GEDUNG DPRD Kabupaten Pidie (Aceh) sepi sejak April lalu. Hampir
tak ada kegiatan. Ruang sidang dan kursi-kursi berdebu, karena
lama tak diduduki. "Kami tak punya kegiatan sejak 3 bulan
terakhir ini" kata seorang pejabat sekretariat badan itu. Dan
RAPBD yang sudah lama digarap Bupati Sayed Zakaria mandeg dan
menumpuk di atas mejanya.
Pemandangan hampir serupa terlihat juga di kantor bupati. Para
karyawannya lebih banyak yang datang hanya untuk mengisi absen
dan apel siang. Selebihnya mereka bebas berleha-leha. Seorang
staf Pemda mengeluh kepada TEMPO, "kalau keadaan ini berlarut
terus, mekanisme pemerintahan di daerah ini akan hancur."
Apa sebenarnya yang telah terjadi, mudah dijawab jika kesibukan
di kantor Detasemen Polisi Militer Sigli (ibukota Kabupaten
Pidie) pekan lalu diikuti secara cermat. Di sini sebuah tim dari
Banda Aceh sedang bekerja siang malam. Sejumlah anggota DPRD
Kabupaten Pidie berikut beberapa orang pejabat staf bupati
sedang diperiksa tim tersebut. Selama 8 hari terakhir ini 20
orang penting di kabupaten ini telah ditanyai tim.
"Saya ditanyai tim tentang kasus surat permintaan pengunduran
diri Bupati Sayed Zakaria," ungkap A. Madjid Rahmany (52 tahun)
anggota DPRD dari Fraksi PPP. Menurut Madjid, ia ditanyai sampai
10 jam dan menghasilkan 60 lembar kertas berita acara. "Sama
sekali saya tidak mundur dari permintaan agar Bupati Sayed
Zakaria berhenti," tutur Madjid lagi menceritakan pengakuannya
di hadapan tim, "apakah bisa dipertahankan seorang pimpinan yang
akhlaknya sudah hancur." Sementara itu 12 orang anggota DPRD
Pidie telah membuat pernyataan, "tak akan menghadiri sidang
sebelum Bupati Zakaria diganti."
Yang Ditahan
Kisah tentang Bupati Pidie belum lengkap jika tak diselusuri
dari awal. Dimulai ketika DPD Tingkat II Golkar Kabupaten Pidie
melangsungkan rapat 23 April lalu. Rapat yang diadakan dengan
sepengetahuan bupati (selaku dewan pembina) ini beracara tunggal
reorganisasi komisaris kecamatan. Hasil yang diumumkan tak ada
yang menarik. Tapi rapat-rapat selanjutnya menyusul lagi. Dan
mulai membuat Bupati Zakaria tak enak. Lebih-lebih setelah rapat
di rumah Sekwilda (waktu itu) drs. Baharuddhin Yahya selaku
Wakil Ketua DPD Golkar Pidie.
Sebab dari rumah Baharuddin ini pecah kabar, bahwa rapat itu
menghasilkan pernyataan agar Zakaria ditarik dari jabatannya
sebagai Bupati Pidie. Tapi ini dibantah Abdullah Benseh, Ketua
DPD Golkar Pidie. "Kalau pun ada pernyataan itu, datangnya dari
Fraksi Persatuan di DRPD," kata Abdullah.
Tapi lanjutan cerita itu ada. Mulamula Baharuddin Yahya dicopot
dari jabatannya sebagai Sekwilda dan dipindah ke kantor gubernur
di Banda Aceh. Selanjutnya Baharuddin diciduk Laksusda dan
sampai sekarang ditahan. Sumber TEMPO menyebut, Bupati Zakaria
menganggap Baharuddin sebagai biang kericuhan.
Sementara itu penangkapan juga berlangsung di Sigli. Awal Juni 5
orang anggota DPRD ditahan atas perintah Danres setempat, dengan
alasan PNPS No. 11/1963 (subversi). Di antara mereka yang telah
dibebaskan menyatakan rasa tak puas, karena "dengan demikian
tidak menyelesaikan masalah." Lalu akhir Juni di RTM Banda Aceh
ditahan pula Dahlan Siregar (Dansek Kota Sigli), Harun BA (Ketua
AMPI Pidie), Affan Abdullah (Wakil Ketua DPRD Pidie Fraksi PPP)
dan Azhar BA (anggota DPRD Fraksi PPP). Tapi akhir minggu lalu
sejumlah pimpinan Golkar Propinsi Aceh dipanggil Laksusda,
termasuk Diah Ibrahim, Sekretaris DPD Golkar Tingkat I dan Wakil
Ketua DPRD Aceh.
"Saya dilarang bicara tentang kasus ini, nanilah kita bicara,"
hanya itu komentar Bupati Sayed Zakaria ketika ditanya
Darmansyah dari TEMPO.
Pejabat-pejabat kabupaten maupun propinsi dan juga Laksusda
rupanya masih tutup mulut Gubernur Aceh, Madjid Ibrahim, tak
mau ditemui untuk soal ini. Sehingga apa latar belakang
sebenarnya dari keributan ini belum terungkap. Madjid Rahmany
(anggota DPRD Pidie) hanya menyebut alasan "kerusakan moral
bupati". Katanya "Tak usah saya heberkan kepada anda, cukup tahu
saja apa yang terjadi di pendopo kabupaten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini