Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

'Mengerangkeng' Gus Dur

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadli
Pengamat ekonomi

SRI Mulyani, top ekonom muda, menurunkan seruan di harian Kompas beberapa hari lalu: "Jaga Momentum Pemulihan Ekonomi". Ia rupanya gusar karena kurs rupiah sudah tembus Rp 9.500 per dolar AS, padahal semua indikator ekonomi lainnya masih baik, walaupun memang indeks kepercayaan konsumen dan investor sudah sedikit melemah. Karena Sri Mulyani sudah masuk dalam perangkat pemerintahan Gus Dur, ia tidak menyalahkan bosnya. Ia menuding sengketa politik antarelite politik di Jakarta sebagai penyebab melemahnya rupiah.

Sri Mulyani menyadari bahwa depresiasi rupiah yang berkelanjutan akan meniup inflasi. Ini menaikkan suku bunga, yang pada gilirannya lebih menyulitkan usaha rekapitalisasi perbankan, restrukturisasi utang korporasi, dan anggaran belanja pemerintah. Akhirnya, ia mengeluh, "Apakah kita mesti memulai lagi kerja pemulihan dari nol dan toh tetap membayar mahal beban programnya sampai dua generasi bangsa Indonesia yang akan datang?"

Jusuf Wanandi, Ketua Dewan Pengawas CSIS dan pendukung Gus Dur, menurunkan tinjauannya di Jakarta Post pada hari yang sama. Menurut dia, Gus Dur masih bisa survive pada sidang tahunan MPR Agustus nanti. Akan tetapi, ia mengakui bahwa penyebab kesulitan adalah pribadi Gus Dur sendiri, karena itu gaya kepemimpinannya harus diubah. Masalahnya, apakah Gus Dur bisa dan mau. Jusuf berspekulasi, "Anybody facing a survival problem is able to change, and Gus Dur is facing a survival problem".

Tentunya, soalnya sangat kompleks. Saat ini Indonesia tengah menjalani transisi besar dari sistem otokrasi selama 32 tahun menjadi demokrasi yang partisipatif. Transisi ini tidak dipimpin oleh suatu partai yang menang di pemilihan umum. Alat kekuasaan pemerintah, yakni tentara, polisi, kejaksaan, serta peradilan, semua rapuh dan berantakan. Gus Dur adalah pemimpin spiritual yang terbaik untuk zaman sekarang, akan tetapi ia tidak mampu menjalankan manajemen pemerintahan. Ia memimpin dengan gebrakan-gebrakan yang berani, yang tidak semua mempan. Ia tidak didukung oleh mayoritas di parlemen.

Dalam kondisi Indonesia saat ini, tidak ada seorang presiden pun yang bisa memerintah dan memimpin reformasi secara memuaskan. Karena tidak ada kekuatan sentral yang memimpin, proses transformasi berjalan setengah kacau, mungkin untuk beberapa tahun lagi, bahkan bisa lebih lama. Akhirnya, seperti juga keyakinan Gus Dur, masyarakat sendiri harus belajar dan mampu menyelesaikan masalah-masalahnya yang baru.

Lepas dari prospek jangka panjang, yang sekarang urgen adalah menanggapi prospek jangka pendek. Dalam jangka pendek ini "Soalnya politik, Gus Dur!" Apakah Gus Dur bisa survive dalam sidang MPR mendatang? Konsensus umum: pasti. MPR tidak akan berhak, berani, atau sampai hati, menurunkannya karena takut timbul bentrokan antara massa pendukung dan penolak, dan elite politik tidak akan merasa aman seandainya yang mengganti Gus Dur adalah Megawati, Amien Rais, atau Akbar Tandjung. Masing-masing ada cacatnya.

Kalau Gus Dur jalan terus, mampukah ia mengubah tabiatnya? Jusuf Wanandi masih percaya. Tetapi, bagaimana kalau Gus Dur lupa lagi janjinya sesudah Agustus itu?

Ada kalangan lain yang tidak begitu yakin pemimpin karismatik gerakan NU ini bisa mengubah diri secara sungguh-sungguh, seperti Mochtar Pabottingi. Mereka menyarankan agar "Gus Dur dikerangkeng saja", dan peranannya dibatasi sebagai "kepala negara", yang fungsinya spiritual, idiil, dan mengemban visi. Fungsi manajemen urusan sehari-hari diserahkan kepada seorang "kepala pemerintahan". Logisnya, fungsi kedua ini dipercayakan kepada wakil presiden. Tetapi banyak orang waswas apakah Megawati nanti tidak akan mengecewakan. Karena itu, ada usul untuk mengadakan seorang "menteri pertama", seperti Ir. Djuanda tahun 1963.

Yang lebih sulit adalah pertanyaan, kalau bukan Megawati, lalu siapa. Pilihannya, Akbar Tandjung atau Nurcholish Madjid, Sri Sultan atau tokoh nasional terpandang lain. Secara logis, Akbar Tandjung adalah pilihan yang terbaik.

Tapi, seandainya Akbar Tandjung menjadi bagian dari tiga sejoli (triumvirate) pimpinan negara/pemerintahan, hal ini bisa lebih efektif daripada dua sejoli Gus Dur dan Megawati. Dwitunggal terdiri dari presiden dan wakil presiden selama sejarah RI tidak pernah efektif untuk masa yang panjang, seperti antara Bung Karno dan Bung Hatta serta Soeharto dan Sri Sultan IX. Apakah tiga sejoli bisa bekerja lebih baik? Tidak pasti, dan masih bergantung pada latar belakang masing-masing. Tetapi, kalau pemerintah dikuasai oleh Gus Dur, Megawati, dan Akbar Tandjung, partai mereka mempunyai kursi di DPR lebih dari separuh. Kalau Akbar Tandjung, dan beberapa menteri dari kalangan Golkar, sikap politisnya akan lain. Kalau menteri pertama bukan kepala Golkar, "landasan kekuasaan" demikian tidak akan tersedia.

Triumvirate Gus Dur-Megawati-Akbar Tandjung mungkin sekali juga bisa saling mengimbangi dan saling melengkapi secara efektif. Duo Gus Dur dan Megawati rupanya tidak bisa karena perangai Megawati yang kurang terbuka, kurang tegas, sering "bicara dengan body language" yang tidak bisa dilihat oleh Gus Dur.

Pimpinan pemerintahan Indonesia pada masa transisi yang sangat sulit ini juga harus mampu memberi jawaban kepada masalah-masalah integrasi bangsa yang sangat rumit. Pernyataan Megawati yang apriori hanya mau mempertahankan kesatuan RI seperti diwariskan oleh ayahnya tidak membekali sikap yang afdol untuk zaman sekarang dan Indonesia di masa depan. Pemimpin politik, dan partainya, secara individual, tidak akan mampu memberi jawaban yang kreatif, akan tetapi mungkin bisa bila dilakukan bersama.

Belakangan terdengar skenario bahwa Gus Dur akan dijatuhkan lewat sidang istimewa MPR, Desember mendatang. Yang mengganti Megawati, sedangkan Akbar Tandjung sebagai wakil presiden, dan PPP menjadi mitra partai Islam. Gus Dur masih punya kesempatan untuk menghalau skenario ini, dengan melunakkan sikapnya yang keras. Dia bersedia mundur ke posisi kepala negara dan menerima adanya kepala pemerintahan. Mengenai siapa, diserahkan kepada permufakatan antara mitra koalisi.

Semua itu menimbulkan hantu berlanjutnya ketidakpastian politik, yang sangat mahal bagi bangsa. Di sini kita ingatkan kembali jeritan hati Sri Mulyani, "bangsa harus mulai dari nol lagi dengan beban yang lebih besar".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum