SEMUA ini karena firman Tuhan," kata seorang wanita yang ikut jemaah Tubuh Kristus (TK). Ia menetap di Bintaro Jaya. Dulu, wanita itu senang bergincu. Kini tak lagi berkalung, menolak beranting-anting. Rambut sengaja tak diurus, bahkan tidak blow. Jemaah TK kini emoh berolah raga, mengelak makan di restoran, mengharamkan video dan bioskop, menampik nonton televisi -- kecuali Dunia dalam Berita. Mereka membakar benda-benda yang bergambar atau berukir naga dan ular. Katanya, ltu meniru hewan melata yang pernah menggoda Adam di surga, jelas setan. Di hari tertentu, mereka (tanpa kecuali anak-anaknya) berpuasa sepanjang suntuk dan beritual sedikitnya tiga kali sehari. Baptisnya: tubuh dibenamkan ke dalam air, bukan sekadar diperciki. Yang dibaptis begitu kemudian disebut "sudah satu tubuh dengan Kristus". Artinya, sama sederajat tiada ras, tiada kelas sosial. Lalu, silakan hidup bersama, dalam "komune". Dalam kebersamaan itu, tak lagi dikenal milik pribadi. Bahkan, di antara mereka, tak ada pimpinan. Seorang nyonya muda membantah. Jemaah TK tak benar berpraktek seks bebas dan bohong jika disebut mau bunuh diri masal. "Kami tak percaya pada hari kiamat. Kami percaya pada berita akhir zaman, kelak Kristus akan datang kedua kalinya ke dunia," kata ibu dua anak itu. Jemaah TK, katanya sudah seribu, agaknya berupaya menghayati dan melaksanakan firman yang dirangkum Alkitab: utuh dan rinci. Mereka menafsirkan ayat atau istilah, bahkan wungkul alias mentah-mentah. Mereka menggunakan Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, 1977. Pekan lalu, di antara 30 jemaah TK itu diperiksa di Polres Jakarta Selatan. Mereka melakukan kebaktian di sebuah rumah gedung di Jatipadang. Polisi tidak menahan mereka, walau sebelumnya dicurigai menganut "aliran sesat". Ritualnya memang unik. Ada dua pemetik gitar. Ada yang menyanyikan lagu gembira, berjingkrak-jingkrak seperti kastanyet, menadah tangan, bersujud, menyungkur ke lantai. Tapi itu adalah salah satu cara menafsir ayat Alkitab. Harap maklum, sekali lagi, muliakanlah Allah dengan tubuhmu. Bahkan Raja Daud memuji Allah dengan melompat, menari sekuat tenaga, dengan iringan bunyi-bunyian -- seperti dikutip dalam I Korintus 6:19-20. Atau, dari Maleakhi (4:2), Berjingkrak seperti anak lembu lepas kandang. Kebaktian model begitu, rupanya, sebagai bentuk lain "menerjemahkan" ayat Alkitab. Misalnya, kenapa ada tengadah tangan (Yesaya 1:15), berlutut dan bersujud (Nehem 8:7)? sujud dengan muka mencapai tanah (Kejadian 18:1,2), tubuh tersungkur (Wahyu 4:10). Dan jemaah wanita, "Menyerahkan anting-anting untuk dihancurkan" (Kejadian 35:1-7). Dan "Jangan memakai emas, mutiara, atau pakaian yang mahal" (Timotius 2:9-10). Jemaah di Jatipadang itu sebelumnya berinduk pada Yayasan Pekabaran Injil Sepenuh (YPIS) Victory -- kemudian berlindung ke Yayasan Pekabaran Injil Alfa-Omega, 1971, di Manado. Pada 1975 didaftar ke Ditjen Bimas Kristen Protestan Departemen Agama, Nomor E/VII/25/99/75. Selain persekutuan doa, pengikut TK itu, kata Eko Pudjiono, tak bermaksud mendirikan agama baru. Bukan pula menyaingi organisasi gereja yang sudah ada, atau merebut jemaah lain agar ikut jemaah TK. Keikutsertaan jemaah ini, syahdan, bukan untuk jadi "anggota organisasi dunia", walau ada yang berasal dari Katolik, Protestan, Advent. Munculnya TK, menurut Eko Pudjiono pendeta yang aktif di Jatipadang itu sebagai reaksi atas kekakuan organisasi gereja. Mereka menghimpun semua orang, dari aliran apa pun, karena Kristus adalah kepala, dan jemaah adalah tubuhnya (Ef. 1:22,23). Eko Pudjiono, mengutip buku Riwayat YPIS, menyebut jemaahnya karismatik. Tetapi aliran karismatik seperti Saksi Yehovah -- sejak 1970-an sebenarnya sudah dilarang. Menurut Soenarto Martowirjono, Dirjen Bimas Kristen Protestan Departemen Agama, di dalam sejarah gereja tak pernah ada gereja yang namanya "Tubuh Kritus". Juga di Indonesia. "Mereka belum pernah mendaftar dan bagaimana atau apa maunya aliran itu. Syukur kalau sudah diamankan, supaya bisa diteliti," katanya. Sementara itu, Dr. Fridolin Ukur, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), menilai bahwa mungkin keadaan ekonomi kita yang dewasa ini semakin sulit menyebabkan jemaah mudah terbujuk oleh suatu ajaran yang "menghibur" dan menjanjikan dapat membebaskan mereka dari penderitaan. "Meskipun kitab suci mereka sama dengan kitab suci umat Kristen yang lain, cara penafsiran mereka berbeda," katanya. Di belakang TK itu memang Eko Pudjiono. Ia pernah kuliah di Sekolah Tinggi Teologia Duta Wacana, Yogya, tahun 60-an -- tak sampai sarjana muda. Setelah kependetaannya diteguhkan, 1977, ia bertugas di GKI Wonosobo, Jawa Tengah. Lalu dikirim ke Pontianak, tiga tahun, dan kembali jadi pendeta di GKI Parakan, Ja-Teng. Ketika di Parakan ia sering menulis di buletin Surat Gembala. Dalam menafsirkan Alkitab, ia berkesimpulan: kiamat akan datang beberapa tahun mendatang. Ia juga melakukan praktek penyembuhan dan percaya pada. kekuatan magis. Karena pendapatnya yang aneh-aneh itu, Jemaah gerejanya pecah, hingga berbuntut ke sidang klasis di Magelang. Dalam sidang di Banjarnegara, Juli 1984, Eko diskors. Sebulan kemudian, Eko dipecat sebagai pendeta. Setelah itu ia hijrah ke Manado. Di sini ia menikah dengan Nelly. Menurut Pendeta Paulus Sardjono, Sekretaris Umum Sinode GKI Ja-Teng, Eko, yang tergiur pada karisma dan suka menyembuhkan orang sakit itu, menggabungkan ritual keagamaan dengan mistik tradisional Jawa. Laporan Biro Jakarta & Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini