Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#FF3300>Lagu Baru</font>, Penyanyi Lama

Biennale Jogja IX menajamkan perbedaan generasi perupa era 1990-an dengan era 2000-an.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aroma tentara segera menyambut setiap orang yang masuk ke gedung sayap barat bekas kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa-ASRI, Yogyakarta. Di dekat pintu masuk, karya seni instalasi perupa Heri Dono menghadang pengunjung dengan todongan meriam di atas mobil jip hijau tentara. Toh, Heri tidak mengisi mobil itu dengan sosok tentara berwajah garang. Sebaliknya, muncul tiga sosok badut berseragam hijau di dalamnya. Di sebelah mobil itu ada tiga sosok manusia berekor, juga disaput warna hijau tentara; tapi kepala mereka dihiasi topi komandan prajurit keraton.

Heri Dono, 47 tahun, dikenal sebagai perupa yang sering menggunakan idiom tradisi sebagai parodi kehidupan modern dalam karya seni instalasinya. Kali ini ia sedang menertawakan kekuasaan lewat karyanya: The Palace Guard.

Di salah satu ruang di gedung utama bekas kampus ASRI ini, perupa Nindityo Adipurnomo juga muncul dengan idiom yang biasa ia pakai pada banyak karya seni instalasinya: konde. Nindityo tak habis-habisnya mengeksplorasi kemolekan bentuk konde sebagai simbol ketertutupan dan konflik yang menyertainya dalam tradisi Jawa khususnya. Tak ada yang baru pada karyanya selain unsur teknologi elektronik untuk membuka ketertutupan budaya tadi lewat citraan foto slide.

Tim kurator pameran seni rupa dua tahunan ini meloloskan karya Heri Dono dan Nindityo bersama 162 perupa lainnya berdasarkan kurasi bertajuk ”Neo-Nation”. Menurut tim kuratorial (Suwarno Wisetrotomo, Sujud Dartanto, Kuss Indarto, Eko Prawoto), tema kuratorial itu terkait dengan identitas keindonesiaan yang muncul sejak perubahan politik terjadi pada 1998. ”Bagaimana kita mengalami keindonesiaan kita pada hari ini?” kata Suwarno Wisetrotomo. Pertanyaan itulah yang lalu dijawab perupa peserta biennale lewat karya mereka. Bagi kurator, kultur anak muda yang selalu berada di garda depan perkembangan seni rupa menunjukkan pengalaman tentang ”keindonesiaan” dengan cara baru.

Masalahnya, bagi perupa mapan semacam Heri Dono dan Nindityo tak ada lagi cara baru memandang keindonesiaan, karena sejak dulu mereka akrab dengan cara pandang alternatif dalam melihat masalah negeri ini. Begitu juga perupa Moeljono yang menampilkan pendidikan alternatif untuk anak-anak lewat seni rupa. Sedangkan Mella Jaarsma, perupa Belanda yang menetap di Yogyakarta, menggarap tema konflik rasial yang dipelihara negara dalam karya instalasinya. Kali ini ia bersama seniman Papua Michaela Jarawiri menggarap karya video instalasi dengan mengeksplorasi identitas budaya penduduk Papua, koteka, yang pernah diberantas pemerintah Orde Baru pada 1970-an.

Bahkan Agus Suwage memajang karya bertajuk ”Are You Going With Me” dengan memboyong puluhan tengkorak celeng terikat di atas sepatu roda di salah satu ruang gedung utama bekas kampus ASRI. Karya instalasi ini pernah dipamerkan di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, pada 2001 dengan penataan yang berbeda.

Maka, lupakan saja tema biennale ”Neo-Nation” ini, karena pada prakteknya judul yang gagah ini memang lebih sebagai perekat berbagai kecenderungan ekspresi seni rupa dua tahun belakangan ini. Sejumlah perupa, seperti Heri Dono, dengan tema apa pun tetap muncul dengan kecenderungan karya seni rupa yang sudah mereka geluti satu dekade lalu. Tak ada kebaruan yang berarti pada karya mereka dari aspek medium maupun gagasan, meski Edi Prabandono dari generasi perupa 1990-an sempat mencuri perhatian pengunjung dengan karya patung dari tanah berukuran raksasa yang pernah ia tampilkan pada Festival Kesenian Yogyakarta 2007. Juga, pelukis Nasirun yang biasa menggarap lukisan dengan figur wayang, dalam biennale ini ia menyegarkan diri dengan mengeluarkan figur wayang itu dari kanvas lukisannya menjadi wayang dalam bentuk yang sebenarnya.

Toh, biennale kali ini berhasil menunjukkan perbedaan yang berarti antara perupa generasi 1990-an dan perupa 2000-an. Kecenderungan yang menonjol dalam seni rupa pada era 2000-an, setidaknya dua tahun belakangan ini, ditandai dengan merebaknya fenomena street art dan turunannya berupa produk merchandise berbasis seni visual semacam karya ilustrasi, fashion, dan mainan. Sejumlah perupa berusia jelang 30-an tahun yang muncul pada tahun 2000-an semacam Wedhar Riyadi, 27 tahun, tak terkesima pada karya seni yang bersifat auratik dan tak peduli jargon ”seni untuk seni”. Mereka memproduksi barang dagangan nyeni bercorak produk distro yang digandrungi generasi ABG semacam oblong, boneka, pin, lukisan berukuran kecil di atas kanvas atau pada bilah kayu. Karya Wedhar berjudul ”Land of The Broken Heart” berupa patung sosok anak-anak dalam warna merah jambu memegang tiga bentuk jantung.

Selain Wedhar, generasi 2000-an menghasilkan sekelompok anak muda yang tergabung dalam perusahaan desain Petak Umpet yang ikut dalam biennale kali ini bersama perusahaan cendera mata Dagadu. Meski bukan seniman profesional, kelompok Petak Umpet justru menampilkan karya yang paling menonjol berupa gabungan karya seni instalasi dengan new media art bertajuk ”Symbio Robotic Mutualism”. Karya yang lebih mirip perangkat special effect yang biasa dipakai dalam industri film Hollywood tinimbang karya instalasi. Karya Petak Umpet dan Wedhar Riyadi dari generasi perupa 2000-an berhasil membuat perbedaan yang berarti terhadap karya perupa 1990-an.

Sedangkan dalam seni lukis kurator cenderung memilih karya lukis bercorak seni lukis Cina kontemporer yang kini banyak pengikutnya di Indonesia. Karya perupa Cina semacam Fang Lijun, Wang Guangyi, Zhou Chunya, dan Yue Minjun mulai menjadi acuan pelukis Indonesia setelah karya mereka menguasai pasar balai lelang seni rupa dunia. Corak karya lukis ala seni lukis Cina kontemporer itu dengan mudah dilihat dalam belasan karya lukis pada biennale ini yang dipajang di Taman Budaya Yogyakarta dan Sangkring Art Space. Ciri-cirinya: aspek teknis realis yang kuat, hemat subject matter, dan tema yang kuat.

Sebelum corak lukisan Cina kontemporer diadopsi banyak pelukis Indonesia, perupa Agus Suwage sudah membuat karya lukis dengan pola yang sama sejak paruh akhir 1990-an. Ia mengeksplorasi citraan tubuhnya dalam berbagai posisi yang khas di atas kanvas. Hal yang sama juga dilakukan salah seorang pelukis kelompok Jendela, Rudi Mantofani, lewat lukisan lanskap sederhana yang diimbuhi satu atau dua subject matter dengan latar belakang warna tunggal. Hasilnya, karya lukis Agus Suwage merupakan karya seni rupa kontemporer Indonesia pertama yang disedot pasar habis-habisan. Karyanya selalu habis terjual sebelum pameran dibuka sehingga banyak kolektor yang rela antre.

Keberhasilan Agus Suwage dan serbuan lukisan Cina kontemporer membuat pelukis domestik tergiur. Pengaruh corak lukisan Cina kontemporer tampak dalam kanvas Ugy Sugiarto bertajuk ”Asimetrik” yang hanya berisi lukisan potret dua pria berselimut plastik transparan, burger dan rumput di atas piring, dengan latar belakang merah. Ugy menggarap citraan lembaran plastik dengan detail bak citraan fotografi. Juga, karya Budi Kustarto yang mengutip citraan patung merchandise bintang sepak bola David Beckham dan Ronaldo. Karya lukis macam ini kini laris manis pada setiap pameran di galeri maupun di balai lelang sebagaimana lukisan Cina kontemporer.

Pada ajang biennale kali ini pelukisnya tak perlu repot menyesuaikan diri dengan konsep kuratorial. Pelukis cukup menambahkan citraan yang sesuai dengan tema ”Neo-Nation” pada kanvas dengan latar belakang warna tunggal: sederhana dan cepat laku.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus