GEDEBAM gendang membahana. Dipadu dengan bunyi-bunyian semacam
kentongan dan tambur, muncul kemudian 8 gadis Tahiti (dan 2 pria
terselip di antaranya) membawakan tarian Hula-hula. Mereka
menggoyang-goyang pinggul dengan cepat. Juga kaki-kaki mereka
digerakkan amat cepat. Begitu cepat, hingga sulit diperkirakan
berapa kali dalam sedetik pinggul bergoyang.
Dengan begitu grup tari dan nyanyi 'Tahiti Temaeva' pimpinan
Coco yang beranggota 15 orang (2/3nya gadis-gadis) membuka
suguhan mereka -- di saat-saat makan siang atau malam, selama 4
hari di pertengahan bulan lalu, di 'Ruang Mataram' Hotel
Borobudur, Jakarta.
Acara kesenian Tahiti yang tak kurang dari 9 penampilan selama
sejam itu dikaitkan oleh pimpinan hotel dengan rame-rame hari
jadi ke 450 Jakarta (yang tahun ini makan waktu sejak 1 Maret
hingga 22 Juni - saat HUT). Pimpinan hotel dan lebih-lebih
sponsornya, perusahaan penerbangan Perancis UTA, tentu saja
berfikir komersiil sehubungan dengan kegirangan untuk menarik
minat penonton buat melancong ke Tahiti, gugus kepulauan di
Samudera Pasifik itu.
Menurut sang pemimpin, Coco, grupnya itu sih terbilang top di
antara 10 grup kesohor di sana. Sementara sedikitnya 20 grup
lainnya lagi berada di bawah derajat grup-grup itu. Coco
sendiri, oleh Jean Lue Perodeau dari Badan Pariwisata Tahiti,
diberi derajat "koreografer dan guru tari jempolan masa kini" di
seantero Tahiti. Grup itu sudah berumur 15 tahun dan sejak 1968,
menurut Coco, selalu menggondol kejuaraan dalam Festival Juli
yang biasa berlangsung di gugusan 180 pulau-pulau koloni
Perancis itu.
Tempat Persembunyian Dewa
Apa yang disuguhkan para penari terdiri dari 8 gadis, 2 pria dan
5 pemusik dan penyanyi itu, menurut Coco benar-benar "kesenian
tradisionil Tahiti asli" yang umurnya jauh lebih tua dari grup
Temaeva sendiri atau lainnya. Tradisi itu lazim dibawakan para
pribumi Tahiti dalam pesta yang disebut Tama'am'a.
Pesta itu "tak pernah berobah oleh pengaruh peradaban dan
kebudayaan Barat", katanya. Meski sejak abad ke 18 Tahiti sudah
disentuh pengaruh Barat, manakala para Eropa yang haus tanah
jajahan memergoki pulau-pulau di Lautan Teduh itu (sejak 1880,
di masa Raja Pomare IV berkuasa, Tahiti resmi jadi koloni
Perancis).
Syahdan tarian-tarian itu pada mulanya dimaksud untuk upacara
agama. Untuk menyembah dan menghormati Ore, Dewa Perang, atau
Dewi Kecantikan Tane. Para wanita dan gadis yang menari-nari
dengan menggoyang-goyang pinggul plus kaki dengan cepat itu
biasanya mengambil tempat di "persembahan berhala" yang disebut
marae.
Marae-marae itu, pada waktu orang Eropa berdatangan,
dihancurleburkan. Tapi tari-tarian persembahan iu sendiri tetap
hidup. Tentu saja sudah berobah sifatnya: kini buat
mengelu-elukan tamu, atau orang kaya. Atau penghangat suasana
pesta.
Tarian jenis hula-hula itu, yang bertempo cepat disebut Otea.
Sebab ada tarian yang bertempo sebaliknya, yang disebut Aparima.
"Gadis-gadis penari lebih menyukai Otea daripada Aparima", tutur
Coco kepada TEMPO. "Wajar agaknya. Sebab dengan busana
tradisionilnya mereka bisa lebih mempertontonkan tubuh dan
goyang pinggul yang hm-hm itu.
Mereka memasang kembang Tiare Tahiti sejenis bunga yang konon
tumbuh di sana. Bunga berwarna putih berhelai tujuh ini, bila
diletakkan di kuping kanan, berarti sang gadis masih cari
pasangan, begitu. Bila sebaliknya, bermakna "sudah terisi".
"Mungkin pasangannya satu, mungkin juga sepuluh", tutur Coco --
anehnya ia tertawa.
Adapun aparima berarti tangan yang bicara. Gerakan memang
ditekankan pada kelemah-lembutan dan isyarat tangan. Tari
Bora-bora (nama pulau di Tahiti) misalnya, menggambarkan pohon
nyiur melambai lewat gerakan tangan. Alat musik sebangsa gitar
banyak digunakan sebagai pengiring. Perkara jatuh cinta, memetik
kelapa, derai ombak, dan ragam panorama pulau-pulau Tahiti,
merupakan tema-tema gerak tangan para jelita Tahiti itu.
Assoooi!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini