Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lain hulu, lain hilir, lain ...

Kerangka landasan industri nasional, konon, mulai di letakkan sejak awal pelita iv. tidak hanya dikembangkan dari teori, tetapi dipadukan dengan praktek & diuji di lapangan. yang penting harus sejalan.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RODA industri makin kencang berputar. Sedikit demi sedikit mulai menggelinding menuju struktur industri yang mendalam dan kompak. Di bidang kimia dasar, contohnya, belum lama ini PT Indonesia First Synthetic Rubber, PT Kodel, PT Pupuk Kujang, sepakat memproduksi styrene butadine rubber, karet sintetis, sekitar lima tahun mendatang. Sebelumnya, sudah ada nylon tyre cord yang diproduksi PT Branta Mulia sejak dua tahun lalu. Memang belum sampai ke industri yang lebih dalam. Misalnya memproduksi styrene, bahan baku karet sintetis itu, maupun untuk pita kaset, yang harganya melambung hampir 200% dalam enam bulan ini. Rupanya, belum ada yang berminat. Tapi "pendalaman struktur industri" seperti itu tengah diupayakan setengah mati oleh Menteri Perindustrian Hartarto. Di berbagai kesempatan, Hartarto mencoba menunjukkan arah ke mana industri nasional harus menuju. Kerangka landasan industri nasional, konon, mulai diletakkan sejak awal Pelita IV. "Tidak hanya dikembangkan dari teori, tetapi dipadukan dengan praktek, dan diuji di lapangan," kata Menteri Hartarto dalam wawancara khusus dengan TEMPO (lihat Terima Kasih, Sasta). Lidah memang tidak bertulang. Tapi apa yang dinyatakan Menteri Hartarto barusan sungguh sudah dimulai dengan studi nasional terhadap hampir semua komoditi industri strategis. Kecuali beberapa, yang memang dilepaskan, seperti industri minuman kecap, atau es, yang oleh Menteri perjalanan nasibnya diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Dari situlah dicoba disusun apa yang disebut "Kerangka Landasan Industri Nasional" agar -- dalam tahap tinggal landas sektor perindustrian diharapkan mampu tumbuh dan berkembang mantap. Sejak tiga tahun lalu, sudah terasa, pertumbuhan industri nasional sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional: 6,1%. Padahal, sebelumnya, di kala pertumbuhan ekonomi 4,2% pada tahun 1983, pertumbuhan industri cuma 2,2%. Bahkan ketika pertumbuhan ekonomi merosot tinggal 1,9% pada 1985, sektor industri malah tumbuh sedikit menjadi 6,2%. Pertumbuhan itu, menurut Menteri Perindustrian, erat hubungannya dengan keberhasilan perindustrian dalam proses restrukturisasi modal (terutama mesin). Juga karena usaha meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan manajemen. Angka-angka boleh bicara, tapi keluhan akibat benturan resesi tidak kurang pula tajam gemanya. Justru dalam keadaan ekonomi berat seperti itu, kata Hartarto, kerangka landasan yang diangkat dari pengalaman selama sekian tahun itu dilancarkan secara operasional. Langkah strategis utama adalah meletakkan pola pengembangan industri nasional sehingga tercipta iklim yang mampu mendorong kreativitas masyarakat dan meningkatkan gairah usaha. "Ini yang penting," ujar Hartarto, bersemangat. Hasilnya? Tentu tidak hanya diukur dari berapa jumlah pabrik yang dibangun. Bila diukur dengan nilai penjualannya, misalnya, tahun lalu peranan swasta dan koperasi mencapai sekitar 94% (selebihnya BUMN). Pun bila nilai investasi menjadi ukuran, peranan swasta mecapai sekitar 77% dari hampir Rp 7 trilyun untuk semua proyek kelompok industri di lingkungan Departemen Perindustrian, yang sedang dilaksanakan dan akan selesai antara 1987 dan 1991. Kalau industri-industri berskala besar itu berjalan mulus -- dengan pengertian produksinya bisa bersaing di pasar internasional -- boleh diharapkan bahwa devisa dapat dihemat lebih dari 1 milyar dolar AS per tahun. Pengembangan industri tersebut tentu harus dibarengi pula dengan usaha meningkatkan efisiensi, memanfaatkan kapasitas nasional terpasang, dan meningkatkan nilai tambah. Landasan hukum, sebagai penunjangnya, juga diletakkan agar investor bisa tenang dan nyaman berusaha. Selain itu menurut Hartarto, perlu ditegaskan juga kebijaksanaan pengelompokan industri: meliputi kelompok industri dasar (industri mesin & logam dasar serta industri kimia dasar), kelompok hilir (aneka industri), dan industri kecil. Slogan "padat karya" akhirnya memang sulit dipertahankan dalam sebuah industri yang menuntut kecanggihan teknologi. Tapi tak usah cemas. Secara umum, tenaga kerja yang diserap sektor industri tetap memadai -- terutama di sektor industri kecil. Angka tahun 1985, sebagai gambaran, menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap sektor industri mencapai 630.000 orang lebih (meningkat 79,6% dibandingkan tahun sebelumnya). Gustav F. Papanek, Direktur Center for Asean Development Studies dari Boston University, yang dianggap kenal betul dengan soal-soal ekonomi di sini, mengingatkan bahwa Indonesia tetap perlu menyiapkan lapangan kerja untuk dua juta jiwa tiap tahunnya. "Itu tidak dapat dicapai hanya dengan memproduksi barang yang diserap pasar di dalam negeri," katanya kepada TEMPO, pekan lalu di Jakarta. Indonesia, menurut Papanek, mesti mengekspor barang-barang hasil kerja pabnk yang menyerap banyak tenaga kerja. Hampir semua barang substitusi impor sudah diproduksi. Terus, sedikit demi sedikit dapat digeser ke industri yang benarbenar menyerap tenaga kerja, yang sekaligus lebih canggih dan membutuhkan keterampilan. Masih menurut pikiran Papanek, penyunting buku The Indonesian Economy, meski dalam situasi yang serba proteksi di sana-sini, ekspor masih bisa digalakkan. Sebab, pada saat ini yang dibentengi masih terbatas pada beberapa sektor. Tahun lalu saja, ia memberi contoh, ekspor barang-barang industri Korea meningkat hampir 10 milyar dolar dari32 milyar dolar. Sementara itu, nilai ekspor Indonesia -- selain migas -- hanya sekitar 3 milyar dolar. "Mengapa Indonesia tidak bisa meningkatkan satu sampai dua milyar dolar?" katanya. Apa peluangnya? Lho, kata Papanek, Amerika 'kan paling-paling membatasi impor pakaian jadi dan sebagian tekstil saja. Sepatu dan mainan anak-anak tak terlalu dibatasi di sana. Juga sebagian barang-barang elektronik. Benar adanya. Ekspor barang-barang semua produk industri, dari Januari sampai dengan Mei tahun ini, tercatat hampir US$ 2,1 milyar -- naik 13,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penyumbang angka tersebut tercatat dari lonjakan tinggi ekspor ban, kertas, dan produk industri kimia organik. Juga sumbangan dari kelompok aneka industri peralatan listrik dan logam: volumenya meningkat sampai 150% lebih (dari sekitar 2.500 ton) dan nilainya melonjak lebih dari 162% (dari 3,6 juta dolar lebih). Di antara komoditi mesin dan logam dasar, yaitu kapal dan bangunan lepas pantai, volumenya meningkat sampai lebih dari 2.000% (dari hampir 185 ton) dan nilainya, ohoo, melompat ke atas sampai 4.100% lebih (dari mendekati 125 ribu dolar). Ekspor barang industri aneka kerajinan dan umum saja volumenya meningkat sampai 90,1% (dari hampir 44.000 ton) dan nilainya juga meningkat sampai hampir 120% (dari sekitar 3,5 juta dolar). "Yang lonjakannya besar-besar itu menjadi andalan industri kita," kata Hartarto. Dan benar pula apa yang dikatakan Papanek bahwa industri harus berorientasi pada pasar ekspor. Coba, siapa tidak merasa miris melihat nasib hasil industri sejenis pipa yang disebut seamless. Ketika musimnya orang ramai mengebor minyak, antara 1983 dan 1985, jenis pipa itu memang dibutuhkan sampai 140 ribu ton per tahun. Tapi menurut Dali Sofari, Direktur Utama PT Citra Tubindo, kebutuhan nasional kini tinggal 30.000 ton -- itu pun hanya 60% yang dipasok dari dalam negeri. Padahal, kapasiitas terpasang industri itu di Batam mencapai 170.000 ton. Citra Tubindo sendiri, dengan kapasitas 70.000 ton, rupanya tak bisa berbuat banyak. Barang yang sama dari Jepang ternyata bisa merembes dan menguasai pangsa sampai 40%, dengan harga 10% di bawah pasaran. Pengusaha yang berani terjun ke industri canggih seperti itu, tampaknya, untuk sementara memang harus menelan pil pahit dulu. Perkiraan-perkiraan jangka panjang melihat kemungkinan kebutuhan nasional yang meningkat -- boleh jadi memang menarik dan sekaligus menyesatkan. Dari situlah mulai munculnya perdebatan: membangun industri hulu atau hilir lebih dulu. Papanek mencoba menengahi: Indonesia butuh kedua-duanya. Tapi banyak orang berpandangan bahwa sangat berlebih-lebihan untuk mengembangkan industri berteknologi tinggi (kebanyakan di hulu) yang terus-menerus disubsidi dan tidak menyerap banyak tenaga kerja. Kalau soal subsidi untuk mengembangkan jenis industri tertentu, menurut Papanek, sebenarnya itu biasa. Departemen Pertahanan Amerika pun melakukan hal yang sama ketika hendak melawan Jepang dalam bersaing menemukan microchips baru. Namun, "Yang diperlukan adalah industri yang kompetitif. Tak jadi soal apakah berteknologi tinggi atau rendah, untuk substitusi impor atau menggalakkan ekspor, dalam industri barang konsumtif atau barang modal," ujarnya. Banyak industri teknologi tinggi yang bisa dikembangkan di sini dengan bahan baku dari dalam negeri. Mulai dari mengolak karet, minyak kelapa sawit, sampai mengembangkan teknologi mesin jahit. Tapi Papanek belum melihat kemungkinan haik dalam industri mobil. "Lebih baik mengawali dengan industri suku cadangnya," katanya. Sebab, banyak pekerjaan di situ yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Korea pun melakukan hal itu sebelum sampai memproduksi mobil sendiri. Lebih baik beranjak sedikit demi sedikit. Sebab, dua juta angkatan kerja adalah jumlah yang bisa membuat miris juga. Salah-salah, seperti kata Papanek, "Akibatnya akan Iterjadi tekanan sosial bukan kepalang." Menteri Hartarto sama pandangannya dengan Papanek dalam melihat soal industri hulu atau hilir: perlu dilihat per komoditi. "Tidak bisa disamaratakan, karena binatangnya lain-lain," katanya. Mengenai teknologi, kata Hartarto lagi, kalau memang belum mampu, 'kan bisa mulai dengan membeli lisensi. Begitu pula dalam penelitian dan pengembangan. "Sebab, litbang kita masih lemah," ujarnya. Meningkatkan kemampuan teknologi dan menguasainya, termasuk alih teknologi, memang dapat membangun tubuh industri yang di sana-sini masih banyak bolong. Soalnya: perlu kesepakatan nasional -- yang tertuang dalam GBHN dan praktek-praktek yang konsekuen. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus