Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis paru dan pernapasan, dr. Amira Anwar, Sp.P, menjelaskan infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang, atau berat. Gejala klinis utama pada COVID-19 di antaranya demam, sesak, lemas, nyeri otot, serta diare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap pasien dapat mempunyai gejala yang berbeda. Pada kasus yang berat dapat juga terjadi perburukan yang cepat sehingga menyebabkan kegagalan pernapasan, kelainan metabolik lain, gangguan sistem koagulasi (pembekuan darah), hingga terjadinya badai sitokin yang dapat merusak organ dalam tubuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terapi penanganan yang dilakukan pada pasien COVID-19 disesuaikan dengan gejala dan hasil pemeriksaan dari pasien itu sendiri. Pada gejala ringan, pasien dapat diberikan vitamin dan obat-obatan sesuai gejala. Sedangkan pada gejala sedang dan berat, pasien akan diberikan obat antivirus dan obat lain sesuai hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lain oleh dokter.
Virus corona dapat menyerang dua belah paru saat saturasi oksigen menurun drastis yang disebabkan oleh inflamasi yang parah. Pada kondisi ini, paru-paru akan terisi banyak cairan, dahak, dan sel. Hal inilah yang mengakibatkan kerusakan pada dinding kantung udara paru-paru sehingga membuat pasien sesak napas dan mengalami pneumonia parah atau acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Pasien dengan kondisi ini membutuhkan alat bantu napas menggunakan ventilator akibat terjadinya gagal pernapasan. Pada kasus pneumonia biasa, kebanyakan orang dapat sembuh tanpa adanya kerusakan paru-paru yang bertahan lama. Hal ini berbeda dengan pneumonia yang disebabkan oleh COVID-19, yang bisa berkembang menjadi parah.
"Bahkan setelah penyakit berlalu, cedera paru-paru akibat COVID-19 dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk membaik," kata Amira.
Karena utamanya menyerang paru, COVID-19 kerap mengakibatkan jaringan parut atau kerusakan pada paru. Cedera pada paru inilah yang kemudian menyebabkan pasien pascaCOVID-19 dapat mengalami gejala atau gangguan pernapasan (pneumonia) yang menetap selama 4-12 minggu setelah terinfeksi. Bahkan, pada beberapa pasien, dapat pula terjadi gejala pascaCOVID-19 kronis sampai lebih dari 12 minggu.
Selain mengobati orang yang tengah terinfeksi, saat ini tenaga kesehatan juga menghadapi gejala-gejala pascaCOVID-19. Tak hanya pada yang sebelumnya bergejala berat saja, gejala-gejala pascaCOVID-19 ini juga banyak dialami oleh yang saat terinfeksi hanya bergejala ringan, bahkan tanpa gejala apapun.
Gejala pascaCOVID-19 yang dimaksud antara lain batuk berdahak/kering, sesak napas, keterbatasan aktivitas, lekas lelah, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, perubahan rasa dan penciuman, perubahan suasana hati, nyeri dada, tenggorokan sakit, serta adanya kelainan pada hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Gejala yang paling banyak dikeluhkan adalah batuk serta hilangnya indera perasa dan penciuman sekitar 32 persen.
Untuk menegakkan diagnosis gejala pascaCOVID-19 atau long covid, penyintas disarankan untuk berkonsultasi ke dokter dan melakukan beberapa pemeriksaan seperti tes PCR ulang, pemeriksaan darah, radiologi, rekam jantung, dan pemeriksaan uji fungsi paru-paru. Pemeriksaan ini berguna untuk membantu menegakkan diagnosis, guna menangani gejala-gejala pascaCOVID-19 yang masih dirasakan.