Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Malu Jadi Orang Bali

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia Redaktur Senior TEMPO

JUDUL tulisan ini saya ambil dari ucapan Kepala Polda Bali, Irjen Pol. Made Mangku Pastika, yang jadi headline koran-koran lokal Bali. Ini adalah reaksi Pastika begitu terjadi kerusuhan di Buleleng yang menewaskan dua orang. Memang, kerusuhan bernuansa politik sudah sampai pada tahap memalukan di Bali.

Orang luar sering melihatnya sebagai "luka lama". Sekjen PDIP Sutjipto, misalnya, menyebutkan di masa lalu partainya juga dizalimi Golkar. Karena itu, PDIP, menurut Sutjipto, tak perlu bertanggung jawab atas "kasus Buleleng", juga tak perlu minta maaf.

Ucapan Sutjipto ini keliru besar dan cenderung memprovokasi. Apalagi mentabukan "maaf", yang bagi orang Bali merupakan hal yang sangat biasa. Jika Sutjipto bicara "luka lama", siapa yang "luka" dan apa ukuran "lama" itu? Ketika Golkar jaya di Bali, yang ada adalah PDI, belum ada PDIP. Kalau PDIP ini dianggap penerus PDI, dapatkah disebutkan PDI penerus PNI yang pernah besar di Bali? Kalau begitu dan ukuran "lama" ditarik jauh ke masa lalu, bagaimana menjelaskan bahwa puluhan ribu orang Bali dibunuh oleh PNI (dan tentara) dengan tuduhan PKI? Yang dibunuh orang-orang desa yang tak kenal politik: anak-anak, remaja, bahkan kakek-nenek. Para pembunuh menerapkan instruksi "tumpas sampai ke akar-akarnya".

Kasus politik di Bali tak pernah melahirkan "dendam turunan secara pribadi", karena memang orang Bali pada dasarnya tak fanatik dengan partai politik. Ketika PKI habis riwayatnya, seluruh masyarakat bergabung ke ormas PNI. Rakyat Bali tak ingin ada "luka" lagi dan trauma penumpasan PKI terus mencekam.

Menjelang Pemilu 1971, masuk Sekber Golkar dengan intimidasi yang sedemikian dahsyat. Para elite PNI dipaksa menandatangani "pembubaran PNI" dan diminta masuk ke Sekber Golkar dengan pilihan Kosgoro atau MKGR. Begitu elite partai tumbang, masyarakat di bawah langsung beralih ke Golkar. Masyarakat tak perlu berpikir macam-macam. Apa saja kata pimpinannya diikuti demi keamanan semata.

Rezim Orde Baru dengan massa mengambangnya semakin membuat orang Bali buta politik. Ketika PNI berfusi ke PDI, jarang sekali masyarakat pedesaan yang ikut PDI. Kalaupun ada, mereka disebut "menyempal" atau mereka dari partai IPKI, yang di masa penumpasan PKI dianggap "partai gurem yang tak ikut perang". Dengan demikian, Golkar tetap mayoritas. Gesekan yang terjadi antara Golkar dan PDI bukan disebabkan oleh "luka lama", melainkan karena belum diterimanya perbedaan politik di pedesaan. Kalau ada yang menyempal dari mayoritas dianggap mencari masalah, dan itu harus diberi pelajaran. Kata yang lazim digunakan adalah: "Jangan ikut partai lain. Kita harus bersatu. Ingat G30S. Kalau bersatu, tidak akan ada saling bunuh."

Sampai menjelang runtuhnya Orde Baru, pendidikan politik tetap rendah. Ketika PDI pecah dengan munculnya PDIP, dan masyarakat melihat gelagat Soeharto yang didukung Golkar akan tumbang, masyarakat Bali pun berbondong-bondong ikut PDIP. Yang tak mau ikut banteng "diberi pelajaran". Jadi, tak ada fanatisme partai. Kalau ada rumah orang Golkar dibakar oleh orang PDIP, atau sebaliknya, ini tak ada urusan dengan "luka" ataupun "dendam". Ini hanya soal kedunguan segelintir orang Bali yang masih menganggap "perbedaan politik itu adalah musuh yang harus dilawan". Bisa jadi, antara yang membakar dan yang dibakar dulunya sama-sama satu partai.

Kini orang-orang di pedesaan sudah banyak yang melek. Tetapi, karena elite partai dikuasai oleh "preman politik" dan posko parpol di jalanan dipenuhi anak muda yang mabuk, mayoritas orang Bali jadi "pendiam". Para intelektual Bali pun juga emoh berpolitik. Orang Jakarta bisa salah sangka, mengira banyaknya bendera partai tertentu yang berkibar sebagai pertanda basis dari partai itu.

Lalu, kenapa kerusuhan tak bisa dicegah di pedesaan hanya karena beda partai? Lembaga desa adat di Bali saat ini sedang amburadul, ketahanannya hanya sebatas wilayah desa adat. Begitu terjadi gesekan lintas desa, tak ada mekanisme yang mendamaikannya. Entah ini skenario politik pemerintah daerah (gubernur dan DPRD) atau ketidakbecusan memimpin, tak jelas. Tokoh informal yang bisa bergerak ke desa tersingkirkan. Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA), yang selama ini mengayomi desa adat, dibubarkan oleh gubernur dengan alasan sudah lahir perda tentang Desa Pekraman sebagai pengganti Desa Adat. Namun, lembaga Desa Pekraman pengganti MPLA belum terbentuk.

Majelis Agama Hindu (Parisada) Bali pecah menjadi dua. Yang satu dinyatakan sah oleh Parisada Pusat yang berkedudukan di Jakarta, yang lain dinyatakan tak sah. Tetapi Gubernur Bali condong ke Parisada yang tak sah. Ini membingungkan umat, juga membuat elite Bali di luar Pulau Dewata jadi rikuh "masuk" ke Bali. Karena itu, kalau ada gesekan di pedesaan yang tak bisa diatasi oleh lembaga yang ada di desa, tak ada yang bisa meredamnya.

Harapan satu-satunya adalah penegak hukum, yakni polisi. Dalam situasi seperti inilah, ditambah pengangguran yang membeludak akibat bom Bali, Mangku Pastika menjadi Kepala Polda Bali. Yang didapati adalah desa yang semarak dengan judi, minuman keras tanpa kontrol di mana-mana. Baru beberapa bulan menjadi Kepala Polda, Pastika sudah menyebut orang Bali berubah menjadi "bhuta kala", biangnya setan.

Tapi, Pastika bergerak sendirian. Ia memang sudah menyambangi para pendeta dan tokoh adat secara non-kelembagaan?karena lembaganya mati suri. Lalu, mampukah polisi menegakkan hukum tanpa intervensi para "preman politik"? Beranikah mereka menindak para pemabuk dan penjudi? Kalau polisi mampu, mungkin?sekali lagi mungkin?Bali masih bisa sedikit aman menghadapi pemilu nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus