BICARA tentang mutu obat memang tidak bisa sembarangan. Belum lama ini kalangan dokter anak mempertanyakan mutu vaksin polio produksi Bio Farma Bandung. Kepada mereka terbetik berita, vaksin produksi dalam negeri itu belum mampu menembus prakualifikasi badan kesehatan dunia (WHO). "Karena belum mendapat pengakuan internasional, perlindungan terhadap bayi dari serangan virus polio kurang dapat diandalkan," ujar seorang dokter anak yang tak mau disebut namanya. Padahal, vaksin produksi perusahaan negara itu sebagian besar dipakai oleh kalangan tenaga medis untuk vaksinasi bayi. Jika saja berita itu benar, maka buruk akibatnya terhadap pertumbuhan anak-anak Indonesia itu nanti. Sebab, "Pelaksanaan vaksinasi polio berlaku untuk seumur hidup," kata Dr. Karnen G. Baratawidjaja, 57 tahun, Presiden Perhimpunan Alergi dan Imunologi Indonesia. Vaksin polio termasuk vaksin dasar. Bio Farma sudah memproduksi vaksin ini lebih dari 10 tahun. Semula vaksin polio diberikan dengan cara suntikan. Sekarang sudah berkembang dalam bentuk tetesan, yang langsung diminumkan ke mulut bayi. Virus polio menyerang dan merusakkan susunan saraf pusat yang ada di dalam sumsum tulang belakang. "Kerusakan ini tak akan dapat diperbaiki lagi. Dan orang tersebut akan lumpuh," kata Karnen yang ahli imunologi. Benarkah vaksin polio Biofarma kurang andal, seperti yang ramai diberitakan beberapa waktu berselang? Ternyata, tidak. "Kabar itu salah. Vaksin itu sudah memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh WHO," ujar Midian Sirait, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM), ketika ditemui TEMPO di ruang kerjanya, Sabtu pekan lalu. Menurut Midian, vaksin polio yang beredar di pasaran itu telah melewati penelitian yang cermat, sudah lolos dari tim penilai obat jadi, juga telah melalui pemeriksaan ulang oleh Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan (PPOM) Ditjen POM. "Vaksin itu juga sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan WHO," kata Dirjen POM bersemangat. Selama ini, bahan baku vaksin polio Bio Farma 100% masih diimpor dari SKF Belgia, salah satu produsen obat dan vaksin terbesar di dunia. "Bio Farma hanya sebagai asembling. Memasukkan bahan setengah jadi itu dalam bentuk kemasan yang siap pakai," kata ahli farmasi lulusan Jerman Barat ini. Yang dipermasalahkan sekarang hanya aspek bisnis. "Prakualifakasi Bio Farma sebagai pemasok vaksin polio di WHO tertunda. Ini masih dalam proses," kata Midian lebih lanjut. Dituturkannya seluk-beluk prosedur yang harus ditempuh perusahaan negara itu, sebelum pada akhirnya dibolehkan memproduksikan vaksin polio. Menurut Dirjen, Unicef, badan PBB membeli vaksin dari seluruh dunia, lewat kerja sama dengan Unipac. Dalam menentukan produk yang akan dibeli, Unipac berpegang pada daftar prakualifikasi WHO. Di pihak lain, untuk dapat masuk daftar prakualifikasi itu, produsen harus mampu menjadi rekanan WHO. "Sekarang ini, Bio Farma masih belum mampu menerobos prakualifikasi WHO itu. Ini hanya masalah administrasi, bukan karena mutu," ujar Midian, sambil mengunyah singkong rebus. Rupanya, penyelesaian administrasi ini terbentur pada biaya. Dana untuk membayar tenaga inspektur dari WHO masih belum tersedia. Padahal, inspektur itulah yang akan memberikan rekomendasi kepada WHO, tentang kegiatan dan kemampuan Bio Farma, sebagai produsen rekanan. "Setiap inspektur perlu dana US$ 20.000. Padahal, yang datang lebih dari satu orang," kata Midian dengan kening berkerut. Untuk memenuhi pesanan pemerintah, produksi vaksin polio Bio Farma tahun lalu mencapai 7,2 juta dosis, ditambah sekitar 600.000 dosis per tahun untuk swasta. Di samping itu, ada bantuan dari pihak Rotary International, 15 juta dosis untuk keperluan lima tahun. "Dua tahun yang akan datang, klta akan mampu memproduksi bahan baku sendiri," kata Midian. Inilah yang mendorong Depkes memasukkan Bio Farma dalam daftar pemasok vaksin WHO. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini