Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan Presiden AS tahun ini dianggap yang paling kasar, kotor, dan mahal. George Bush dan John Kerry seakan susul-menyusul dalam popularitas mereka sebagaimana direkam jajak pendapat. Bush dianggap pembohong, tidak kompeten, curang, berpihak pada orang kaya, menciptakan pengangguran, melanggar asas dasar dan hak sipil dengan alasan keadaan darurat, gagal di Irak dan Afganistan, lagi pula bodoh. Sungguh ajaib, tapi Bush tetap berhasil merebut hati Amerika. Apa sebab?
Mayoritas rakyat di mana pun di dunia ini tidak suka pada perubahan, kecuali bila nasibnya menjadi lebih baik. Kebanyakan rakyat juga dirugikan oleh perubahan zaman yang diembus angin topan globalisasi. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan kehidupannya. Yang tidak dimengerti biasanya dijauhi. Biasanya yang menjauhi perubahan akan tertinggal. Biasanya juga, jika seseorang merasa ditinggalkan sejarah, ia akan merasa terasing, tidak aman, dan cenderung mencari pegangan pada masa lalu. Ia menjadi konservatif, mau yang aman-aman saja, dan menjadi religius dalam artian ritualistik.
Di Amerika orang-orang seperti ini menolak aborsi dengan alasan apa pun, dan melawan pembatasan haknya menggunakan senjata api. Mereka takut anaknya terpengaruh pergaulan eksperimental dan tergoda mencoba-coba hubungan seksual dengan orang berjenis kelamin sama. Kecemasan itu meningkat setelah orang ramai berkampanye untuk mengesahkan perkawinan laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Penelitian sel induk yang merupakan eksperimentasi genetika juga ditentang sebagai pembunuhan janin.
Sialnya, setiap ancaman yang ditakuti oleh mayoritas orang Amerika ini merupakan program kelompok progresif yang aspirasinya untuk sebagian diwakili oleh Partai Demokrat. Partai Republik mengamati hal ini dan menggunakannya untuk merebut hati mayoritas ini. Mereka berhasil. Dalam semua dewan perwakilan negeri adikuasa ini Partai Republik unggul. Di Senat hanya ada 48 senator mewakili Partai Demokrat, sedangkan Partai Republik punya 51 orang. Di Dewan Perwakilan 206 Demokrat lawan 228 dari Partai Republik. Bahkan dalam jumlah gubernur negara bagian pun Partai Republik menang.
Memang sulit membayangkan ketakutan kolektif yang melanda Amerika Serikat sejak menyaksikan runtuhnya menara kembar World Trade Center. Dalam memori kolektif masyarakat Amerika selama ini kekerasan selalu berlangsung di luar negeri, dan hampir selalu Amerika yang melakukannya, bukan orang luar. Penghancuran kota-kota Eropa, bombardemen Jerman siang-malam, eksperimen bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, semuanya di luar Amerika. Sebelas September 2001 mengubah itu semua: panorama yang biasanya tampak dari jauh tiba-tiba menyentak di jantung bisnis dan militer Amerika.
Orang Amerika berpikir kalau bisa terjadi di New York dan Washington, tentunya bisa terjadi juga di Kansas, Ohio, Wisconsin, New Mexico, dan Pennsylvania. Apakah mengunjungi orang tua, nenek, saudara, kekasih di luar kota pada Hari Buruh, Hari Natal, Hari Syukur, Hari Kemerdekaan, dan hari-hari libur lainnya aman? Apakah kereta api, pesawat terbang, atau bus greyhound aman? Apakah bekerja di kantor pencakar langit aman? Pertahanan Israel saja, yang superwaspada, secara periodik dibobol bom manusia. Ketakutan kolektif ini dimanfaatkan oleh Partai Republik dan kampanye Bush. Secara berkala diumumkan "teroris segera menyerang" untuk mengingatkan orang bahwa Amerika sedang berperang, dan bahwa komandan perangnya adalah George W. Bush.
Pada tahun 1950-an Senator Joseph McCarthy melancarkan kampanye antikomunis yang menteror orang Amerika yang dianggap lunak terhadap "bahaya merah". Kampanye itu gembos ketika kecurangan dan nepotisme McCarthy dan kaki tangannya terbongkar. Amerika lalu bercondong ke arah liberal. Partai Demokrat naik daun. Akan tetapi, tak lama kemudian "Middle America" tercengang menyaksikan protes dasa-warsa 1960 yang terkenal dengan narkoba, seks bebas, rambut panjang, jarang mandi, antiperang, anti-industri, antipolusi, dan kemajuan hak-hak perempuan. Sejak itulah kaum ekstrem kanan Amerika bangkit kembali.
Yang pertama mereka lakukan adalah memasukkan kaum liberal dalam suatu kumpulan ciri-ciri yang menjijikkan buat mentalitas kebanyakan rakyat Amerika. Kaum liberal adalah pengkhianat dalam Perang Vietnam. Mobil mereka pasti bermerek Volvo. Kaum liberal anti-industri bangsanya sendiri. Kaum liberal main paksa orang kulit putih naik bus bersama dengan orang kulit hitam, mereka takut senjata, suka mengelus-elus pohon, dan membunuh janin. Para pengkhianat Perang Vietnam moralnya plin-plan, agamanya sudah diganti dengan sekularisme. Mereka antihukuman mati dan biasa mengeloni penjahat dan perempuan, bercinta dengan pasangan berkelamin sejenis, suka makan keju dan minum anggur Prancis. Kaum liberal setuju dengan Darwin bahwa manusia adalah satu keturunan dengan monyet.
Dalam suatu pengumpulan pendapat baru-baru ini, kepada suatu sampel masyarakat Amerika, ditanyakan asal-usul manusia, ciptaan Tuhan atau hasil evolusi. Jawaban mereka dalam proporsi 2 lawan 1 adalah: Ciptaan Tuhan! Kaum liberal atau orang Amerika yang progresif dianggap bermusuhan dengan nilai-nilai moral rakyat yang patriotik dan bertakwa kepada Tuhan. Stereotip ini diembus-embuskan tiada hentinya. Kubu agama, baik Katolik maupun Evangelikal, berbaris di belakang Bush.
Partai Republik dikenal sebagai organisasi yang pandai memobilisasi massa dan pendapat umum. Uangnya banyak karena industri Amerika memberikan dukungan finansial kepada setiap kampanye Partai. Bush antigerakan penyelamatan lingkungan hidup guna melindungi industri dari pengeluaran biaya besar untuk melestarikan lingkungan di lokasi operasi mereka. Bahkan dalam undang-undang sekuriti dalam negeri diam-diam diselipkan pasal yang menghalangi orang menuntut ke pengadilan perusahaan kimia yang mencemari lingkungan hidup. Penghapusan dan pengurangan pajak lebih menguntungkan perusahaan besar dan orang kaya ketimbang masyarakat umum. Bush menyebut dunia bisnis dan industri Amerika sebagai basis elektoratnya.
Menghadapi buldoser kampanye dan ofensif perang persepsi benteng George Bush, barisan Partai Demokrat dipaksa mengambil posisi defensif. Mereka nyaris kehilangan inisiatif, dan mungkin kehabisan dana. Pada saat penulisan karangan ini, belum pasti siapa yang menang. Namun dapat dikatakan bahwa dunia lebih suka pada John Kerry, sedangkan Amerika condong ke George Bush. Kenyataan ini tidak bisa diabaikan oleh kedua partai Amerika tersebut. Partai Demokrat akan bergeser ke kanan. Partai Republik akan terus memojokkan orang yang prolingkungan hidup, antiperang, kaum cerdik-pandai, dan perempuan. Seperti di Indonesia, kata "liberal" di Amerika sudah menjadi kata yang kotor, jorok.
Dalam komposisi keadaan seperti itu, apa dampak kemenangan Bush atau Kerry buat Indonesia? Tidak banyak, sama saja dan tidak menggembirakan. Barangkali desakan penegakan hak asasi lebih kuat sedikit bila yang menang adalah Kerry, walaupun tetap diimbangi perang antiteror. Partai Republik lebih berat ke sektor sekuriti ketimbang hak sipil. Terhadap TNI kebijakan Republik atau Demokrat akan kurang-lebih sama. Partai yang lebih benci TNI harus berhadapan dengan partai yang suka perang, dan oleh karena itu lebih toleran terhadap sepak terjang militer. Faktor yang patut dipertimbangkan di sini adalah pengaruh yang cukup kuat dari lobi LSM internasional terhadap Kongres Amerika. Lagi pula, minoritas Demokrat di Kongres Amerika juga tidak boleh kita abaikan.
Dalam politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah saya tidak melihat perubahan yang berarti bila Kerry terpilih sebagai presiden. Kebijakan Amerika sejak dulu bertujuan memperkuat Israel, dan mentolerir negara-negara Arab sejauh tidak bermusuhan terhadap Israel. Orang Palestina berpendapat bahwa setelah Afganistan dan Irak, akan tiba giliran Suriah. Sekarang saja sudah dikenai sanksi ekonomi. Baru setelah itu Iran yang akan dihajar. Dampak kebijakan seperti itu buat Indonesia sudah bisa diramalkan. Masalah Palestina bukan sekadar problem Islam di dalam negeri. Palestina telah menciptakan front persatuan yang besar dan rapat dalam masyarakat Indonesia. Semua pihak sakit hati menyaksikan apa yang terjadi di sana.
Goh Chok Tong baru-baru ini menyatakan dalam suatu konferensi keamanan, ketika ia masih menjabat Perdana Menteri Singapura, bahwa politik pilih kasih Amerika dalam konflik Palestina-Israel telah menyebarluaskan teror ke seluruh dunia. Kebijakan Amerika Serikat yang sinambung ini, apakah Partai Republik atau Demokrat yang memerintah, akan memperuncing radikalisme laten di kalangan Islam di Indonesia, dan membuat negeri kita lebih terbuka bagi terorisme.
Saya juga tidak bisa membayangkan perubahan dalam sikap proteksionis Amerika di bidang perdagangan. Menteri Mari Pangestu hendaknya siap-siap untuk dipelintir tangannya oleh pejabat perdagangan AS. Kita harus siap digiring keluar dari forum multilateral, dan dimasukkan ke sel perundingan bilateral dengan Amerika. Dalam pertemuan empat mata kita lebih gampang dipaksa, diancam, dan dibujuk agar setuju melindungi kepentingan perusahaan raksasa Amerika bila mereka beroperasi di Indonesia. Sebaliknya Amerika akan terus menggunakan berbagai mekanisme perjanjian WTO untuk menghambat ekspor Indonesia yang "terlalu" sukses menembus pasaran negara itu.
Mari kita bersiap-siap menghadapi gelombang pasang dari istana raja dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo