Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tips Kesehatan

2 November 2003 | 00.00 WIB

Tips Kesehatan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Puasa dan Sakit Mag Keluhan sakit mag tidak selalu pas menjadi alasan meninggalkan puasa. Penelitian di Paris belum lama ini mematahkan mitos lama bahwa menahan lapar selalu berbahaya. Penelitian itu dilakukan terhadap 14 relawan. Mereka diminta puasa 14 jam per hari. Dua minggu pertama, asam lambung atau pepsin mereka meningkat. Tapi ini tidak terjadi lama. Setelah rutin puasa, asam lambung kembali normal. Pada 2001, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, pernah ada penelitian serupa. Saat itu ada 7.000 penderita sakit mag yang berobat. Sekitar 86 persen tergolong penderita fungsional Iringan. Setelah melewati Ramadan, keluhan para penderita ternyata berkurang. Ari Fahrial Syam, ahli penyakit dalam dari RSCM, mengatakan aman-tidaknya penderita sakit mag puasa bergantung pada jenis sakit mag dan kondisi kesehatannya. Ada dua jenis sakit mag yang perlu diketahui: dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Dispepsia fungsional terjadi karena kelainan minimal. Selama terkontrol, jenis ini tidak berbahaya. Sedangkan dispepsia organik terjadi karena kerusakan organ pencernaan. Gejalanya antara lain keluar kotoran berwarna kehitaman, penurunan berat badan secara drastis, atau wajah yang memucat. Selama puasa, penderita sakit mag disarani mengikuti pola makan 40 : 50 : 10. Artinya, 40 persen menu seimbang saat sahur, 50 persen saat berbuka, dan 10 persen saat selesai tarawih di malam hari. Sewaktu makan, penderita sakit mag disarani menghindari makanan yang terlalu banyak mengandung gas dan serat (sawi, kol, nangka, dan pisang ambon), minuman yang merangsang asam lambung (kopi, minuman beralkohol 5-20 persen, minuman bersoda, dan susu), makanan berlemak yang mempercepat pengosongan lambung (kue tart, cokelat, dan keju), makanan yang merusak dinding lambung (cuka, makanan pedas, merica, atau bumbu perangsang), dan menu yang melemahkan klep kerongkongan bawah (alkohol dan makanan berlemak).

Bebas Rokok Setelah Lebaran Pecandu rokok yang puasa punya kesempatan menghentikan kebiasaan buruknya. Network of Islamic Action Against Tobacco (NIAAT) mengajak mereka berhenti merokok dengan memanfaatkan Ramadan. Saat puasa, orang berhenti merokok sekitar 14 jam. Padahal, di luar bulan puasa, banyak orang mengeluh tak bisa bekerja jika paginya tak sempat merokok. "Setelah Lebaran, orang tinggal meneruskan kebiasaan itu," ujar Tjandra Y. Aditama, dokter ahli paru-paru yang juga anggota NIATT. Bukti ilmiah menyebutkan rokok menjadi pemicu 25 macam penyakit di tubuh manusia. Meski belum ada penelitian, Tjandra yakin merokok di bulan puasa lebih banyak kerugiannya. Saat makan sahur, orang mestinya membekali diri dengan makanan yang sehat, agar punya cadangan energi untuk esok harinya. Demikian pula saat buka puasa, orang perlu makanan sehat setelah seharian mengosongkan perutnya. Berhenti merokok perlu motivasi sangat kuat. Kalau tidak tahan, Tjandra menawarkan sejumlah trik. Begitu hasrat merokok tiba, pecandu disarani mandi dengan shower. "Ibarat orang marah. Dengan mandi, amarahnya bisa reda," ujar Tjandra. Kalau masih tidak tahan, pecandu disarani mengambil sebatang rokok tapi jangan menyalakannya. Pegang saja. Saat itu, bisikkan dalam hati, "Boleh saja merokok, tapi tidak sekarang." Ini disebut delay tactictaktik menunda-nunda. Biasanya, kata Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, itu, setelah lewat setengah jam, keinginan merokok hilang.

Puasa dan Diabetes Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang tidak bisa sembuh, tapi bisa dikendalikan. Pradana Soewondo, pakar endokrin dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan puasa sekitar 12 jam tidak terlalu mengganggu kesehatan penderita diabetes, dengan catatan kadar glukosa darah penderita tetap terkontrol. Pradana merujuk pada penelitian tahun 1997-1998. Saat itu observasi dilakukan terhadap 23 pasien diabetes. Kadar glukosa pasien dikendalikan obat hipoglikemik oral (OHO) sulfonilurea dosis tunggal. Sebelum puasa, pasien mendapat panduan pola makan dan jadwal minum obat. Pasien juga dibekali alat glukometer untuk pemeriksaan sendiri glukosa darahnya. Berat badan, glukosa darah, dan asupan nutrisi pasien diperiksa rutin. Hasilnya, puasa tak memperburuk kesehatan. Beberapa pasien bahkan menunjukkan perbaikan kadar glukosa darah serta penurunan berat badan. Pasien yang punya ketergantungan tinggi terhadap insulin disarani tidak puasa. Misalnya pasien yang memerlukan terapi suntikan insulin sampai dua kali atau lebih per hari. Pasien diabetes dengan komplikasi berat, seperti gagal ginjal atau gagal jantung, juga disarani tidak puasa. "Puasa bisa memperberat komplikasi mereka," ujar Pradana. Pasien diabetes yang mau puasa ada baiknya memperhatikan tips umum berikut ini. Pertahankan "asupan" kalori sehari selama puasa yang kira-kira sama dengan asupan kalori yang dianjurkan sebelum puasa. Bagi porsi makan menjadi 40 : 50 : 10. Akhirkan makan sahur. Lakukan aktivitas fisik sehari-hari secara wajar. Sempatkan istirahat sebentar setelah salat zuhur. Utami, Hadriani, Jajang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus