Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Bakar Tongkang, Merawat Riwayat Marga Ang di Bagansiapiapi

Gemericit walet dan suara hujan tipis-tipis dari atas langit Bagansiapiapi menjadi lagu alam pengiring proses pengarakan replika kapal.

8 Februari 2019 | 16.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ribuan etnis tionghoa menyaksikan pembakaran tongkang diatas tumpukan kertas sembahyang (Kim Chua) di Bagan Siapiapi, Riau, 14 Mei 2014. Ritual ini menjadi momen bagi para perantau Tionghoa asal Bagan Siapiapi untuk pulang kampung berkumpul dengan karib kerabat. TEMPO/Riyan Nofitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bagansiapiapi - Gemericit walet dan suara hujan tipis-tipis dari atas langit Bagansiapiapi menjadi lagu alam pengiring proses pengarakan replika kapal. Teriakan “huata” yang muncul dari mulut empunya wajah-wajah peranakan terdengar bak paduan suara, mendorong semangat dimulainya rangkaian ritual bakar tongkang dari tempat pembuatannya di samping kelenteng.

Baca juga: Suguhan Warisan Kuliner di Bagansiapiapi: Uniknya Soto Bagan

Beberapa jam sebelumnya, para tang ki atau loya—manusia yang dipercaya punya kemampuan metafisis—beserta perwakilan masing-masing kelenteng, menggelar penghormatan kepada Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun di Kelenteng Ing Hok Kiong. Menurut sejarahnya, klenteng tersebut merupakan yang tertua di Bagan—sebutan singkat Kota Bagansiapiapi. Di pintunya tertulis, klenteng dibangun pada tahun naga, yang diperkirakan menurut penanggalan Hijriah bertepatan pada era 1870-an.

Sementara itu, bakar tongkang secara turun-temurun diyakini merupakan ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, dewa pelindung masyarakat setempat, yang jatuh pada penanggalan lunar di hari ke-16 bulan kelima, dihitung pasca-Imlek.
Warga keturununan Tionghoa Bagan Siapiapi melakukan sembahyang sebelum ritual bakar tongkang di Bagan Siapiapi, Riau, 14 Juni 2014. TEMPO/Riyan Nofitra
Secara historis pula, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal-muasal Kota Bagan. Dulunya, menurut kisah yang berkembang, sejumlah pengembara asal Fujian, Cina, melakukan pelayaran untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Di tengah perantauan, mereka diombang-ambingkan gelombang hingga tak tahu arah.

Sewaktu diliput ketakutan, para pengembara berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya, hingga akhirnya muncul petunjuk berupa kunang-kunang yang mengantarkan rombongan itu sampai di bibir barat tepian Selat Malaka, yang sekarang disebut Kota Bagan. Delapan belas orang di kapal selamat. Secara kebetulan, mereka bermarga Ang. Keluarga besar Ang lantas membakar kapal yang ditunggangi dan berjanji tak bakal kembali ke kampung halamannya lantaran ingin menetap di tanah yang mereka pijak selepas lolos dari gulungan ombak. Sampai sekarang, mereka dipercaya menjadi nenek moyang warga Bagan.

Selepas menaruh hormat, tang ki dan rombongan dari beragam klenteng menjemput si tongkang. Diaraknya kapal yang sudah disolek dengan bendera warna-warni serta lukisan perlambang shio-shio manusia, juga unsur-unsur semiotis lain, menuju kelenteng. Sepanjang jalan, orang-orang bersuka menyambut. Jalanan kecil di Bagan yang mirip dengan perkampungan Lijiang sekonyong-konyong penuh sesak oleh warga yang ingin menyaksikan si lakon utama ritual tahunan itu diarak menuju persemayaman.

Di muka tongkang, bertengger kepala naga yang gagah. Keberadaannya mengisyaratkan karisma seorang dewa yang memiliki kedudukan tertinggi secara spiritual. Namun, selembar kain merah menutupinya. Orang-orang yang pingin menyaksikan cuma bisa mengintip, tak dapat melihat gamblang. Baru, pada tengah malam nanti, tepat pukul 00.00, dilaksanakan ritual untuk membuka tabir tersebut. Mereka menyebutnya sebagai peresmian. Upacara tengah malam ini dilakoni oleh para sesepuh, juga tang ki sang ahli gaib.

Berikutnya tongkang diarak menuju arena pembakaran


Pagi-pagi betul, belum juga matahari muncul, halaman kelenteng sudah riuh. Meja panjang berderet dari muka pintu sampai kira-kira 300 meter menuju jalan raya. Para perantau berdatangan dari kota-kota tetangga. Ce Ani, yang kala itu datang dari Medan, dan tiba di Bagan sehari sebelumnya, turut menggelar persembahan. “Karena ini seperti lebaran bagi kami, jadi harus datang dan ikut ritualnya,” ucapnya. Ce Ani membawa persembahan berupa kue, buah-buahan, dan kacang-kacangan.

Baca juga: Masyarakat Bagansiapiapi Siap Gelar Perayaan Bakar Tongkang

Di samping meja perempuan paruh baya itu, ada keluarga yang menghaturkan seekor babi mentah utuh. Secara bersamaan, asap pembakaran membubung memenuhi langit Bagan. Bau anyir darah bercampur wangi menyekat dari dupa menjadi aroma yang lekat menyapu penciuman seketika itu.

Wewangian yang nano-nano sedikit teralihkan dengan pemandangan yang asing ditemui di Indonesia: orang-orang berbicara dengan logat Hokkian, pun mereka berucap satu sama lain dengan intonasi yang tak lazim didengar di kuping. Di hampir semua titik, masyarakat melakoni sembahyang. Muaranya di dalam kelenteng.

Sedangkan di sisi kanan, tongkang berdiam kukuh. Kepalanya sudah tak lagi tertutup kain. Di depannya, orang-orang mengantukkan dupa sembari mengucap satu-dua kalimat. Mereka memohon berkat untuk usia, rezeki, keselamatan, dan kesejahteraan. Juga meminta supaya dijauhkan dari beragam persoalan dan halangan.
Perahu tongkang dibakar tepat dipinggir bekas dermaga di Bagan Siapiapi, Riau, 14 Juni 2014. Ritual bakar tongkang diikuti sedikitnya 40 ribu warga etnis Tionghoa baik dari dalam maupun luar negeri. TEMPO/Riyan Nofitra
Matahari meninggi. Kota Bagan berangsur terik. Lagu-lagu berbahasa Mandarin diputar keras-keras di hampir semua sudut di kota yang dulunya pernah berjuluk Ville Lumiere atau Kota Cahaya ini. Tabuhan simbal, gong, dan tambur turut menjadi-jadi. Barisan orang berseragam warna-warni seliweran menuju kelenteng. Persembahan serupa gunungan dipanggul empat hingga enam orang.

Area sekitar meja altar sesak dijejali manusia. Terlebih sewaktu para tang ki datang satu per satu, unjuk diri dengan gerakan-gerakan supernatural. Mulutnya mengucapkan kata-kata yang tak bisa diartikan secara harfiah. Badannya bergetar hebat dan kepalanya menengok acak. Kadang-kadang mengerang lirih, membikin suasana menjadi mistis. Dalam keadaan demikian, sang dewa sedang bekerja di dalam raga tang ki.

Pemandangan ini berlangsung hingga pukul tiga sore. Setelahnya, tongkang diarak menuju arena pembakaran. Seperti karnaval, banjar paling muka diawali dengan barisan replika para dewa yang dipanggul bak gunungan persembahan. Berturut-turut setelahnya, para ahli gaib dan rombongan tim dari masing-masing kelenteng mengiringi. Barulah tongkang mendiami bagian buntut. Keberadaannya seolah menjadi gong sebuah parade.

Lokasi pembakaran berjarak tak kurang satu kilometer dari Klenteng Ing Hok Kiong. Arena ini berupa lapangan luas yang dulu dikabarkan menjadi lokasi pertama datangnya para leluhur di tanah itu. Sepanjang pawai, di tepi-tepi jalan, orang-orang menunggui di depan rumah. Masing-masing menggenggam dupa merah, minimal tiga batang. Jalur itu mendadak padat oleh manusia. Saat tongkang lewat, mereka mengelu-elukan dupa sembari mengucapkan satu-dua kalimat harapan.

Dua pilar layar kapal langsung dipasang sejurus setelah tongkang tiba di lokasi pembakaran. Para warga berkerumun mengelilingi. Tiang inilah yang menjadi intisari ritual. Kala simbol hikayat dibakar, ke mana jatuhnya tiang, entah menuju darat atau laut, arah itulah yang selanjutnya dipercaya sebagai sumber rezeki mereka. Kalau tiang jatuh ke arah laut, berarti rezeki mereka tahun ini muasalnya dari kekayaan yang didapatkan dari lembah bahari. Namun, kalau jatuhnya ke darat, peruntungan bakal bersumber dari kekayaan yang terdapat di tanah.

Sambil menunggu api melahap tongkang, jutaan lembar kertas kim atau kim cua ditabur di sekelilingnya. Lapangan berubah menjadi lautan berwarna kuning kemerahan. Tatkala bara dinyalakan, lidah-lidah api seketika melumat seluruh bagian kapal dan kertas-kertas yang bertebaran di sekitarnya.

Warga terus berteriak “huata” dan berpawai mengelilingi bara raksasa sembari menunggu tiang roboh. Bersamaan dengan angin yang menggulung api, tiang pertama, lantas kedua, ambruk. Keduanya tunduk di haluan laut. Sorak-sorai santer terdengar. “Rezeki kita dari laut,” kata masyarakat Bagansiapiapi itu hampir bersamaan.

Baca juga: 69 Ribu Wisatawan Rayakan Ritual Bakar Tongkang di Riau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus