Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jika Bisa Meninju, Mengapa Harus Mencubit?

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartunis Malaysia, Zulkiflee Anwar Haque, 52 tahun, atau yang akrab dipanggil Zunar, menjalani sidang pengadilan atas sembilan tuduhan pelanggaran pasal penghasutan terhadap pemerintah, Akta Penghasutan (1948), pada Selasa, 7 Juli 2015. Dia diancam hukuman penjara 43 tahun. Sebelumnya, dia ditahan atas tuduhan pelanggaran Akta Publikasi dan Penerbitan Pers Tahun 1984 (PPA 1984) dan aktif saat penangkapan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim.

Karya-karya kartunnya yang keras dianggap menyinggung pejabat pemerintah-Perdana Menteri Najib Abdul Razak dan istrinya, Datin Seri Rosmah Mansor, yang dianggap lebih berpengaruh dibanding suaminya. Tujuh buku kartunnya dilarang beredar oleh pemerintah Malaysia karena dianggap menghasut. Dukungan masyarakat internasional pun mengalir kepada penerima Human Rights Watch Hellman/Hammett Award pada 2011 ini. Amnesty International dan Jaringan Global Internasional untuk Kebebasan Berekspresi (IFEX) pun menggalang dukungan melalui kampanye pembebasan seniman ini.

Dalam sebuah diskusi "Kartun Politik di Malaysia-Indonesia" di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera di bilangan Kuningan, Jakarta, Jumat, 3 Juli 2015, kartunis ini menabalkan sikapnya sebagai kartunis yang berpihak. Seniman, menurut Zunar, senantiasa harus peka terhadap lingkungan dan masyarakatnya. Seniman paling dekat dengan masyarakat, mewakili suara rakyat, harus berani mengambil sikap, dan berada di garis depan. "Ini salah satu tanggung jawab seniman untuk berada di depan, kadang harus berkorban demi rakyat banyak," ujarnya.

Zunar tetap bertekad terus menggambar hingga tetes tinta terakhir, meski badannya dipenjara, tangannya diborgol. Seperti diekspresikan dalam karya yang menunjukkan dia melukis dengan kuas di mulutnya dengan tangan dan kaki diborgol.

Zunar menerbitkan karya pertamanya di majalah Bambino, lalu menggambar kartun editorial untuk beberapa majalah dan koran, seperti Gila-Gila dan Kisah Cinta. Di majalah Gila-Gila, mulailah dia menampilkan pesan yang politis, sinis, dan disukai pembaca. Setelah itu, dia pun menjadi kartunis di majalah Chili Padi, bagian dari Gila-Gila. Karya yang terkenal berjudul Gebang-Gebang.

Dengan semangat menyala, Zunar membeberkan perjuangannya hingga dia dihadapkan ke meja hijau oleh pemerintah Kerajaan Malaysia. Dia menceritakan bagaimana polisi menyita telepon seluler, buku, komputer, dan pelat buku komiknya. Dia pun sempat merasakan penahanan oleh polisi setempat karena buku komik yang dibuatnya. Menurut dia, saat inilah Malaysia memerlukan orang-orang yang berani di garis depan untuk reformasi.

Berikut ini petikan wawancara tim Tempo, Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti, Kurniawan, dan Nathalia Santi, dengan Zunar, yang berkunjung ke kantor Tempo.

Bagaimana awal mula kasus Anda terjadi?

Kasus ini sebenarnya bermula dari skandal terbunuhnya model Mongolia, Altantuya Shaaribuu. Sudah menjadi rahasia umum tentang keterlibatan Perdana Menteri Najib Abdul Razak dan istrinya. Ini masalah sensitif di media dan dilarang muncul di media. Tapi publik ingin tahu tentang hal itu. Maka saya sediakan kartun saya sebagai alternative media. Saya terbitkan sebuah buku kartun berjudul Gedung Kartun. Cover buku saya adalah kartun Malaysia menyambut kemerdekaan. Saya gambar Najib berteriak merdeka dengan mengibarkan bendera Mongolia. Setelah itu, delapan orang dari Kementerian Dalam Negeri mendatangi kantor saya. Polisi juga. Mereka merampas 500 buku saya. Tapi diam-diam saya terbitkan lagi meski sudah dilarang. Pemerintah bisa melarang kartun saya, tapi tidak pikiran saya.

Setelah dilarang, Anda tetap menerbitkan buku kartun lagi?

Ya, pada 2009 saya buat lima buku lagi. Saya tetap mengangkat isu yang sensitif. Antara lain isu Altantuya, Anwar Ibrahim, isu kapal selam Scorpene dan korupsi, serta istri Perdana Menteri. Pemerintah Kerajaan Malaysia secara resmi melarang lima buku kartun saya pada 2010 melalui pernyataan dan siaran pers. Dilarang karena disebut kandungannya mengancam ketenteraman awam dan mempengaruhi orang ramai untuk berusuh. Kasus ini hingga sekarang masih di mahkamah. Sudah enam tahun.

Dari mana Anda mendapatkan uang untuk menerbitkan buku?

Biaya sendiri atas bantuan dari pendukung, karena mereka sangat ingin buku kartun saya terbit. Sebelum buku terbit, saya umumkan lewat Facebook. Saya bilang di Facebook karena tak ada modal, siapa mau bantu, mau beli awal. Dengan cara begitu, banyak yang mau bantu. Misalnya ada yang sampai beli 100 buku. Pada 2011, saya terbitkan Cartoon-O-Phobia. Buku ini juga dilarang.

Pelarangan ini seperti menunjukkan negara takut pada kartun?

Ya, buku Cartoon-O-Phobia itu baru satu jam diterbitkan dan rencananya akan diluncurkan malam itu, saya juga belum mendapat bukunya, tapi polisi sudah menangkap saya. Polisi datang ke kantor saya di Kuala Lumpur dengan pakaian lengkap, membawa senapan. Pintu belakang juga ikut dijaga seolah-olah saya akan lari. Saya dibawa ke tujuh kantor polisi. Kemudian saya masuk sel. Saya dibawa ke tempat pengadilan yang jauh terpencil di Sepang, melewati kebun kelapa sawit, supaya orang sulit menjenguk saya. Pengacara saya pun tak menemukan keberadaan saya. Acara peluncuran tetap berjalan meski tanpa buku dan saya. Saya diancam hukuman tiga tahun penjara dari tuduhan pelanggaran Akta Publikasi dan Penerbitan. Saya ditahan semalam dan akhirnya dibebaskan.

Tak lama setelah penangkapan saya, percetakan di Petaling Jaya dan kantor Malaysia Kini pun digeledah. Sudah tiga percetakan diberi peringatan untuk tidak mencetak kartun saya. Toko buku pun dilarang menjual buku saya. Toko-toko buku ini tidak berani ambil risiko karena akan kena pasal juga.

Apa yang Anda lakukan?

Saya tuntut balik soal pelarangan itu pada Juli 2012, saya kalah. Saya banding. Dan di tingkat banding pada November tahun lalu, saya menang. Tiga hakim memerintahkan buku saya tak dilarang. Namun pemerintah banding ke Mahkamah Persekutuan (Mahkamah Agung). Sampai saat ini kasus saya belum selesai sidang, masih menunggu. Semula dijadwalkan Mei, tapi ditunda. Sambil menunggu sidang itu, saya terbitkan buku kartun lagi. Saya menerbitkan buku kartun tentang pengadilan Anwar Ibrahim. Polisi kembali mengganas setelah buku kartun tentang pengadilan Anwar terbit. Saya dipanggil lagi ke polisi, pembantu saya pun ditangkap. Saya lalu berjualan secara online. Tapi polisi juga mendatangi administrator yang mengendalikan penjualan online dan meminta nama para pembeli kartun saya. Saya rencanakan untuk menuntut soal ini.

Bagaimana cerita tentang ancaman 43 tahun penjara terhadap Anda itu?

Pada Januari lalu, saya ke London, diundang bicara di Oxford. Pada saat bersamaan, di Kuala Lumpur, polisi mendatangi kantor saya dan mengambil 150 buku saya. Saat pengadilan Anwar Ibrahim, 10 Februari 2015, saya mengunggah twit dan kartun yang isinya mengkritik pengadilan. Tiga jam kemudian, polisi menganggap twit saya berbahaya dan menggunakan alasan untuk menangkap saya. Saya ditangkap dua hari sebelum peluncuran buku kartun saya terbaru, Rosmah in Kangkong Land. Ini buku saya mengenai istri Najib, Datin Seri Rosmah Mansor, yang menurut saya bagaikan Maria Antoinette. Saya ditahan tiga hari. Sebanyak 500 buku disita dalam perjalanan dari penerbit. Saya berusaha terbitkan lagi, tapi mereka mengancam menangkap saya. Buku Rosmah in Kangkong Land itu pun (Zunar memperlihatkan buku tersebut kepada Tempo) hingga sekarang belum jadi diluncurkan. Pada 3 April lalu, saya disidangkan. Semula saya diberi tahu akan terkena satu tuduhan saja dan harus ada uang jaminan 5.000 ringgit. Kalau tidak dibayar, saya masuk penjara. Selang delapan jam, polisi bilang ternyata ada sembilan tuduhan terhadap saya. Artinya, mesti cari 45 ribu ringgit. Saya bingung. Harus cari di mana. Lalu saya sebarkan informasi lewat Facebook. Saya mendapat dukungan dari teman-teman, bahkan jumlahnya lebih.

Sembilan tuduhan itu apa saja?

Saya ini pemegang record di Malaysia. Tak ada orang yang pernah dituduh hingga sembilan tuduhan. Tujuannya membuat saya diam, berhenti. Kalau satu tuduhan saya bisa lolos, masih ada tuduhan lain. Kalau cuma dua-tiga tuduhan, saya masih dianggap bisa lolos. Maka mereka pakai sembilan tuduhan. Semuanya berhubungan dengan pasal penghasutan.

Anda berhubungan dengan Anwar Ibrahim?

Ya, saya berhubungan, tapi tidak dekat. Saya dukung Partai Rakyat, tapi saya bukan anggota. Untuk perubahan di Malaysia, pertama kali harus melakukan oposisi terhadap Barisan Nasional. Saya melihat Malaysia tidak ada perubahan, diperintah oleh partai yang sama selama hampir 60 tahun. Pemerintah tidak pernah melibatkan rakyat. Perdana menteri yang berkuasa, lebih kuat dari institusi. Maka korupsi merajalela.

Bagaimana tradisi kartun politik di Malaysia?

Kartunis di Malaysia rata-rata tidak melakukan kritik politik, umumnya hanya memotret hal-hal sosial, kehidupan seharian. Seperti Lat. Dia kartunis hebat. Tapi, menurut saya, dia tidak ambil sikap. Saya tidak mau, saya harus bersikap terhadap yang salah. Pemerintah takut kartun mempengaruhi anak muda. Saya memiliki banyak fan anak muda. Bahkan fan saya ada anak berusia 15 tahun. Dia sangat suka kartun-kartun saya. Bagi pemerintah, ini berbahaya karena kartun saya mempengaruhi anak muda.

Dalam kartun, Anda mendramatisasi sosok yang Anda kritik. Sosok Datin Seri Rosmah Mansor Rosmah, istri Perdana Menteri, misalnya, Anda gambarkan dengan rambut sasak tinggi, dada dan pantat besar. Apakah ini suatu ungkapan sarkasme, satir, sinisme Anda?

Lebih dari itu. Itu simbol kemarahan saya. Saya marah, tapi saya harus buat suatu simbol yang mudah direkam, diingat di pikiran pembaca. Nah, rambut, cincin, tas Birkin, orang langsung tahu itu Rosmah.

Tapi mengapa Anda kalau menggambar Najib kurang didramatisasi?

Ha-ha-ha..., karena Najib itu sendiri tidak cartoonable. Karakternya tidak cartoonable. Najib ini pendiam. Sedangkan istrinya, Rosmah, orangnya berbuat tanpa pikiran. Rosmah selalu bilang apa yang dia mau. Tapi Najib ini diam. Tak pernah buat pernyataan. Dia tak punya karakter. Jadi Rosmah lebih menginspirasi, ha-ha-ha….

Menurut Anda, kartun tidak hanya lucu?

Ya, saat membuat kartun, saya selalu melakukan riset panjang. Saya harus memastikan punya info tepat, punya data, jadi bukan fitnah. Saya harus bertanggung jawab atas kartun saya. Lucu saja bagi saya tidak cukup. Prinsip saya: why pinch when you can punch. Kalau hanya cubit-cubit itu biasa, tidak begitu keras. Itu tidak ada pukulannya. Itu tidak ada yang disalahkan. Itu tidak ada sikap. Maka kartun saya sekarang saya namakan kartun rakyat.

Bagaimana Anda memandang kartun di Indonesia sekarang?

Saya melihat, selepas zaman Soeharto, kartun-kartun agak kurang menggigit. Kurang berani. Saat Soeharto memang semua takut. Tapi, dalam kartun, misal karya G.M. Sudarta, ada dimensi kritik yang selalu mengena. Sekarang saya melihat kartun pun di Indonesia ada upaya untuk menghindari pelanggaran hukum. Tidak ada subyek yang dikritik dengan keras. l

Buku Kartun Karya Zunar, Sebagian Besar Dilarang Terbit:
Cartoon On Tun
Funny Malaysia (dilarang Terbit)
Cartoon-o-phobia (dilarang Terbit)
Even My Pen Has A Stand
Gedung Kartun (cartoon Store) (dilarang Terbit)
Perak Darul Kartun (perak, Land Of Cartoon) (dilarang Terbit)
Isu Dalam Kartun Vol. I (issues In Cartoon) (dilarang Terbit)
Isu Dalam Kartun Vol. Ii (issues In Cartoon) (dilarang Terbit)
Isu Dalam Kartun Vol. Iii (issues In Cartoon) (dilarang Terbit)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus