

Isotop yodium dipilih karena dampak ke sel sekitarnya sangat kecil. Menurut Rohadi, radioisotop yodium ini hanya memancarkan radiasi gamma energi rendah 35,5 kiloelektron volt. Ketika biji yodium-125 ditanam di jaringan kanker, hampir seluruh radiasi akan diserap sel sekitarnya. ”Kecil sekali radiasi yang keluar dari tubuh pasien,” kata doktor dari Japan Advanced Institute of Science and Technology itu.

Untuk meminimalkan dampak radiasi ini, biji implan radioaktif ini dibungkus titanium. Dari waktu ke waktu, tingkat radiasi radioisotop ini juga berkurang sesuai dengan umur paruhnya. Radioisotop yodium-125, misalnya, mempunyai umur paruh 60 hari. Artinya, setiap 60 hari, tingkat radiasinya akan berkurang setengahnya, hingga akhirnya radiasinya mendekati nol atau hampir tiada.

Dokter Rainy mengatakan terapi braki pada penderita kanker prostat tak akan mempe ngaruhi tingkat kesu buran. Memang ada beberapa efek samping terapi radiasi eksternal ataupun braki, seperti disfungsi ereksi dan gangguan berkemih. Namun disfungsi ereksi juga terjadi pada pasien kanker prostat yang dioperasi.

Sapto Pradityo (ProstateBrachytherapyInfo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus