Tiga belas koordinator wilayah dan 26 organisasi satuan ICMI terbentuk. Anggota baru terus mengalir. Ketua Umum B.J. Habibie meluncurkan Program K. MUNGKIN tidak ada organisasi kaum intelektual yang begitu cepat berkibar seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Belum lagi berumur setengah tahun, ia telah berhasil membentuk 13 koordinator wilayah (korwil) di tingkat provinsi dan 26 organisasi satuan (orsat) di bawah provinsi. Itu diumumkan Ketua Umum ICMI B.J. Habibie dalam acara halal bihalal di Flores Room Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis pekan silam. Dan itulah hasil silaturahmi pengurus ICMI Pusat Maret-April lalu ke kalangan birokrat, pimpinan perguruan tinggi, pesantren, ulama, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat di 45 kota. Tampaknya, ICMI memang mengundang pesona tersendiri. Dalam acara halal bihalal yang dihibur grup band Los Morenos itu hadir sekitar 700 orang. Hampir semua pengurus ICMI Pusat datang, termasuk para menteri yang menjadi anggota Dewan Penasihat Pengurus ICMI Pusat. Ada Menteri Negara KLH Emil Salim, Menteri Dalam Negeri Rudini, Menteri Perhubungan Azwar Anas, dan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura. Ada pula pengusaha Fadel Muhammad (Ketua Departemen Pembinaan Ekonomi Lemah dan Kemasyarakatan), "Paus Sastra" H.B. Jassin (anggota Dewan Penasihat), Letjen. Purn. H. Achmad Tirtosudiro (Ketua Umum Korwil DKI), serta Lukman Harun dan Wagub Basofi Sudirman (Ketua I dan II Dewan Penasihat Korwil Jakarta). Nama beken yang tidak termasuk pengurus ICMI Pusat juga tampak bergiliran menyalami Habibie. Menteri Perdagangan Arifin Siregar, bekas Menko Kesra Alamsjah Ratu Perwiranegara. Juga terlihat para diplomat dari beberapa negara asing. Dari 26 korwil yang direncanakan -- Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur digabung jadi satu korwil -- baru separuh yang terbentuk. Antara lain Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Maluku, Bali, Yogyakarta, DKI Jakarta. Dan 10 provinsi baru sampai pada tahap pembentukan formatur, misalnya Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur/Timor Timur. Yang sama sekali belum membentuk formatur cuma Jawa Tengah, Bengkulu, dan Irian Jaya. Tapi itu cuma soal teknis. "Kami belum ke Irian dan Bengkulu," kata Habibie. Sedangkan Jawa Tengah, kabarnya, telat lantaran perkara klasik "rebutan" posisi. "Masih ada beberapa kelompok yang berlainan visi yang sulit disatukan," ujar Sekretaris Pelaksana ICMI Wardiman Djojonegoro, tanpa menggambarkan riuhnya. Romantikanya mungkin seperti di Jawa Timur. Di sini sempat terjadi konflik antara kubu Bisri Effendi, M.A. (Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya) dan kubu Prof. Dr. Daldiri Mangoendiwirjo, seorang guru besar yang disegani di Universitas Airlangga. Kabarnya, Ketua DPD Golkar sampai turun tangan untuk menyelesaikannya. Sebagai jalan tengah, dipilihlah Rektor Unair, Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro, sebagai ketua korwil periode 1991-1994. Namun, secara keseluruhan, perjalanan ICMI tampak lancar. Bahwa separuh sasaran pembentukan korwil belum tercapai, menurut Habibie, itu hanya soal waktu. "Insya Allah, Mei nanti semua korwil sudah terbentuk." Singkat cerita, ICMI telah berkumandang di seantero negeri dan menjadi organisasi yang disegani. Boleh jadi, ini karena pengurusnya -- baik di tingkat pusat maupun korwil -- terdiri dari birokrat, ilmuwan, tokoh masyarakat, dan orang-orang terpandang lainnya. Pengurus Korwil DIY, yang tak lama lagi diharapkan akan dilantik Habibie, misalnya, selain banyak doktor dan profesor, menempatkan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Ketua Dewan Penasihat. Di Jawa Timur, Gubernur Soelarso juga duduk sebagai Ketua Dewan Penasihat. Begitu pula di Korwil Jakarta yang dilantik Ketua Dewan Penasihat ICMI Pusat Emil Salim, Senin pekan ini, Basofi Soedirman menjadi Ketua II Dewan Penasihat. Ruang kerja Wardiman di gedung BPPT, yang sementara waktu menjadi Sekretariat ICMI Pusat, pun sibuk. Sehari-hari Wardiman melayani orang-orang yang ingin menjadi anggota. "Yang mendaftar terus mengalir," katanya. Karena itu, kantor sekretariat itu sebentar lagi akan dipindahkan ke lantai 4 gedung Departemen Agama lama di Jalan Thamrin. Gencarnya langkah ICMI dan mengalirnya calon anggota itu sempat membuat tanda tanya: apakah ICMI akan menjadi ormas yang siap menjamah masalah-masalah politik? Lebih-lebih ketika beberapa waktu lalu ICMI ikut bersuara tentang nasib rakyat di Kedungombo. Namun, Habibie buru-buru menangkis. "ICMI bukan organisasi politik, dan tidak akan melakukan kegiatan politik praktis." Memang, siapa saja, asalkan Islam dan cendekiawan, boleh menjadi anggota. Artinya, "Tidak buta huruf terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat dan mampu mencari jalan keluarnya," kata Habibie. Pernyataan ini tampaknya sekaligus untuk menunjukkan bahwa ICMI bukan organisasi eksklusif kaum cerdik-pandai. Munculnya orsat-orsat di korwil yang sudah terbentuk adalah berkat kemudahan itu. "Asal minimal ada 25 cendekiawan muslim di kawasan tertentu, sebuah orsat bisa didirikan," ujar Wardiman. Sebagai bukti bahwa ICMI bukan orpol, Habibie akan tetap mengikat ICMI dalam kerangka Program K -- meningkatkan kualitas hidup, kualitas kerja, karya, dan kualitas berpikir umat Islam. Keterlibatan ICMI di Kedungombo justru merupakan bentuk kepedulian ICMI terhadap masalah yang sedang hangat dibicarakan. "Sebagai cendekiawan, ICMI tidak boleh buta lingkungan. Kalau tak ikut mengurus, nanti ICMI dikatakan buta lingkungan," ujar Habibie. Priyono S. Sumbogo dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini