SEJAK April lalu panen (kecil) cengkeh sudah mulai di Sulawesi
Utara. Panen besar yang sekali 4 tahun itu, akan dimulai bulan
Juli hingga Agustus mendatang. Ini berarti perang antara
BUUD/KUD lawan para pengijon sudah dimulai. Namun pihak pertama
(BUUD/ KUD) agaknya masih belum memiliki nafsu tempur
sepenuhnya. Mengapa?
Sejak tahun lalu BUUD/KUD sudah disiapkan Pemerintah Daerah
Sulawesi Utara sebagai pembeli dan penyalur tunggal cengkeh dari
para petani. Ini sesuai dengan Keputusan Presiden no. 50/76.
Tugas ini dimaksudkan agar para petani terhindar dari permainan
harga maupun para pengijon yang hampir sepanjang sejarah tanaman
cengkeh di daerah ini selalu menghantui para petani. Sebagai
modal bagi seluruh BWD/KUD yang ada Direktorat Koperasi Sulawesi
Utara bersama Pemerintah Daerah setempat berhasil mendapat janji
dari pihak Pemerintah Pusat untuk meminjamkan modal sebesar Rp
11,4 milyar.
Bonny Lengkong
Sebenarnya dengan perkiraan dalam panen raya ini kelak para
petani cengkeh di propinsi ini akan memungut sebanyak 18.000
ton, sekitar Rp 63 milyar perlu disediakan untuk modal 19
BUUD/KUD yang ada di daerah ini. Ini jika dihitung dari harga
pembelian terendah dari petani sebesar Rp 3.500 per kg. Tapi
hingga akhir Mei baru lalu, kredit yang pernah dijanjikan pusat
itu belum juga muncul, walau satu rupiahpun.
Tak heran jika untuk menghadapi hasil panen kecil ini saja para
pengurus BUUD/KUD sudah lesu. Para petani sudah butuh uang dan
buru-buru menyetorkan hasil cengkehnya ke kantor BUUD/KUD
terdekat. Tapi kas masih kosong. Karena untuk menghadapi panen
raya yang tinggal beberapa saat itu lagi, taklah sedikit modal
yang diperlukan petani-petani itu. Dari pihak lain baik para
pengurus BWD/KUD mau pun petugas desa dibebani tugas untuk
mengintai kalau-kalau ada petani yang diam-diam menjualkan hasil
cengkehnya kepada para tengkulak.
Perjuangan untuk mendapat kredit bagi modal BUUD/KUD dari pihak
Pemerintah Pusat itu dipelopori oleh Bonny Lengkong, seorang
residen pensiunan dengan tugas khusus mengurusi soalsoal ekonomi
daerah ini. Oleh karena itu ketika janji pinjaman itu tak
kunjung tiba juga sementara para petani dan pengurus BUUD/KUD
sudah gelisah, Bonny Lengkong pula yang cepat naik pitam. "Kalau
terlalu lama kredit dari bank, tidak ada gunanya", ucap Lengkong
dengan marah di hadapan rapat camat wilayah cengkeh baru-baru
ini. "Uang setanpun boleh kita pakai", tambahnya.
Ternyata sambil bolak-balik ke Jakarta, Lengkong mengambil jalan
darurat. Uang setan yang dia maksudkan rupanya modal sebesar Rp
8 milyar dari 4 buah perusahaan besar di Manado. Keempat
perusahaan itu, masing-masing Benteng Tulus, Mega, Panca Wenang
dan Kencana Tulus, sekaligus dapat kesempatan membeli cengkeh
dari petani bersama-sama dengan BUUD/KUD. Mengapa harus 4
perusahaan itu? Bukan karena dinilai uang mereka banyak, tapi
"karena besar partisipasinya dalam pembangunan daerah", begitu
alasan yang terdengar.
Puskud
Dalam kerja sama itu pada kontrak tak ditetapkan harga
pembelian. Sebab harga akan ditentukan oleh pihak
perusahaan-perusahaan itu bersama-sama BUUD/KUD pada saat
pembelian terjadi sesuai dengan harga pasaran. Untuk ini Puskud
(Pusat Koperasi Unit Desa) yang berkedudukan di Manado setiap
saat bertugas memonitor harga cengkeh dan memberitahukannya
kepada BUUD/KUD. Ini agar para pengurus BUUD/KUD tidak dikecoh
para pengusaha. Sebaliknya agar para petani tidak menjadi korban
persekongkolan antara pengusaha dan BUUD/KUD, ditentukan setiap
terjadi pembelian cengkeh, tembusan fakturnya harus dikirim ke
Puskud dan Pemerintah Daerah.
Jika suatu saat kredit dari Pemerintah Pusat itu datang juga,
BUUD/KUD dapat bebas menjual cengkeh kepada siapa saja. Tapi
untuk menjaga agar badan ini tak jadi mainan sindikat cengkeh di
Surabaya dalam menentukan harga, Puskud (yang menangani
perdagangan cengkeh antar pulau) akan menjadi anggota Gabri
(gabungan pabrik rokok Indonesia). Namun di atas semua ini,
berhasil atau tidaknya perang melawan ijon yang menjadi
cita-cita Pemda Sulawesi Utara selama ini, agaknya tetap banyak
tergantung pada para pengurus BUUD/KUD sendiri di samping modal.
Karena itu Lengkong memberi aba-aba kepada para camat dan
pengurus BUUD/KUD: "Jangan kotori jari-jarimu dengan uang panas.
Kalau berhasil, namamu tercantum dalam sejarah pemberantasan
ijon. Tapi kalau gagal, berarti ini terakhir kita bicara soal
koperasi dan kitalah yang mencoret pasal 33 UUD 45 itu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini