Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tidak terasa mengganjal, tapi... tidak terasa mengganjal, tapi...

Perut hartantyo selama 16 tahun menyimpan penjepit pembuluh darah ketika ia dioperasi limpanya. semula aman, belakangan demam dan ngilu. akhirnya bisa dikeluarkan setelah melalui operasi baru.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TARTANTYO selama 16 tahun "mengantungi" alat penjepit pembuluh darah bukan dalam saku baju atau celana, tapi di dalam perutnya. Aneh, memang, tapi itu dialami bapak berusia 46 tahun yang menjabat Kapolwiltabes Surabaya ini. Benda sepanjang 22 sentimeter itu baru dikeluarkan dari "saku"-nya setelah timbul gejala demam dan ngilu. Syukurlah, tim bedah RS Budi Mulya, Surabaya, tidak menemui kesulitan mencabut benda yang nongkrong di perut kolonel polisi itu. Tapi bagaimana benda itu nyelonong ke situ? Arkian, tahun 1971, bapak yang berwajah ceria ini lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dengan pangkat kapten. Saat itu terasa limpanya sakit. Sebuah tim dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang dipimpin ahli bedah Dokter Syamsu Hidayat, sepakat untuk mengadakan operasi. Berlangsung 5,5 jam, operasi itu berjalan mulus. Dan limpa Hartantyo tak rewel lagi. Tapi, tim dokter saat itu sempat terhenyak. Pasalnya, alat penjepit pembuluh darah -- di dalam ilmu kedokteran biasa disebut clamp -- yang digunakan ketika itu, ternyata kurang satu. Tak syak lagi, benda itu tentulah tertinggal dalam perut Hartantyo. Ini tak disangkal Dokter Syamsu Hidayat, yang ditemui TEMPO di ruang kerjanya Jumat pekan lalu. Seperti yang diungkapkannya kepada harian Jawa Pos, dokter yang sekarang menjabat Kepala Bagian Bedah RSCM ini mengakui keteledorannya. Ia tak merasa resah karena tak lama setelah operasi hal itu diberitahukannya secara jujur pada Hartantyo. "Saya lupa kapan persisnya, tapi sudah saya beri tahukan hal itu padanya. Saya sendiri pernah menyarankan agar dia dioperasi sekali lagi untuk mengambil alat yang tertinggal itu," kata Syamsu Hidayat. Usul ini ditolak Hartantyo. Diakui oleh dr. Syamsu bahwa ia tidak bersikeras agar operasi pengambilan dilakukan. Alasannya, benda itu tak akan membahayakan pasien. Clamp bersifat inert, artinya tak akan menimbulkan reaksi pada jaringan sekitarnya. Di samping antikarat, alat itu juga steril, sehingga dapat bertahan sepanjang usia orang yang bersangkutan. Perhitungan Dokter Syamsu meleset. Setelah 16 tahun penjepit pembuluh darah ini bertengger di perut Hartantyo, kesehatannya mulai terganggu. Badan sering panas dingin, bagian perut terasa ngilu. Semula Hartantyo tak curiga bahwa gejala itu timbul karena clamp. Setelah diperiksa dengan foto ronsen di RS Dr. Soetomo, Surabaya, baru diketahui bahwa ada logam bersemayam di lambung dan salah satu ujungnya berkarat, sementara ujung yang lain sudah terbungkus lemak. Dokter menyarankan supaya segera dioperasi, dan kali ini Hartantyo tak menolak. Dilakukan 19 Agustus lalu, operasi berhasil mengeluarkan clamp tanpa komplikasi. Toh penderita sendiri tak habis heran mengapa selama 16 tahun ia tak merasa adanya ganjalan dalam tubuh. "Saya juga heran, sudah berkali-kali ke luar negeri kok selalu lolos pemeriksaan di setiap bandara udara. Padahal, kalau di badan ada logam 'kan seharusnya detektor berbunyi," seloroh Hartantyo, yang disambut ketawa oleh keluarga yang saat itu sedang bezuk. Rasa heran tak berhenti sampai di situ. Selama penjepit masih di perut, Hartantyo tak terhalang berolah raga: sepak bola, tenis, malah kadang-kadang koprol. "Kalau menonjok usus, bagaimana ceritanya?" ujarnya ngeri. Menurut dr. Abdus Syukur, ahli bedah RS Dr. Soetomo yang memimpin operasi pengambilan elamp, secara prinsip benda yang tak sengaja tertinggal di dalam perut harus dikeluarkan, kendati tubuh mempunyai jaringan pelindung. Jaringan omentum namanya, yang merupakan mekanisme tubuh yang secara otomatis melindungi organ-organ tubuh terhadap benda asing. "Omentum itu bergerak otomatis, memblokade benda asing yang masuk ke tubuh tanpa diundang,"ujar dr. Soetrisno, juru bicara tim bedah. Omentum, kata ahli bedah RS Dr. Soetomo ini, mirip lemak yang bercampur pembuluh darah dan jaringan ikat. Jika ada benda asing, jaringan ini tanpa diperintah menyelimuti benda itu. Kehadiran benda tajam semacam clamp karena tekanan -- memungkinkan terjadinya kematian jaringan tubuh. Di samping itu, ia dapat merusakkan organ tubuh yang lain, usus misalnya. Lubang yang diakibatkannya akan mengotori rongga perut dan selanjutnya dapat menimbulkan infeksi. "Akan menyebabkan kematian, jika tak cepat ditangani," kata dr. Soetrisno. Jika keteledoran ini berakibat fatal bagi pasien, jelas dokter tak bisa melepaskan tanggung jawab. Lalu apakah kasus yang menimpa Hartantyo itu malapraktek? "Selama pasien tak menggugat, masalah itu tidak dapat dipastikan malapraktek atau bukan," jawab dr. Kartono Mohamad, Ketua Umum IDI, pada TEMPO. Menentukan sesuatu malapraktek, menurut Kartono, apalagi bila diangkat sebagai kasus hukum, tidaklah mudah. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang teliti. Jika si pasien tak menggugat, maka pemeriksaan tak dapat dilakukan. Kendati dalam kasus Hartantyo sekilas kelihatan dokternya yang salah, kesimpulan pasti tak segera bisa ditarik. Masih terdapat banyak kemungkinan yang bisa membangun kesimpulan sebaliknya, yakni bahwa kasus itu bukan malapraktek. Namun, Ketua IDI itu mengakui, akhir-akhir ini secara umum ada kenaikan persentase malapraktek. Sebab utamanya mungkin karena terlampau banyak pasien yang ditangani. "Bila tak sanggup, para dokter harusnya membatasi diri," ujar Kartono. Di samping itu, hubungan dokter pasien, dari sisi administrasi (menyangkut pencatatan kartu kesehatan) dan hubungan manusiawi, belakangan terasa semakin kurang. Semua keadaan ini, secara teoretis, potensial dalam menimbulkan terjadinya malapraktek. Hartantyo sendiri tak bermaksud menuntut dokter yang telah berbuat teledor pada dirinya itu. Bukan karena takut kasusnya kandas, tapi ia merasa berutang budi. "Saya tak akan menyalahkan siapa pun. Mereka telah berjasa, berhasil menyembuhkan penyakit pada limpa saya. Saya yakin, mereka tak ada niat untuk meninggalkan benda itu di dalam perut saya," katanya datar. Gatot Triyanto, Laporan Budiono Darsono (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus