Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film Women from Rote Island berhasil meraih penghargaan prestisius sebagai Film Cerita Panjang Terbaik dalam Festival Film Indonesia atau FFI 2023. Prestasi ini bukan hanya tentang sinematografi, tetapi juga menjadi pencerminan kekayaan budaya dan keindahan tradisi yang terwujud, salah satunya dalam pakaian khas Pulau Rote.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan gemerlapnya panggung FFI 2023, kain tenun ikat Pulau Rote yang dikenakan para pemain dan kru film tersebut mendapat sorotan sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat Rote Ndao. Dengan kemampuannya merenda warna dan cerita dalam serat kain, karya seni ini menjadi lambang identitas budaya yang menginspirasi sektor industri kreatif secara luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asal Usul Kain Tenun Ikat
Kain tenun ikat merupakan seni tenun yang kaya akan warna dan corak yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Nusantara. Menurut salah satu artikel dalam Research Gate, dokumentasi dari pulau Jawa menunjukkan bahwa kain tenun ikat telah ada sejak abad ke-10.
Istilah "Tenun Ikat" pertama kali diperkenalkan oleh ahli etnografi Belanda, G.P. Rouffaen, sekitar tahun 1900. Rouffaen menjelajahi teknik pembuatan ragam hias, memahami proses ikatan, dan menciptakan pola ragam hias sesuai dengan ikatan benang. "Ikat", istilah Melayu yang dipinjamnya, membentuk istilah yang kita kenal hari ini, yaitu "Tenun Ikat".
Pada zaman prasejarah, Nusantara telah mengenal tenunan dengan corak yang dibuat melalui teknik ikat lungsi. Daerah-daerah seperti pedalaman Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur menjadi pusat pengembangan corak tenun yang kompleks.
Para ahli menduga bahwa kemampuan ini dimiliki oleh masyarakat zaman perunggu, sekitar abad ke-8 hingga abad ke-2 sebelum Masehi. Masyarakat tersebut tidak hanya mahir membuat alat tenun, tetapi juga menguasai seni mengikat benang dan teknik pencelupan warna, menciptakan tradisi tenun ikat yang kaya.
Aspek mendasar dari teknik tenun ikat adalah mengikat sebagian benang sehingga tidak terkena pewarnaan saat dicelup. Bagian yang terikat akan mempertahankan warna semula, menciptakan pola yang indah dan unik.
Teknik ini memiliki keunikan tersendiri dan memperkaya ragam hias tekstil Nusantara. Pengenalan teknik ikat ke Eropa pada tahun 1880 oleh Prof. A.R. Hein membawa istilah "ikat" menjadi populer di kancah internasional. Sejak itu, seni tenun ikat menjadi simbol keberagaman budaya Indonesia yang dihargai di seluruh dunia.
Kain Tenun Ikat Khas Pulau Rote
Industri tenun ikat berkembang pesat di Kabupaten Rote Ndao, terutama di Desa Ndao, Kecamatan Rote Barat, dengan 197 unit usaha dari total 215 unit usaha di seluruh kabupaten. Sentra-sentra industri seperti Ndao, Janur Kuning, Della, Faifua, Onatali, Edalode, dan Serubeba menjadi saksi perkembangan pesat industri ini.
Menurut artikel dari Jurnal Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), tenun ikat khas Pulau Rote seperti seni merenda kain, berasal dari serat daun gewang muda atau hakenak. Pada masa lalu, sebelum kapas ditanam di Rote atas perintah Belanda melalui cultur stelsel, penduduk Rote membuat busana dari serat daun gewang muda.
Motif-motif berkembang seiring dengan kehadiran kapas dan penggunaan benang. Ketika kaum bangsawan menciptakan kain bermotif, rakyat jelata menenun kain polos yang kemudian diwarnai hitam. Lambi Tei, dengan peran dominan dalam berbagai acara adat dan menjadi penanda kedewasaan perempuan, menjadi kebanggaan setiap marga di Pulau Rote.
Warna hitam-putih, ciri khas tenun ikat Rote, dihasilkan dari benang yang direndam dalam lumpur di danau tempat berkubangnya hewan selama berbulan-bulan. Proses selanjutnya melibatkan pama’a, yaitu kulit buah nitas yang dibakar dan abunya direndam.
Keberlanjutan teknik ini tidak hanya menciptakan kain berwarna unik tetapi juga menggambarkan keindahan alam Pulau Rote yang menjadi inspirasi utama dalam proses merenda kain.