METODE mengobati kanker kini maju selangkah lagi. Dokter Steven Rosenberg, ahli kanker dari Institut Kanker Nasional, Amerika Serikat, berhasil mengembangkan vaksin sel kanker. Meski disebut vaksin, toh vaksin sel kanker bukan untuk mencegah kanker melainkan dipakai dalam proses pengobatan, yaitu memperkukuh sistem imunisasi (pertahanan tubuh) untuk melawan sel ganas itu. Digiatkannya sistem imunisasi, menurut Rosenberg, karena pada manusia sistem tersebut memiliki mekanisme melawan kanker. Inilah pangkal kasus kanker yang ajaib, yaitu kanker dilawan dengan kanker. Jadi, tumor bisa hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Dalam kondisi biasa, pertahanan tubuh sangat lemah menghadapi kanker. Maka, jika mekanis menya itu diperkuat, tubuh akan efektif menghancurkan kanker. Awalnya, Rosenberg bersama tim yang telah meneliti kanker sejak tahun 1968 merekayasa cytokine -- hormon yang mengatur sistem imunisasi. Cytokine yang disebut interleukin 2 (IL2) itu disuntikkan ke dalam tubuh. Dalam hipotesa Rosenberg, hormon itu akan meningkatkan pembentukan sel darah putih un tuk menggempur kanker. Tapi percobaan itu gagal. Dalam percobaan berikutnya, Rosenberg menggali sel kanker dari penderita kanker ganas. Di laboratorium, sel-sel yang telah diubah struktur genetiknya itu kemudian dibiakkan. Pada inti selnya Rosenberg menyelipkan dua gen, yakni gen pembawa format produksi semacam hormon yang disebut tumor necrosis factor (TNF), dan gen pembawa format produksi IL2. TNF adalah racun pembunuh sel kanker. Sel kanker rekayasa itu kemudian disuntikkan pada binatang percobaan tikus. Mujarab. Pertahanan tubuh tikus meningkat dan sel tadi segera menyerang kanker dan membunuhnya. Rosenberg kemudian diizinkan mencoba sel kanker rekayasa, yang karena cenderung menyerang sel kanker dalam sistem pertahanan tubuh lalu disebut vaksin itu, kepada 1.200 penderita kanker kulit dan ginjal akut. Vaksin yang dis untikkan itu adalah untuk menghasilkan TNF dalam jumlah banyak dan segera menyerang sel kanker di sekitarnya. Vaksin tersebut bahkan diperhitungkan memicu sistem pertahanan tubuh melawan kanker. Kebangkitan sistem itu ditandai dengan meningkatnya jumlah sel darah putih yang khas. Tiga minggu setelah penyuntikan tersebut, Rosenberg mengoperasi bagian tubuh tempat ia menyuntikan sel gen TNF tadi. Sel darah putih yang terbentuk kemudian dialirkan ke seluruh tubuh agar berfungsi melawan kanker. Hasilnya, seperempat dari penderita yang menerima suntikan tadi menunjukkan reaksi. Namun, yang terbebas total dari kanker baru satu dari sepuluh orang yang menunjukkan reaksi tadi, yakni Edwina Schreiber. Tiga tahun silam, orang iba melihat nasibnya. Tubuh wanita asal Atlanta ini koyak digerogoti kanker. Ia menderita malignant melanoma (kanker ganas). Sel kanker itu sudah menyebar ke 30 tempat di sekujur tubuh -- lengan, paruparu, langit-langit mulutnya, bahkan di tonsil. Ia sulit menelan makanan. Schreiber sudah menjalani berbagai terapi konvensional, seperti radiasi dan kemoterapi, untuk mengenyahkan sel maut itu. Singkatnya, kondisinya kian buruk. Namun, tahun ini harapan hidupnya membayang. Usai menjalani rangkaian terapi Rosenberg, pupuslah kanker di langit-langit mulut, payudara, di bawah kulit, dan di tempat lain di tubuhnya. Walau demikian, Rosenberg mengatakan terapi itu belum beken. Ia masih melakukan upaya untuk menggenjot lagi daya bunuh sel rekayasa tadi. "Ini baru permulaan. Ada banyak gen di planet ini. Kini kami baru mencari bagaimana meng gunakannya," katanya kepada majalah Newsweek terbitan pekan silam. Rosenberg tidak sendirian. Di Institut Kanker John Wayne di Santa Monica, AS, ada Dokter Donald Morton. Selama 25 tahun ia mengadakan penelitian dengan metode serupa. Awalnya ia membuat ekstrak sel kanker dari binatang percobaan tikus. Lalu ke dalam ekstrak tadi dimasukkan BCG, bakteri yang sudah dilemahkan yang biasanya digunakan dalam vaksin TBC. Ekstrak itu kemudian disuntikkan kembali ke tubuh binatang tadi. Hasilnya mustajab. Sel itu giat melawan kanker. Sayang, formula yang efektif pada binatang percobaan ternyata tidak efektif pada manusia. Dalam percobaan berikut -- sebelum menyisipkan BCG -- Morton melemahkan dulu sel kanker yang diambil dari tubuh penderita. Maksudnya, supaya tidak menimbulkan tumor baru. Kemudian sel rekayasa itu disuntikkan ke bagian tubuh yang diserang kanker. Ternyata formula itu lebih bagus hasilnya. Daya tahan tubuh meningkat, dan sel rekayasa tadi mampu menghancurkan kanker. Peggy Maddox dinyatakan bersih dari kanker setelah menjalani terapi dengan vaksin temuan Morton. Ketika bertemu Morton, guru di Redondo Beach, California, ini ternyata sudah delapan tahun menyandang kanker. Dan Maddox adalah pasien Morton yang pertama yang menggunakan vaksin itu. Metode serupa kemudian dikembangkan di pusat-pusat penelitian kanker di Amerika Serikat. Peneliti di Seattle, misalnya, melakukan eksperimen dengan mensintesa gen yang memproduksi antigen melanoma, kemudian menggabungkannya dengan virus DNA yang tidak berbahaya. Virus ini akan efektif merangsang sistem imunisasi. Dengan demikian, diharapkan antigen tumor akan menjadi sasaran. Kendati antigen ini pada hewan memberi hasil yang sempurna, percobaan tersebut belum dilakukan pada manusia. Padahal, metode imunoterapi semacam itu menjanjikan harapan sembuh bagi penderita kanker. Meskipun diucapkan selamat datang pada metode ini, toh kritik juga mengalir, karena katanya sulit mengkomersialkan pengobatan individu yang seperti itu. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini