Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi 22/2001 diundangkan pada November 2001, di samping memberikan dampak positif berupa makin transparan dan terbukanya industri minyak dan gas bumi (migas) nasional, ketentuan itu ternyata banyak mengandung pasal yang melanggar konstitusi dan merugikan negara.
Tak kurang dari Ketua MPR Amien Rais sendiri yang menyatakan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan The Jakarta Society Center, 21 Oktober lalu, bahwa UU Migas 22/2001, yang menjadi acuan liberalisasi migas saat ini, ternyata bertentangan dengan bunyi dan jiwa Pasal 33 UUD 1945, terbukti merugikan negara, serta menimbulkan kerancuan industri migas dan gas alam cair (LNG) nasional. Mengutip laporan dari FACTS, konsultan independen dari AS, Ketua MPR menyatakan satu-satunya jalan untuk menghindarkan kerugian negara dan kerusakan industri migas Indonesia saat ini adalah mengamendemen undang-undang itu, walaupun disadari dalam waktu dekat hal tersebut hampir tak mungkin dilakukan karena kesibukan menjelang pemilu.
Pernyataan Ketua MPR tersebut sejalan dengan proses judicial review yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa UU Migas yang baru berumur dua tahun ini harus diamendemen.
Jawabannya, dengan UU Migas 22/2001, pengelolaan kekayaan alam (migas) milik negara yang ada di perut bumi dan produk turunannya (bahan bakar minyak) yang merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, yang hingga kini belum ada substitusinya yang memadai, diarahkan untuk tidak lagi dikuasai dan dimiliki oleh negara.
Ke depan, kekayaan migas dan komoditas bahan bakar minyak (BBM) sepenuhnya diserahkan kepada pasar/pelaku usaha. Dengan demikian, negara tidak lagi "memilikinya", tapi cukup "mengaturnya" lewat lembaga pengawas/pengatur yang baru dibentuk, yaitu BP Migas dan Badan Pengatur. Untuk itu, BUMN Pertamina (yang selama ini merupakan "alat" negara dalam mengembangkan, menguasai, dan memiliki kekayaan alam migas dan produk BBM) harus diubah menjadi PT persero, agar sewaktu-waktu bisa dijual, sehingga proses liberalisasi sesuai dengan amanat letter of intent Dana Moneter Internasional (IMF) bisa sepenuhnya dilakukan.
Agar negara tidak lagi punya hak secara bebas (baca: kedaulatan) untuk menguasai dan mengelola kekayaan alam migas dan produk BBM, UU Migas telah mereduksi pengertian/definisi kuasa pertambangan (KP) serta menyerahkan pemegang/pelaksana KP tersebut kepada swasta/investor (sehingga tidak lagi berada di tangan negara c.q. BUMN).
Selama 30 tahun lebih, sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, KP merupakan wewenang yang hanya diberikan negara kepada BUMN yang khusus dibentuk berdasarkan undang-undang (UU 8/1971) guna menyelenggarakan seluruh kegiatan usaha perminyakan, dari eksplorasi, eksploitasi, pengilangan, pengangkutan, sampai penjualan BBM ke seluruh Indonesia. Dengan demikian, negara (lewat badan usahanya) dapat tetap berdaulat untuk menguasai (mengusahakan, mengembangkan, dan memiliki) kekayaan alam migas serta produk turunannya (BBM) yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara itu, tugas regulator selama ini dipegang oleh institusi negara yang membawahkan bidang perminyakan, Direktorat Jenderal Migas.
Mekanisme yang termaktub dalam UU 8/1971 merupakan implementasi dari usul Mr. Wilopo (Ketua Komite Anti-Korupsi) dan Dr. Mohammad Hatta (arsitek Pasal 33 UUD 1945 dan Penasihat Komite Anti-Korupsi) yang menghendaki agar Pertamina sebagai pemegang KP atas seluruh segmen usaha perminyakan dibentuk berdasarkan undang-undang khusus. Pertamina lalu ditugasi menyelenggarakan usaha yang menyangkut kekayaan alam milik negara yang ada di perut bumi dan usaha pemenuhan kebutuhan BBM masyarakat, yang merupakan cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (sesuai dengan amanat ayat 3 Pasal 33 UUD 1945).
BBM berbeda dengan beras dan air, yang—sekalipun menguasai hajat hidup orang banyak—bisa diperbarui (renewable) dan dapat diusahakan langsung oleh rakyat dengan modal dan teknologi yang relatif sederhana. BBM, jika tidak dikuasai negara, pasti akan dikuasai oleh orang-seorang sehingga rakyat banyak bisa dikorbankan dengan alasan "kemauan pasar". Itulah yang menjadi dasar pemikiran mengapa KP yang diberikan oleh negara kepada BUMN Pertamina lewat UU 8/1971 mencakup semua segmen kegiatan industri perminyakan, dari hulu sampai ke hilir, termasuk urusan BBM.
Kini dengan UU Migas, pengertian KP telah dipangkas hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (tidak termasuk urusan BBM). Definisi KP ini tertulis dalam pasal 1 angka 5, yang berbunyi, "Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi." Padahal, menurut pasal 4 ayat 2, KP merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada pemerintah.
Di sini terlihat UU Migas 22/2001 telah memotong hak dan wewenang negara untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pengilangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan BBM. Dengan demikian, Pasal 1 angka 5 UU Migas ini jelas melanggar bunyi dan semangat UUD 1945 Pasal 33.
Selain itu, definisi KP yang sudah "dibonsai" tersebut malah diserahkan menteri kepada pelaku usaha sesuai dengan Pasal 12 ayat 3 UU Migas, yang berbunyi, "Menteri menetapkan Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2."
Wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi ini pada hakikatnya identik dengan definisi KP seperti tertulis pada Pasal 1 angka 5 UU Migas. Penyerahan KP kepada pelaku usaha ini tidak bisa dianulir oleh pasal-pasal lain, termasuk oleh Pasal 6 UU Migas. Dengan demikian jelaslah bahwa penyerahan KP tersebut telah nyata-nyata melanggar Pasal 33 UUD 1945 karena wewenang tersebut semestinya tetap berada di tangan negara atau BUMN. Seharusnya pelaku usaha hanyalah sebagai kontraktor pemegang KP (bisa di hulu ataupun di hilir) seperti yang selama ini diterapkan di bawah UU 8/1971.
Adalah sebuah fakta, mekanisme UU 8/1971 telah dapat mengakomodasi masuknya perusahaan minyak asing di sektor hulu tanpa harus melanggar konstitusi. Selama ini, mereka tidak pernah masuk ke hilir semata-mata karena harga jual BBM yang di bawah harga pasar, bukan karena UU 8/1971.
Terlebih lagi UU Migas sudah terbukti merugikan negara ratusan bahkan miliaran dolar. Dengan penyerahan wewenang penjualan migas (dan kondensat) bagian negara sudah mulai diserahkan kepada KPS/perantara (tidak lagi dilakukan oleh BUMN).
Penjualan gas (LNG) Tangguh milik negara ke Fujian yang diserahkan ke KPS, misalnya, hanya membuahkan harga jual LNG termurah di dunia. Padahal, karena laju permintaan LNG di Asia dan AS masih sangat tinggi, situasi dan prospek pasar LNG dunia masih belum sepenuhnya berada pada keadaan buyer's market. Anehnya, hitungan harga jual KPS tersebut didasarkan atas kapasitas pabrik/produksi 7 juta ton, sementara Fujian hanya membeli 2,6 juta ton.
Praktek ini pada gilirannya telah memicu pembeli LNG Badak dan Arun meminta penurunan harga. Dampaknya, keuangan negara lagi-lagi dirugikan. Kalau misalnya harga jual diturunkan sekitar US$ 1/mmbtu, potensi kerugian negara bisa mencapai sekitar US$ 1 miliar. Padahal Proyek LNG Tangguh itu sendiri baru menghasilkan dolar pada tahun 2007 (ini pun kalau pembelian sudah mencapai minimal 7 juta ton).
Begitu pula halnya dalam penjualan kondensat bagian negara. Republik pun berpotensi dirugikan ratusan juta dolar karena penjualan diserahkan kepada perusahaan perantara (bukan BUMN) dengan harga yang murah. Padahal, sejak permintaan avtur anjlok sebagai akibat peristiwa 11 September, permintaan kondensat oleh kilang sangatlah tinggi. Industri kilang membutuhkan kondensat guna mengurangi produksi avtur, sementara produksi bensin bisa tetap meningkat.
Demikian pula penjualan gas di dalam negeri, yang diserahkan ke KPS. Kini sulit bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan energi yang terpadu karena wewenang penjualan dan penentuan syarat-syaratnya sudah beralih ke tangan KPS. Kini KPS bebas mewajibkan PLN sebagai pembeli gas untuk memberikan uang jaminan sangat besar, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Belum lagi kalau KPS mengharuskan pabrik pupuk membeli gas dengan harga pasar (sesuai dengan Pasal 28 UU Migas) yang sama dengan harga jual LNG.
Ujungnya, semua ini pasti akan dibebankan kepada setiap individu rakyat berupa kenaikan tarif listrik, dan kepada setiap petani berupa kenaikan harga pupuk, sementara harga jual gabah tetap rendah.
Karena itu, apa yang disuarakan Ketua MPR RI serta proses judicial review yang tengah digelar Mahkamah Konstitusi adalah langkah tepat guna menghentikan penyimpangan terhadap konstitusi, di samping untuk menghindari kerugian negara dan rakyat yang lebih besar lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo