Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anjani melompat-lompat bersama dua kawan mainnya di halaman rumahnya di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur, Sabtu sore pekan lalu.?Lompatannya terhenti tatkala melihat sebuah sepeda motor menuju ke arah salah satu temannya. "Awaah..., awah...," katanya sedikit berteriak. Teman mainnya yang lebih besar tetap cuek, sehingga Fatin, ibu Anjani, perlu mengartikan maksud anaknya. "Awas, Kakak," ucap perempuan 20 tahun ini. Teman Anjani itu pun minggir.
Bulan ini umur Anjani genap tiga tahun. Di usianya sekarang, anak tunggal pasangan Fatin-Iskandar ini belum lancar berbicara. Hanya satu kata terucap setiap kali dia berbicara, itu pun tak sempurna. Tubuhnya terbilang mungil. Tingginya kurang dari 80 sentimeter, sedikit lebih tinggi daripada kawan mainnya yang 14 bulan. Terakhir ditimbang, berat Anjani 10 kilogram. "Itu pas sakit panas kemarin-kemarin," ujar Fatin. Padahal, saat lahir, berat Anjani normal, lebih dari 3 kilogram.
Fatin tak sadar anaknya berpotensi mengalami stunting, yakni kondisi kekurangan gizi yang membuat tubuh anak menjadi pendek. Kondisi ini sekaligus mengindikasikan otak tak mendapat asupan cukup sehingga mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Kemampuannya berbicara juga terlambat.
Selain menghambat fungsi kognitif dan perkembangan, dalam jangka pendek stunting menggerus kekebalan tubuh. Sistem pembakaran lemak juga terganggu. Nah, kombinasi semua keadaan itu bisa berdampak panjang. Misalnya, berkurangnya kemampuan pembakaran lemak akan membuat anak mudah mengalami obesitas. Akibatnya, penyakit seperti diabetes melitus siap menyerang.
Hambatan perkembangan akan membuat anak berperawakan pendek saat dewasa. Akhirnya mereka tak bisa bekerja di bidang yang membutuhkan syarat kecukupan tinggi badan. Keterlambatan ini juga berujung pada rendahnya produktivitas kerja (4 persen pada stunting sedang dan 6 persen pada anak pendek parah).
Jangan remehkan gejala stunting. Badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF, melaporkan, pada 2013, Indonesia merupakan negara nomor lima stunting terburuk di dunia. Pada tahun yang sama, Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan menyebutkan persentase stunting di Tanah Air mencapai 37,2 persen.?Artinya, satu dari tiga anak Indonesia mengalami stunting.
Salah satu faktor penyebab masalah ini adalah kurangnya asupan makanan yang bervariasi untuk anak. Penelitian dosen biostatistik di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Aria Kekalih, menyebutkan anak dari ibu yang bekerja sebagai tenaga rendahan berpotensi mengalami stunting lebih besar dibanding anak dari ibu pekerja lain atau ibu yang tak bekerja. Sebabnya, mereka tak mampu memberikan makanan bervariasi kepada si buah hati. "Mereka berpotensi menyumbang kondisi severe stunting atau sangat pendek 30 persen lebih tinggi dibanding kelompok lain," katanya.
Fatin mengakui saat ini hanya mampu memberikan makanan kepada Anjani berupa nasi, sayur seperti sup atau bayam, dan ikan atau ayam. Menu terakhir akan dihapus jika dompet Fatin dan suaminya sedang tipis.?Buah-buahan? Menu itu baru tersedia jika majikannya bermurah hati memberinya pir, anggur, atau jeruk.
Fatin saat ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan upah Rp 600 ribu per bulan. Sedangkan suaminya hanya bergaji Rp 300 ribu per minggu sebagai buruh di tempat cuci sepeda motor.
Itu sebabnya kemampuan mereka menyediakan gizi bagi Anjani sangat terbatas. Si kecil diperkenalkan dengan susu formula sejak usia empat bulan setelah tak lagi diberi air susu ibu. Ada menu tambahan, yakni berupa pisang, nasi yang dihaluskan, ditambah kuah sayur atau bubur bayi instan.
Pada usia 12 bulan, Anjani diperkenalkan dengan menu ayam dan buah-buahan selain pisang. Sedangkan menu seperti ikan baru masuk setahun belakangan. "Kalau daging sampai sekarang belum bisa. Harganya mahal," ucap Fatin.
Padahal, kata Aria, setelah anak berusia 6-23 bulan, orang tua semestinya sudah memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Makanan ini diperlukan untuk pertumbuhan si kecil yang membutuhkan lebih dari 600 kalori setiap hari. ASI hanya menghasilkan sekitar 400 kalori. Jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan ini.???
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), MP-ASI yang baik adalah makanan yang beragam. Minimal ada empat jenis makanan yang mesti dikonsumsi anak, yakni terdiri atas makanan pokok dengan kombinasi sumber protein nabati seperti kacang-kacangan, sumber protein hewani seperti daging dan ikan, produk susu, serta sayuran dan buah yang kaya vitamin A.
Namun, menurut Aria, tak banyak ibu yang memberikan makanan bervariasi seperti itu. Hal ini dialami terutama oleh ibu yang bekerja sebagai tenaga tak terampil atau buruh. "Mereka tak sanggup memberikan empat variasi makanan bahkan sampai anaknya berusia 2 tahun," ujarnya.
Variasi makanan ini penting untuk memberikan asupan energi dan gizi. Dalam penelitiannya, kekurangan makanan pendamping ASI mempengaruhi 17 persen kondisi stunting. Tapi kebanyakan ibu yang bekerja sebagai buruh atau tenaga tak terlatih tak mendapat tuntunan memberikan makanan pendamping ASI yang baik. Mereka berpendapat bubur instan sachet dari warung sudah cukup memenuhi kebutuhan gizi anak.
Bukan berarti ibu dari kelompok lain tak berisiko. Hal itu terungkap dari penelitian Aria, yang juga meneliti perempuan yang bekerja sebagai karyawan atau tenaga terlatih (tingkat menengah) dan profesional atau manajer (teratas). Penelitiannya juga membandingkan dengan kelompok ibu yang tak bekerja.
Datanya adalah sebagai berikut. Ibu yang bekerja mencakup 45-47 persen dari total ibu, 30-40 persen di antaranya bekerja di tingkat rendah. Sebanyak 53-55 persen sisanya ibu tak bekerja. Hasilnya, meski memiliki tingkat pekerjaan dan penghasilan lebih baik, tak banyak ibu yang memberikan makanan beragam seperti anjuran WHO.
Dari semua golongan itu, hanya 41-62 persen anak usia 6-23 bulan yang dicukupi kebutuhan makanan pendampingnya.?Sebanyak 13 persen anak hanya mendapat satu jenis makanan. Umumnya hanya makanan pokok dan susu. Sebanyak 12 persen di antaranya mendapatkan dua jenis kombinasi makanan pokok dan sayuran buah kaya vitamin A atau makanan pokok sumber protein hewani.?Dan sebanyak 20 persen anak hanya mendapatkan tiga kombinasi makanan, yakni makanan pokok, daging, dan sayur-sayuran.
Bahkan pada keluarga dengan status ekonomi terbaik, makanan pendamping yang komplet ini baru diberikan pada anak usia 12 bulan. Sedangkan pada keluarga dengan ekonomi menengah, diberikan saat usia anak satu setengah tahun.???
Dokter spesialis anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Damayanti R. Sjarif, menyebutkan ibu berpenghasilan cukup kebanyakan tak memahami kebutuhan gizi si kecil. Banyak ibu yang cuma memberikan pisang saat anaknya berusia 6 bulan. Alasannya, makanan inilah yang mudah dicerna.
Padahal, untuk tumbuh, anak usia 6-12 bulan membutuhkan protein yang mengandung asam amino esensial lengkap sebanyak 1,2 gram per kilogram setiap hari. Kandungan ini didapat dari sumber hewani, seperti daging sapi, ikan, ayam, telur, dan susu.?"Tapi kebanyakan makanan itu baru dikenalkan kepada anak setelah usia satu tahun," katanya.
Semua angka itu tak pernah dipelajari Fatin. Dia kini hanya punya keyakinan, meski sekarang Anjani terbilang kecil, lama-lama tinggi tubuhnya pasti akan menyalip teman-temannya. Termasuk kemampuannya berbicara kelak akan datang sendiri....
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo