Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Seorang Dokter Di Sebuah Propinsi

Cerita sukses Rumah Sakit Palu. Biar kekurangan tenaga dan peralatan pasien tetap dinomor satukan. Pernah membantu pasien tak mampu dengan tiket pesawat pergi-pulang ke Ujungpandang.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKIRANYA Rumah Sakit 'Undata' di Palu diperlengkapi dengan alat-alat lebih modern, tentulah para korban tragedi Twin Otter - yang masih dirawat sampai sekarang lebih cepat sembuh. Betulkah itu? Belum pasti, tenu saja walaupu untuk operasi tulang para penderita kemarin, terpaksa/pihak rumah sakit meminjam peralatan modern dari RS Cipto Jakarta. RS Undata memang sebuah gambaran rumah sakit propinsi yang bisa mencerminkan kondisi pelayanan kesehatan di daerah yang belum sepenuhnya terbuka. Hanya saja, dengan mengingat kondisi itu, rumah sakit itu mungkin bisa jadi contoh sukses. Kesan pertama: ini sebuah rumah sakit yang sedang. Tidak sepi, dan tidak hingar-bingar. Terasa teratur dan bersih -- dan jauh dari kemewahan. Tak ada bau kencing atau ludah atau keringat, tapi juga tak ada bau obat atau kreolin. "Bau obat-obatan itu mengingatkan pasien bahwa ini rumah sakit", kata dr. M.P. Simorangkir, Kepala, "padahal kita ingin si sakit merasa seperti di rumah". Oleh alasan itu pula dinding-dinding tidak dicat putih, melainkan warna-warna lembut. Hotel Dan Panti Sosial Di sini bekerja orang dokter ahli (bedah, kebidanan dan THT), 1 dokter umum tetap, 2 dokter Inpres, 1 dokter gigi, 69 tenaga perawat, total jenderal 152 orang pegawai. Apa boleh buat. Persyaratan minimal untuk sebuah RS propinsi sebenarnya adalah tersedianya empat dokter ahli dan RS di Palu itu kekurangan ahli penyakit dalam. Di samping itu tenaga paramedis mestinya lebih banyak variasinya, yakni pegawai golongan II yang mereka di Palu rupanya tidak mampu mencarinya. Departemen memang tidak punya beleid untuk mendatangkannya misalnya dari Jakarta. Kemampuan pihak Undata untuk mendidiknya sendiri - lewat kursus, sampai sekarang berjumlah 69 orang - tentu saja terbatas. Beruntunglah bahwa dari segi lain, waktu Menteri Amirmachmud bagi-bagi duit menjelang pemilu kemarin, RS ini kebagian pula Rp 50 juta untuk membantu pembangunan beberapa bangsal yang direncanakan Pemda. Meski begitu problim lebih penting sudah tentu bukan hanya kelengkapan atau perluasan melainkan juga kwalitas pelayanannya berdasar kemampuan maksimal. Dan dr. (spesialis bedah) M.P. Simorangkir lulusan UI 1971 yang memimpin rumah sakit ini sejak berdiri, merasa beruntung karena ia merupakan pemula. "Otomatis orang yang datang di belakang mengikut saya", katanya. Ini penting khususnya dalam membangun 'watak' rumah sakit sebagai sebuah tempat yang menurut dokter kelahiran Tarutung ini merupakan perpaduan antara hotel dan panti sosial. "Sebagai hotel, tamu yang beruang memang kita layani. Mau enak kasih yang enak, asal beruang. Tapi sebagai rumah sosial tidak bisa. Orang yang tidak bisa bayar pun harus dilayani. Tak ada uang buat obat, harus dikasih obat, walaupun jenis yang murah". Simorangkir bertugas di sini karena Gubernur Jasin memindahkan dia. Kebetulan, setelah punya RS Kabupaten Donggala, Pemda memang menginginkan sebuah RS propinsi yang diharap ideal - dan kompleks yang dibangun sejak 1970 sampai 1972 dengan biaya 19 juta dari APBD dan 11 juta dari APBN, sudah setahun menganggur. Di sinilah ia dibantu oleh wakilnya dr. Kamaluddin plus seorang tenaga perawat yang merangkap kepala TU, seorang juru tik dan seorang tukang kebun selama 8 bulan pertama menghadapi pelbagai kesukaran. Tahun pertama itu anggaran dinyatakan defisit. Apakah untuk mengatasinya terpaksa ditetukan kenaikan tarif perawatan? 5 Butir Telor Tahun anggaran berikutnya Gubernur mendrop lagi 15,5 juta - dan jumlah ini berlebih. Tarif pasien sendiri di sini adalah: Rp 0 sampai Rp 500 untuk klas bangsal (sedang biaya riil sebenarnya Rp 590 sampai Rp 595). Klas II, dengan ruangan juga di bangsal. Hanya "makan lebih enak", Rp 3.500. Klas 1 Rp 5.000. Dan hanya kepada pasien yang di bangsal dikenakan kewajiban 'uang panjar' sebanyak Rp 5.000 untuk 10 hari. Nah. Justru uang panjar inilah yang biasanya merupakan pokok keributan. Tidakkah pasien yang gawat siapa tahu meninggal karena soal uang panjar ini ? "Itu tak pernah terjadi". Simorangkir menjawah. Setiap pasien yang datang dan tampak parah, katanya, diserahkan kepada dokter. Hanya apabila penyakit tidak kritis atau masa kritisnya sudah berlalu setelah perawatan permulaan, keluarganya ditanya. Tetapi prinsip yang kita tanamkan hersa sejak pemlulaan ialah: setiap orang sakit. tak ada uang, harus diberi pelayan kesehatan yang sama . Ia malah bisa bercerita: ada beberapa orang tani yang akhirnya dikembalikan uang panjar mereka karena setelah berbincang-bincang secara pribadi diketahui uang itu hasil menjual sapi yang digunakannya di sawah sedang waktu datang tak membawa 'surat tidak mampu dari kelurahan. Ke sini juga pernah datang seseorang yang anaknya menelan sesuatu yang tidak bisa dikeluarkan. Apa boleh buat, RS Undata tak punya alat untuk menolongnya. Jadi disuruh ke Ujungpandang. Tapi si ayah bilang: kami tak mampu. Rumah sakit lantas memberi uang Rp 60.000 kepada orang ini buat biaya pesawat pulang-balik - "dan saya pribadi menyumbang uang makan selama di perjalanan". Saya bekali dengan surat untuk dokter di sana: tolong, gratis". Nah, "setelah mereka kembali. apa yang dibayarkan kepada kita? Lima butir telor" . . . Itu tahun 1975. Tapi bagaimana 'amal sosial' seperti itu bisa dipertanggungjawabkan dari segi anggaran? "Karena memang tersedia dana untuk itu', jawab Simorangkir. Dari keuntungan kotor per bulan, 15% (sekarang ini berjumlah 600 - 700 ribu rupiah) diizinkan oleh Gubernur Tambunan untuk dibagi di antara 152 pegawai. Misalnya yang tugasnya berat (dokter ahli, supir ambulans, kepala dapur, tenaga teknik) semuanya sama: Rp 7,5 ribu. Lainnya kecil-kecil, misalnya penjaga portir mendapat Rp 2.000. "Nah sisa di luar itu disediakan juga untuk cadangan bantuan sosial". Mengejutkan Guberur Di sarnping yang "sosial" itu, dokter ini pernah mengejutkan Gubernur. Ia pernah mengumumkan nama-nama para penunggak yang lari sehabis perawatan. Dan mereka bukanlah para pasien bangsal, melainkan tuan-tuan klas. Namanama itu ditempelkan di papan pengumwnan di rumah sakit: terdiri dari orang-orang pemerintah sampai DPRD. Tentu saja khalayak gempar, "Untung Pak Tambunan mendukung saya" Simorangkir berkata, "padahal saya sudah beberapa kali minta berhenti". Itu terjadi tahun 1974, dalam jangka 2 tahun pertama yang masih penuh kesulitam Dan dalam jangka itu pula, antipati orang kepada tokoh ini, yang oleh orang tak suka kadang disebut sebagai "tokoh disiplin batu", berkembang. Sikap masyarakat pula yang menyebabkannya mengalami kesukaran dalam membuka sistim asuransi - yang sebenarnya merupakan salah satu tiang penunjang kehidupan sebuah RS. Karena kesulitan administratif kepamongprajaan, akhirnya sistim ini hanya dikenakan kepada pegawai negeri, per dinas. Apakah cara seperti itu juga dilaksanakan di RS lain? Ya, dr. Coenawan sudah melaksanakamlya di Yogya -- itu dokter yang mendapat satya lencana". Bahkan, sistim tersebut dilaksanakan dr. Goenawan di kalangan penduduk desa. Dan ini bisa karena di Jawa, walaupun desa, sudah ada administrasi yang baik. Di Palu misalnya, seperti diceritakan Simorangkir, pernah Pak Camat menunjuk Desa Lolo sebagai percobaan. "Tapi waktu saya tanya kepada Kepala Desa, berapa anggota masyarakat yang diurusnya, ia tidak tahu". Mungkin kelak akan berbeda keadaannya. Di masa depan RS Propinsi ini tidak lagi akan seperti yang sekarang. Kota akan berkembang. Kehidupan akan makin kompleks. Orang barangkali akan berjubel di pintu rumah sakit -- seperti di Jakarta. Orang memang faham bahwa untuk menanggulangi hal itu memang diperlukan perencanaan jauh-jauh hari - misalnya dalam hal penyebaran pelayanan kesehatan. "Keadaan akan menjadi kompleks kira-kira sesudah 5 tahun mendatang", kata Simorangkir. "Sekarang saja tuntutan masyarakat dan ini antara lain yang menyebabkan biaya perawatan naik - sudah terasa. Misalnya kalau tadinya orang cukup pakai ruangan biasa, cukup asal ada angin lewat, sekarang mau pakai AC -- dan bersedia membayar lebih mahal. Lalu supaya bisa merokok, tambah pula penyedot udara". Di RS Palu sendiri tentu saja tak ada AC . "Yang penting sekarang bukan itu". Yang penting ialan bagaimana membina sebuall rumah sakit dengan managemen yang baik - dan bisa bertahan dalam fungsinya yang ideal. Dokter ini sendiri, yang mengaku pada tahun pertama dulu bertindak sebagai "semi diktator" (sedang pada tahun kedua mulai membagi wewenang, dan tahun ketiga lebih aktif menampung saran-saran bawahan), menyebut bahwa sebetulnya sampai sekarang belum ada mata kuliah 'managemen rumah sakit' di fakultas kedokteran. Ini memang satu hal yang tentunya bukan cuma dia yang memikirkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus