Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ku… ku… ku… ku….
Suara burung itu ditirukan oleh paduan suara anak-anak Seven Chorale dengan tempo yang tetap seperti detak jam. Kata-kata itu tak ada dalam puisi Sapardi. Itulah tafsir Ananda Sukarlan atas puisi Cara Membunuh Burung. Ia kemudian menekan tuts, lantas hadirlah suasana tegang.
Soprano Fitri Muliati lalu seperti mengeja: Bagaimana cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu? Lalu masuk penari Chendra Panatan dan Siti Ajeng Soelaeman menyajikan ilustrasi gerak. Suara Fitri di akhir lagu, seperti terkejut, menjerit: arkhhhhh….
Di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, mengawali awal tahun ini, Ananda menampilkan dua sesi. Mula-mula piano solo, memainkan karya-karya komponis Amir Pasaribu. Amir kini umurnya 92 tahun dan tinggal di Medan. Pada masanya ia kritikus yang tajam dan komponis pionir.
”Ia maestro yang dilupakan,” kata Ananda. Pada masanya Amir memelopori teknik baru seperti teknik Debussy, Ravel, dan mengaplikasikannya ke dalam lagu-lagu tradisi. Teknik kontemporer Barat dapat digunakan untuk mencipta lagu bernuansa Indonesia.
Manuskrip dan partitur Amir diperoleh Ananda lewat Nurman, anak Amir yang tinggal di Belanda. ”Partitur kakek saya yang dipublikasikan di majalah Zenith banyak saya dapat dari perpustakaan H.B. Jassin,” kata Gonny Pasaribu, cucu Amir yang sengaja datang dari Belanda.
Ananda tahun lalu bertemu dengan Amir di Medan. Sang maestro pendengarannya telah lemah. Ananda membuat album yang rekamannya dikerjakan di Hall of Conservatorio de Amaniel, Madrid, Spanyol. Album yang diproduseri Chendra Panatan itu menampilkan 14 lagu Amir. Dari judul-judulnya saja terlihat bahwa Amir orangya cukup kocak. Misalnya ada judul: Tante-tante Mau Ngebut. Dan sore itu tiga karya pendek disuguhkan: Ole Ole Melojo Lolo, Sampaniara No. 1 dan Bongkok’s Bamboo Flute. Disusul nomor panjang Variasi Sriwidjaja.
Kita mendengar sesuatu yang lokal tapi bernapas Barat. Dan terakhir Petruk, Gareng & Bagong, sebuah nomor yang riang. Mendengarnya seperti dapat membayangkan ketiga punakawan itu berkejar-kejaran, berjailan, bergulingan, tertawa-tawa bersama.
Bagian kedua pertunjukan adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono. Ananda selama ini pernah membuat komposisi berdasar puisi penyair Walt Whitman. Dan kini perhatiannya terserap pada puisi Sapardi. Sore itu, ada 9 puisi Sapardi yang dijadikannya suatu narasi utuh.
”Saya cukup kaget dengan tafsir Ananda,” kata Sapardi ketika mendengar Cara Membunuh Burung. Tidak cengeng, ada ironinya. Puisi-puisi dilantunkan soprano Fitri Muliati dan bariton Rainier Revireino. Duet mereka jernih artikulasinya. Juga saat dilanskapi kelompok paduan suara Cavallero dan paduan suara anak-anak Seven Chorale. Dentingan piano Ananda dibalut tiupan flute Elizabeth Ashford dan english horn Juhal Ansyari.
Sapardi sendiri mulanya heran atas pilihan Ananda terhadap puisinya. ”Ananda, misalnya, memilih puisi saya Selamat Pagi Indonesia, sempat terjadi perdebatan, mengapa ia memilih itu.” Menurut Sapardi, puisi itu kurang tepat untuk dimusikalisasi, tapi ia kemudian membebaskannya
Selama ini publik mengenal, bila puisi Sapardi dinyanyikan, rata-rata romantis. Misalnya puisi cinta Aku Ingin, ketika digubah oleh dramawan Ags. Arya Dipayana dan dinyanyikan dengan gitar secara duet oleh Ary dan Redha begitu menyentuh, mengharukan. Namun di tangan Ananda menjadi terasa sangat lain. Cinta menjadi sesuatu yang tak liris atau melankolis.
Proses Ananda menafsirkan puisi Sapardi bukan dengan memelodikan kata. Ananda terpukau atas kalimat-kalimat Sapardi yang sederhana…. ”Seperti musik, yang not-notnya biasa, tapi di antara not-not itu yang dahsyat.” Memang Ananda menemui kesulitan, terutama ketika berhadapan dengan puisi Sapardi yang banyak terdapat kalimat dalam kurung. Misalnya puisi Lirik untuk Lagu Pop yang dalam teksnya ada kalimat: Swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!), nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!) ”Yang ada dalam kurung itu saya hilangkan atas izin Sapardi.”
Dihilangkan, tapi memang tetap enak didengar. Tepuk tangan riuh menandakan penonton merasakan keindahan. ”Membuat komposisi yang sederhana tapi dalam itu lebih sulit daripada membuat musik kontemporer serius,” kata Ananda.
Dan, ku… ku… ku… ku….
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo