Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Toko Buku Gunung Agung yang buka sejak 1950-an menggelar cuci gudang karena hendak tutup.
Jumlah pembeli yang datang langsung ke toko-toko buku turun drastis sejak pandemi Covid-19.
Pedagang buku bertahan berkat penjualan online.
Antrean mengular menuju kasir terbentuk di Toko Buku Gunung Agung, Kwitang, Jakarta Pusat. Banyak buku terserak di lantai dan tergeletak tak beraturan di rak. Rabu, 30 Agustus 2023, itu merupakan hari kedua jaringan toko buku besar tersebut menggelar cuci gudang dengan memberi diskon besar-besaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar pagar, sejumlah orang berdiri di tengah panas matahari. Mereka dilarang masuk oleh petugas keamanan karena jumlah pengunjung telah melebihi kapasitas dan terdapat antrean panjang di kasir. Petugas pun meminta pengunjung yang tak dapat masuk untuk kembali pada hari berikutnya. “Kami akan tetap buka untuk menghabiskan sisa barang,” ujar petugas di lokasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toko Buku Gunung Agung akan menutup seluruh toko mereka. Supaya stok cepat habis, mereka memberi potongan harga plus menggratiskan dua buah buku untuk satu buku yang dibeli.
Sebelumnya, toko buku yang berdiri sejak 1950-an ini menutup gerainya di beberapa kota, seperti Bogor, Karawang, Semarang, dan Surabaya, pada 2020. Kini, manajemen akan menutup gerai yang tersisa, termasuk di Kwitang.
Agnes Dian, pembeli yang ikut memborong stok buku terakhir Gunung Agung, meletakkan enam buku dalam tas belanjaannya pada siang itu. Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Jakarta ini mengaku menyukai novel lokal. “Tapi yang tersisa di sini hanya yang terjemahan,” kata dia.
Agnes selalu menyukai aroma kertas pada buku baru. Kesenangan hati saat memilah dan memilih buku di rak membuatnya tak bisa beralih ke buku digital ataupun membeli buku di lapak online. "Tapi sekarang banyak toko yang tutup," ujarnya.
Selain Toko Buku Gunung Agung, banyak toko buku bertumbangan. Misalnya Aksara. Pada 2020, Askara Bookstore menutup gerainya yang buka belasan tahun di Kemang, Jakarta Selatan. Sebelumnya, mereka menutup toko di Pacific Place, Jakarta Selatan, pada 2018.
Banyak faktor yang membuat toko-toko tersebut gulung tikar. Manajemen Toko Gunung Agung mengungkapkan mereka merugi sejak masa pandemi.
Alasan lainnya adalah preferensi pembeli. Lidya Panjaitan, pencinta novel, mengatakan tak kehilangan toko-toko yang tutup tersebut. Dia jarang ke sana semata karena susunan penyajian bukunya tak menarik atau memang buku yang dia cari tak tersedia. “Saya suka buku impor dan novel terjemahan. Terkadang, di Gunung Agung tidak ada,” kata dia.
Mereka yang Tetap Hidup
Meski yang lain tutup karena merugi, beberapa toko buku besar masih tetap berdiri di beberapa lokasi. Gramedia, misalnya. Berdiri sejak 1970, mereka terus berkibar. Ketika Tempo menyambangi cabang mereka di Melawai, Jakarta Selatan, kemarin siang, seorang pembeli sedang asyik memilih-milih buku dan dimasukkan ke keranjang belanjaannya. Di ruangan lainnya, ramai pembeli yang berbelanja alat tulis dan peralatan kesenian.
Gramedia Melawai di Jakarta, 30 Agustus 2023. Sebelumnya, toko buku ini memiliki empat lantai, tapi kini hanya menyisakan satu lantai yang menjual buku dan peralatan menulis. TEMPO/Ilona Esterina
Namun kemudian memang terjadi penurunan volume penjualan. Hal itu berdampak pada pengurangan luas toko dari yang tadinya empat lantai. "Sekarang tinggal satu," kata karyawan yang tak ingin dituliskan namanya. Meski demikian, pemasukan toko tetap tinggi karena ditopang penjualan online.
Toko yang menjual banyak buku impor, seperti Books and Beyond dan Periplus, juga masih eksis. Lidya Panjaitan, misalnya, menjadi pelanggan tetap dua jaringan tersebut. “Karena saya menyukai buku terjemahan. Periplus juga bagus terjemahannya,” ujar jurnalis media ekonomi ini.
Gerai buku yang tutup di basement Blok M Square, Jakarta, 30 Agustus 2023. TEMPO/Ilona Esterina
Bagaimana dengan toko buku kecil? Sebagian masih bertahan di tengah anjloknya penjualan. Sulit mendapati pembeli saat Tempo mengunjungi lantai dasar Blok M Square, Jakarta Selatan—lokasi lebih dari 20 toko buku kecil—kemarin. Penjaga toko lebih sibuk main ponsel atau bercanda dengan sesama penjual.
Ade Irawan, penjaga Sulfi Bookstore, sedang menyusun sepuluh eksemplar buku anak yang akan dibungkus dan dikirim kepada pembeli online. Wawan—begitu ia biasa disapa—berjualan di sana sejak 2019. Waktu itu tokonya masih kerap didatangi pembeli. Sekarang, sehari, pembeli satu pun belum tentu ada. "Pernah empat hari berturut-turut tak ada yang datang," kata dia. Keberlangsungan tokonya kini bergantung pada penjualan online.
Nasib yang kurang lebih sama berlaku pada toko-toko buku kecil di Pasar Kenari, Salemba, Jakarta Pusat. Sejak 2019, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat program wisata buku. Sejumlah pelapak di Kwitang direlokasi ke sana.
Terdapat pula Toko Buku Jakbook yang dikelola pemerintah provinsi. Jakbook lumayan luas serta menjual alat kesenian, alat tulis, kertas, dan meja lipat. Menurut Irman Syah, karyawan toko, mereka juga berusaha menarik pengunjung untuk datang lewat promosi online, seperti di TikTok.
Toko buku yang menjual buku bekas dan baru di Pasar Kenari, Jakarta, 30 Agustus 2023. TEMPO/Ilona Esterina
Strategi untuk Bertahan
Ada toko buku yang mengklaim masih sering didatangi langsung oleh pembeli. Misalnya, Patjar Merah di Pos Bloc, Jakarta Pusat. Andy Waluya Wartja, penjaga toko buku tersebut, mengatakan mereka lebih menekankan penjualan buku jenis tertentu, seperti buku dari penerbitan indie. Dengan begitu, pengunjung tahu hendak membeli apa.
Toko buku kecil juga biasanya lebih mengedepankan komunikasi antara penjual dan pembeli. Penjual bisa merekomendasikan judul-judul sesuai dengan kategori yang dicari. Buku biografi tokoh pejuang, misalnya.
Seperti toko buku kecil di lantai tiga Pasar Kenari. Samsuri Ahmad, 50 tahun, penjaga toko, mengaku lebih sering menjual buku sejarah dan buku antik. Ia langsung berinisiatif menunjukkan koleksi buku sejarah saat ada pengunjung datang.
Samsuri, yang telah 13 tahun berjualan buku, merasakan betul penurunan jumlah pengunjung. Meski dia juga membuka toko online, Samsuri berharap lapaknya di Pasar Kenari tetap didatangi para pencinta buku. Sebab, kata dia, ada kepuasan sendiri saat melihat dan meraba langsung suatu buku sebelum membelinya.
Bertahan di Perubahan Zaman
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo