WIDYONO (11 tahun) pulang sekolah dengan wajah murung. Barusan
dalam pelajaran moral Pancasila, ia tersentak oleh komentar Pak
Guru soal rambutnya. Katanya seorang Pancasilais tidak gondrong
seperti Yono. Padahal selama ini ia yakin, rambutnya yang ikal
dan tebal sepanjang tengkuk itu merupakan kebanggaan. Seperti
selalu disanjung ibu bapak dan saudara-saudaranya. Juga dikagumi
oleh teman-temannya.
Dengan perasaan yang gundah, ia toh tanpa menunda-nunda
mengambil gunting. Dimintanya bapaknya memotong mahkota
kebanggaan dan harga dirinya. Karena lebih dari semua perasaan
dan kerisauan berkenaan dengan soal rambutnya, kebajikan seorang
Pancasilais yang digambarkan Pak Guru adalah juga kebajikan yang
ia ingin punyai.
Sesungguhnya ia tidak mengerti hubungan rambut dan Pancasilais
mencoba menghubungkan rambut Toma dan Kojak dengan kebajikan
mereka masing-masing. Juga rambut Bima dan Kala Bendana. Tetapi
ia tidak yakin, dalam iklim pengajaran Pak Guru di sekolahnya
apa ada hak untuk tidak mengerti. Karena itu, ia tidak bertanya
dan tidak membantah.
Seorang Dekan siang itu mengumpulkan mahasiswa tingkat sarjana
muda untuk diajak rapat. Dengan bijaksana dan kasih sayang,
ditanyakan apa ada soal-soal yang tidak difahami mahasiswa dalam
penyelenggaraan perkuliahan. Soal keharusan hadir, soal
kesempatan bertanya dan lain-lain. Karena Fakultas mengamati
gejala kemerosotan kehadiran dan kemerosotan nilai ujian mereka.
Secara mentakjubkan reaksi dan tanggapan mereka spontan. Silih
berganti beberapa mahasiswa yang biasa beku di kelas, bangkit.
Diraihnya corong pengeras suara dan mereka berpidato. Bahasanya
lancar, fikirannya jernih, isinya jelas, tetapi semangatnya, ...
astaga!
Kata mereka, semua sudah mengerti maksud baik Dekan. Semua sudah
mengerti dan sangat menghargai pertemuan tersebut. Semua
mengerti akibat apa yang mungkin dihadapi bila tidak hadir
kuliah. Bla bla bla mengerti dan bla bla bla mengerti. Karena
mengerti, mereka usul untuk membentuk panitia untuk merumuskan
apa yang sudah mereka mengerti itu.
Tetapi hari-hari berikutnya perbaikan dan perobahan yang
dikehendaki pertemuan tidak terjadi. Tingkat kehadiran tetap
rendah, nilai tentu saja tetap rata-rata buruk.
Dalam batin saya bertanya, apakah mereka sadar bahwa mahasiswa
pun berhak untuk tidak mengerti. Tidak mengerti toh tidak usah
berarti bodoh. Saya memperoleh kesan, ada semacam ketakutan yang
tak beralasan di antara mereka untuk secara jujur mengatakan apa
adanya. Termasuk mengatakan bila mereka sungguh-sungguh tidak
mengerti.
Rasanya ada hak yang sesungguhnya sangat diperlukan oleh semua
orang, tetapi di sini hampir tak seorangpun ingin memiliki hak
itu. Yaitu hak untuk tidak mengerti. Bayangkan bencana sosial
yang kita hadapi, bila semua orang dilarang tidak mengerti. Saya
kira konmnikasi bisa tidak relevan atau malah kacau-balau.
Karena semua orang harus mengerti atau terpaksa pura-pura
mengerti. Kumpulan orang semacam ini akan menjadi masyarakat beo
atau robot dalam menangkap dan meneruskan pesan atau makna.
Tetapi apakah kita semua sadar akan bahaya malapetaka uni? Saya
sering tertegun menyaksikan akibat tidak digunakannya hak untuk
tidak mengerti ini di satu pihak dan diobralnya hak dan
kewajiban untuk membual, berpidato di pihak lain.
Akibatnya banyak komunikasi, informasi dan pengajaran
disampaikan berupa gumpalan slogan demi slogan. Kata bersambung
yang berderet-deret itu sering disajikan seperti rituil, tanpa
kejelasan pengertian. Karena merasa atau terpaksa merasa tidak
ada yang tidak difahami, sementara mahasiswa mahaguru, politisi
dan pemimpin masyarakat hilang selera pemahamannya. Yang ada
selera untuk berpuisi dengan alunan suara dan rangkaian kata
yang muluk-muluk. Enggan membaca, enggan belajar, enggan
mengkaji tidak sudi bertanya biarpun tidak mengerti. Yang ada
keinginan berpidato, menghafal jargon dan bersilat lidah.
Dalam suatu pertemuan yang dihadiri banyak pamong desa, pak
Camat secara berapi-api berpidato soal Demokrasi Pancasila, GBHN
dan Pelita. Sebagian besar hadirin bengong, tetapi semua
manggut-manggut. Untaian kata berantai tak bermakna itu toh
terangkai dalam ungkapan yang bisa enak didengar, biarpun banyak
yang tidak bisa difahami.
Pak Camat juga tak ketinggalan berpantun koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan simplifikasi. Juga soal pembangunan manusia
seutuhnya. Lalu soal kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Tiba-tiba Kang Mukmin, salah seorang Kamituwo yang hadir,
mengacungkan tangan. Laksana seorang martir ia berdiri dengan
tekad baja, biarpun kakinya menggigil dan keringat dingin
mengucur. la mengumpulkan semua keberanian untuk secara jujur
dari lubuk hatinya ia bertanya: "Apa dalam pertemuan ini
kepareng (diizinkan) bila ada yang tidak mengerti pak ?"
Jawab pak Camat bisa anda terka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini