Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhelatan Batik Fashion Fair 2019 menginjak tahun keempat. Debindo Mitra Tama bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi di bidang fashion, bakal menampilkan tema besar suistanable fashion. Pameran batik di pengujung tahun itu digelar di Grand City Surabaya, 27 November-1 Desember. Pameran ini tak hanya menampilkan batik, namun juga kain tenun, aksesoris, dan berbagai pernak-pernik fashion.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Industri fashion nasional harus memulai suistanable fashion, karena kita dituduh negara-negara lain sebagai penyumbang sampah tekstil terbesar. Padahal merekalah yang mengirim sampah tekstil kemari dengan harga murah, lalu kita semua dengan senang hati membelinya,” ujar Dibya Hody dari Indonesian Fashion Chamber (IFC).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut dikemukakan Dibya dalam konferensi pers Batik Fashion Fair 2019, di Hotel Kepi, Surabaya, Rabu (20/11). Dibya menyoroti, tekstil Indonesia sebenarnya telah ramah lingkungan sejak dulu kala. Bahkan nenek moyang mengajari, bagaimana kain tenun dan batik dibuat dari bahan-bahan alami, yang larut dan diserap alam saat dibuang.
Nenek Panggau memintal benang untuk bahan kain tenun ikat Toraja di Tongkonan Tobaran, Saddan, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 2 Januari 2018. Nenek Panggau yang telah berusia 90 tahun, merupakan satu-satunya generasi kedua pemintal benang di desa Saddan yang masih tersisa sebagai pengrajin tenun ikat khas Toraja. Foto: Iqbal lubis
“Saat ini batik printing, baju murah, dan plastik membanjiri industri tekstil. Harus ada penyadaran terhadap para pelaku,” ujarnya. Sejatinya, Kementerian Perdagangan telah melarang impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Selain merusak industri dalam negeri, pakaian bekas terbuat dari polyester (polister), serat kain yang dibuat dari minyak bumi, yang juga menjadi bahan baku plastik.
Dibya mengingatkan, yang berbahaya dari plastik adalah debunya. Bila terhirup atau dibuang di sungai dan dimakan ikan, lalu dikonsumsi manusia, artinya ada jejak plastic dalam tubuh, “Butuh waktu 200 tahun untuk bisa terurai. Maka tak aneh sekarang penyakit seperti kanker sangat banyak ditemukan,” papar Dibya.
Ia mengingatkan sudah saatnya industri fashion tampil dengan fashion yang berkelanjutan dan sebisa mungkin zero waste alias tanpa sampah. Sisa-sisa tekstil pun bisa dimanfaatkan.
Senada dengan Dibya, Siska Sumartono dari Perkumpulan Pengusaha Bordir Jawa Timur (Persadir) mengemukakan, bahwa gaya hidup fast fashion dengan membeli tekstil murah membuat industri tekstil berprilaku tak ramah lingkungan, “Sesuatu yang murah, selalu ada yang dikorbankan. Anda membeli baju Rp70.000 tentu bahannya dari polister. Baju murah tentu cepat lari dan cepat pula rusak, yang akhirnya dibuang,” ujar Siska.
Prilaku konsumen yang terus menerus membeli baju murah, tentu menguntungkan pabrik yang juga terus berproduksi karena laris. Bisa dibayangkan kuantitas limbahnya.
Ia mencontohkan, batik printing yang bahannya dari polister bila dibandingkan dengan batik cap atau batik tulis, “Jelas lebih ramah lingkungan,” ujarnya. Siska mengatakan, konsumen bisa memulai gerakan ramah lingkungan dengan memodifikasi kembali baju-baju di lemari mereka. “Baju yang tak dipakai lagi bisa dimodifikasi agar tampil trendi lagi,” paparnya.
Dwi (35 tahun, kanan) mengukur lempengan tembaga yang akan dipotong dan dirakit menjadi stempel tembaga untuk batik di Kampung Jongke, Kecamatan Laweyan, Solo, Jawa Tengah, Senin (18/3). Para pengrajin mengakui permasalahan utama adalah semakin berkurangnya minat generasi muda meneruskan kerajinan berbahan tembaga yang rumit namun dibayar minim ini. TEMPO/Suryo Wibowo
Pada Batik Fashion Fair 2019, Persadir berencana mengadakan talkshow dan workshop memodifikasi pakaian lama, agar tampil baru lagi, “Limbah kain tenun dan batik, bisa dimanfaatkan untuk membuat aksesoris,” imbunya lagi.
Dengan demikian suistanable fashion tak hanya dilakukan dalam skala industri, tetapi juga skala individu. Sampah tekstil sama mengkhawatirkannya dengan sampah plastik, sehingga suistanable fashion sangat penting.
Meraup Segala Segmen
“Suistanable fashion tak selalu mahal,” ujar Direktur Debindo Mediatama Budiono. Ia meyakinkan hal tersebut akan ada dalam Batik Fashion Fair. Batik dan kain tenun yang mahal berharga jutaan akan tampil dalam perhelatan itu, namun Budi juga mengingatkan batik tulis dan cap dengan harga seratusan ribu juga tampil.
Dengan demikian masyarakat bisa memilih produk tekstil, dari sisi harga, kualitas, hingga model. Dengan demikian, citra batik mahal bisa terbantahkan. Selama ini ada anggapan batik tulis itu mahal.
Siska Sumartono (ketiga dari kiri) menunjukkan pakaian yang dimodifikasi dari baju lama, agar tambil modis. Persadir akan hadir memberi workshop dan takshow mengenai suitanable fashion dalam Batik Fashion Fair yang digelar Debindo Mediatama, 27 November-1 Desember di Grand City Surabaya. TEMPO/Ludhy Cahyana
“Jadi citra pameran batik di Grand City tak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan batik cap dan tulis, serta produk tenun, warga bisa berpartisipasi dalam gerakan suistanable fashion,” ujar Budi.
Sebagai penyelenggara, Debindo Mitratama, juga memiliki tanggung jawab mendukung gerakan fashion yang berkelanjutan. Dengan memberi ruang kepada asosiasi, dalam mensosialisasikan produk tekstil atau fashion yang ramah lingkungan.