Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEDAN pamungkas akhirnya diselesaikan. Wajah Syamsir Alam berseri-seri. Lelaki yang sudah tidak muda lagi itu rileks sejenak. Helm dilepas, lalu, hup, dia melompat dari mobilnya yang tinggi. Senyumnya terus mengembang. Dia menyalami kru dan off-roader lainnya, sembari melangkahkan kaki ke paddock—tempat mekanik—yang berjarak sekitar 200 meter dari garis finish.
Syamsir, 56 tahun, punya tradisi sendiri setiap kali menyelesaikan lomba. Pada Ahad siang pertengahan Desember lalu, dia baru saja melahap trial stage perorangan—nomor terakhir dari rangkaian Kejuaraan Nasional Djarum Super 4x4 Real Adventure Off-road di Tembalang, Semarang.
Di paddock, dia celingukan sebentar. Sekejap, tangannya segera menyambar sebuah bir kalengan. Kerongkongannya segera basah dibilas minuman beralkohol ringan itu. ”Kalau balapan sudah selesai, saya pasti minum bir. Segar. Kalau belum selesai, jangan, bisa mengganggu konsentrasi,” ujarnya sambil menyeka buih putih yang menempel di bibirnya.
Meski sudah menekuni olah raga ini sejak 15 tahun silam, Syamsir tak pernah bosan, apalagi merasa terlalu tua untuk berlaga di nomor adventure. Pengusaha konstruksi perminyakan dan petrokimia ini juga tak pernah mengabaikan perlunya konsentrasi prima bila sedang berlaga di nomor ini. Sebab, medannya tidak sembarangan. Di Sirkuit Mangunharjo itu, dia harus menaklukkan terrain penuh turunan, tanjakan, juga tikungan curam. Tidak hati-hati, wassalam.
Nomor petualangan memang bukan sesuatu yang baru di dunia ini. Namun sensasi tantangannya tak pernah lekang. Itulah yang membuat para peminatnya malah makin kecanduan menaklukkan lanskap ekstrem di nomor ini. Buktinya, kejuaraan off-road di Indonesia makin marak saja. Acara yang digelar di Semarang ini merupakan bagian dari perhelatan off-road terbesar di Indonesia.
Off-road memang bukan cuma punya nomor petualangan. Masih banyak jenis lomba kendaraan dobel gardan lainnya. Di kalangan off-roader muda, sedang digemari jenis speed, yang mengutamakan kecepatan. Lalu ada yang disebut mud racing atau berpacu di jalan berlumpur ekstrem. Model ini muncul sekitar lima tahun silam.
Yang menarik, dalam festival off-road, motivasi peserta yang datang bukan melulu berkompetisi ingin menang. ”Tidak seperti cabang otomotif lainnya,” kata Dandossi Matram, Wakil Ketua Indonesian Off-road Federation (IOF) Komisariat Daerah DKI Jaya.
Kalau tidak mencari gelar juara, lalu apa? Jelas ada yang lebih bermakna. Off-road, yang selalu dilakukan di alam bebas, memupuk pergaulan egaliter dan rasa setia kawan. ”Status sosial kita hilang dalam off-road. Yang ada adalah kebersamaan dan kebebasan di alam terbuka,” kata Adil Syah Putra, lelaki 44 tahun. Di sirkuit, posisi pengemudi, navigator, teknisi, dan kru tidak ada sekat. Semua status sosial hilang. Mereka tidur di tempat yang sama, makan dengan menu yang sama.
Yuma Wiranatakusumah, 52 tahun, salah satu pelopor olahraga ini, berkisah tentang pengalamannya. As mobilnya pernah patah tatkala kejuaraan berlangsung. Namun tim lain dengan sukarela meminjamkan as mobil mereka. ”Padahal, dalam kejuaraan, tiap off-roader adalah kompetitor,” ujarnya.
Para pelaku olahraga ini juga tidak pernah merahasiakan modifikasi mobilnya. Seorang off-roader justru bangga jika ada orang lain yang meniru modifikasinya.
Untuk menikmati petualangan dan menjalin rasa setia kawan, dibutuhkan performa mobil yang andal. Itu perlu modal besar. Syamsir, misalnya. Untuk memodifikasi Toyota DJ-40 tahun 1982-nya, dia sudah mengeluarkan hampir Rp 300 juta. Off-roader lain, Dandossi Matram, mengaku sudah mengeluarkan Rp 350-400 juta.
Itu pun belum semuanya. Masih ada lagi, misalnya untuk touring. Kegiatan ini lumayan banyak peminatnya, terutama bagi mereka yang kurang suka dengan kompetisi. Mereka pergi menjelajah medan yang masih perawan seperti Gunung Sentul atau ke Sukabumi. Ini jelas butuh ongkos minimal untuk bahan bakar dan membuat kondisi mobil prima.
Belakangan kegiatan touring memang berkurang. Banyak sebabnya. Selain jalan-jalan di daerah yang dulunya masih perawan kini sudah berubah, harga bahan bakar minyak yang mahal juga membatasi aktivitas jalan-jalan itu. Maklum, kendaraan dobel gardan memang superboros.
Sejak awal dikenal di Indonesia pada 1960-an, off-road memang mengutamakan kebersamaan. Olahraga yang muncul di antara anak-anak tentara yang punya perkebunan di kawasan pegunungan ini bermula dari perkawanan mereka. Dengan mobil jip punya babe, anak-anak muda pada masa itu punya kebiasaan bermobil naik dan turun bukit. Ketika itu, kegiatan off-road dilakukan dalam skala yang kecil alias perorangan. ”Awalnya kami jalan berkelompok, sampai akhirnya menemukan tantangan dan menikmatinya,” kata Johnny Lintau, Ketua Persatuan Off-road Jakarta, yang sudah menekuni olah raga ini sejak 1960-an.
Tentu saja sekarang off-road berbeda dengan awal-awal kemunculannya. Menurut Johnny, mulanya para pelopor off-road mempelajari dan berdiskusi tentang karakter berbagai medan ekstrem yang berbeda dan khas. Lalu, klub pun bermunculan. Pada awal 1990-an, tatkala ekonomi bergerak naik dan muncul kelompok orang yang berpenghasilan lebih, kegiatan kompetisi pun mulai bergerak.
Nah, untuk mengikuti kejuaraan tentu tidak gratis. Paling tidak harus keluar uang Rp 15 juta. Namun ajang kompetisi seperti itu bisa juga mengalap rezeki. Bukan saja karena hadiah yang disediakan melainkan juga di lahan yang lain. Adil, yang juga seorang bankir, mengaku mendapat nasabah baru di ajang off-road. ”Lobi bisnis tidak melulu harus di lapangan golf,” ujar Adil sambil mesem-mesem senang.
Begitu juga dengan Yuma. Dari ajang off-road, dia bisa mempromosikan bengkelnya. Alhasil, banyak off-roader yang datang ke bengkelnya, baik untuk perawatan maupun modifikasi. Tak hanya sampai di situ. Prestasinya yang oke—beberapa kali menyabet gelar juara—membuat banyak per-usahaan menjadikannya sebagai pelatih atau ikut sebagai anggota tim off-road.
Yang lebih penting dari semua itu adalah sensasi memacu adrenalin ketika para off-roader ini menjelajah medan ekstrem, berpacu cepat, atau salip-menyalip di jalanan licin dan berlumpur tebal. Inilah candu sebenarnya, yang membuat sejumlah orang, walau sudah tak muda lagi, tetap setia di ”luar jalanan”.
Irfan Budiman, Ignatius Widi Nugroho, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo