Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERSEBUTLAH sebuah desa nun di ujung timur Pulau Jawa; sebuah desa gelap penuh pohon purba. Sebuah desa yang tak mengenal terang, matahari, bahkan napas kehidupan. Perempuan menjadi bunting di sana dan di sini, tapi kemudian bisa dipastikan keesokan harinya akan ada upacara pemakaman bayi yang memilukan.
“Mengapa begitu banyak makam anak-anak di desa ini?” demikian Dini (Marissa Anita) bertanya dengan nada kritis. Maya (Tara Basro), protagonis dalam dongeng gelap ini, aktris yang selama ini menjadi muse sutradara Joko Anwar, seperti menegasikan segala curiga dan rasa takut sahabatnya.
Sejak awal, kedua perempuan ini hampir seperti adik-kakak yang saling menyediakan bahu untuk menyangga dunia yang buruk. Joko menciptakan tokoh Maya yang hanya paham bahwa dirinya seorang yatim-piatu. Maya ingin menyusuri asal-usulnya karena sejak awal film dia dibenturkan oleh beberapa informasi tentang orang tuanya, juga karena dia butuh duit. “Kalau melihat foto keluargaku ini, kelihatannya mereka cukup kaya. Lihat rumahnya,” demikian Maya berteori dan terdorong untuk mencari desa tempat asal orang tuanya. Adapun sahabatnya, Dini si peragu, bertugas “mengontrol” setiap kali Maya membiarkan rasa penasaran membawanya ke area yang asing.
Base Entertaiment
Seperti saat itu, ketika akhirnya keduanya terdampar di desa purba yang seolah-olah bukan bagian dari peradaban Indonesia. Maya dan Dini merasa ada sesuatu yang ganjil, gelap, aneh di sekitar desa yang hanya dihuni orang-orang dewasa yang memandangnya dengan penuh syak wasangka tersebut. Maya dan Dini mengaku sebagai mahasiswa yang hendak meriset dalang dan pewayangan karena mereka mendengar surat-surat kepemilikan rumah tua besar yang sudah kosong itu berada di tangan Ki Saptadi (Ario Bayu), dalang tampan yang tampaknya dipatuhi dan ditakuti orang satu desa. Ki Saptadi adalah putra Nyi Misni (Christine Hakim dalam penampilannya yang berbeda dan betul-betul menggebrak layar), sosok yang seolah-olah telah rontok oleh usia dan penyakit tapi ternyata memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mengerikan. Tak syak lagi, Maya dan Dini telah memasuki tanah jahanam.
Tentu saja Maya dan Dini didera berbagai kekejian dan serangkaian siksa, yang secara perlahan-lahan terkuak sedikit demi sedikit. Peristiwa demi peristiwa terkelupas. Joko Anwar seolah-olah menampilkan gambaran pohon keluarga Maya.
Film ini tak bisa dibandingkan dengan film-film Joko Anwar sebelumnya, terutama Pengabdi Setan. Sebab, selain jauh lebih mengerikan, menurut saya, sebetulnya ini bukan film horor. Joko tidak bertumpu pada setan atau hantu sebagai penggerak cerita. Tokoh Maya adalah pemimpin cerita. Masa lalu dan keluarga Maya adalah penggerak plot. Manusia biasa adalah sosok terpenting, sementara ada makhluk halus yang tetap berkelebat seperlunya sebagai bagian dari sampiran. Pada dasarnya, Joko justru memberikan pernyataan bahwa manusialah yang jauh lebih ganas dan keji daripada para hantu yang biasanya sekadar ingin “tenang”.
Di tanah jahanam ini, ada segala hal yang gelap. Ada ilmu hitam, kematian demi kematian, kutukan, klenik, juga tumbal demi tumbal yang, menurut duo Nyi Misni dan Ki Saptadi, akan menyelamatkan desa itu dari kutukan masa lalu. Saksikan bagaimana Nyi Misni menggantung “bahan baku” untuk serangkaian wayang kulit yang akan dipentaskan putranya. Tenang, biasa, dengan gerakan yang biasa-biasa saja seolah-olah dia sedang menggantung sehelai sarung bantal. Justru gaya “biasa” ini yang setiap detik melahirkan rasa ngeri dan nyeri.
Manusia di desa itu, bahkan pendatang yang “awam” seperti Dini dan Maya, memiliki hasrat yang tak tertahankan. Yang membedakan Dini dan Maya dengan keluarga Nyi Misni dan pengikutnya adalah sekelumit peradaban.
Bahwa Joko Anwar menggunakan seni tradisional sebetulnya menarik sekali. Tapi, menurut saya, akan lebih kental lagi jika serangkaian wayang kulit yang dipentaskan Ki Saptadi menampilkan lakon tertentu dengan karakter-karakter wayang yang memiliki relevansi dengan cerita, relevansi dengan karakter Nyi Misni yang mempunyai hubungan kompleks dengan putranya. Dalam film ini, dalang berikut pertunjukan wayang adalah plot device yang digunakan untuk memperlihatkan betapa purbanya solusi mereka terhadap apa yang dianggap sebagai “kutukan”.
Joko juga tak memberikan harapan, bahkan secercah sinar apa pun, hingga akhir cerita. Manusia dan lagi-lagi manusia yang selalu saja membuat hidup ini menjadi jahanam. Bagi Joko, mengapa pula kita berlagak menganggap manusia memiliki nurani. Pada dasarnya, kita semua jahanam.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Base Entertaiment
PEREMPUAN TANAH JAHANAM
Sutradara: Joko Anwar
Skenario: Joko Anwar
Pemain: Tara Basro, Marissa Anita, Asmara Abigail, Christine Hakim, Ario Bayu
Produksi: Base Entertainment, Ivanhoe Pictures, CJ Entertainment
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo