Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Bertemu Hewan Liar dalam Jelajah Malam di Hutan Tanjung Puting

Night trekking atau jelajah malam hari, menjadi salah satu aktivitas wisata pelancong saat berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting.

20 Februari 2018 | 14.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Evawi, pemandu night trekking di hutan Tanjung Puting, sedang memantik tarantula untuk keluar dari rumahnya, Minggu malam, 18 Februari 2018. Tempo/Francosca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Tanjung Puting- Night trekking atau jelajah malam hari, menjadi salah satu aktivitas wisata yang bisa dinikmati pelancong saat berkunjung ke hutan di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Kegiatan memicu adrenalin ini dapat dilakukan di beberapa titik atau camp di taman nasional itu. Salah satunya di Pondok Ambung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya menjajal aktivitas jelajah malam tersebut pada Minggu malam, 18 Februari 2018, lalu. Ditemani Evawi, pemandu wisata yang telah 15 tahun berkarya di Pondok Ambung, saya mulai menyusuri hutan, dua jam setelah matahari tenggelam.

Jelajah malam dimulai dari dermaga Pondok Ambung, tempat klotok atau kapal kayu berlabuh. Lokasinya masih di sepanjang aliran Sungai Sekonyer--sungai utama jalur wisata Taman Nasional Tanjung Puting.

Hutan itu letaknya kira-kira 1 kilometer dari dermaga. Pepohonan pasak bumi yang banyak tumbuh di hutan Pondok Ambung menjadi gerbang pembuka perjalanan malam menyusuri rimba.Tarantula keluar dari rumahnya di hutan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tempo/Francisca Christy Rosana

Malam di hutan tampak lebih gelap. Padahal baru pukul 20.00. Tetumbuhan setinggi lebih dari 2 meter yang berjajar rapat membuat pantulan cahaya dari bintang tak tertembus. Penerangan dari ponsel juga tak cukup membantu. Jalan masuk hutan mulai tampak ketika Evawi menyalakan heatlamp.

"Kita akan berputar di hutan ini kira-kira 1 jam. Jaraknya 2 kilometer," tutur Evawi.

Bebunyian tonggeret atau serangga hutan menjadi lagu alam yang mengiringi perjalanan. Sesekali, terdengar juga suara burung hantu dan bebunyian lain, seperti gesekan kayu, membentuk irama pung-pung-pung yang tak tentu.

Di hutan kala petang hari, kata Evawi, pengunjung bisa melihat ribuan binatang. Mulai serangga, hewan melata, sampai reptil. "Tapi hewan yang biasanya paling ingin dilihat wisatawan di sini kalau trekking malam adalah tarsius," kata Evawi.

Tarsius adalah primata kecil yang dialiaskan kera hantu. Hewan ini hidup sektoral. Mereka bisa ditemui di titik-titik tertentu di hutan.

Sayangnya, pada penjelajahan malam itu, saya tak menemui tsrsius. "Hanya ada baunya. Hewannya tak kelihatan," kata Evawi.

Menyaksikan tarsius mememang untung-untungan. Kalau beruntung bisa bersemuka, kalau tidak, pengunjung masih bisa menyaksikan banyak jenis fauna lain.

Misalnya tarantula atau laba-laba berukuran besar. Saya beruntung bisa menjumpainya malam itu. Mereka hidup di dalam tanah. Rumahnya seperti gorong-gorong. Untuk memancing tarantula keluar, Evawi memantiknya dengan rumput teki.Jamur hutan di hutan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tempo/Francisca Christy Rosana

Semut salim atau semut pemakan daging juga sempat menyapa kami. Semut itu bahkan menggigit kaki Evawi, yang langsung merasa kesakitan. "Lari, kalau ada semut (salim) lari," tuturnya.

Berturut-turut, planthopper atau wereng, burung tempulu, kalajengking, semut gonggong atau semut raksasa, dan ular tanah juga saya jumpai.

Hewan lain yang berpotensi muncul, ujar Evawi, adalah babi hutan, ular lombok, ular piton, dan macan tutul. "Mereka sering melintas di samping pengunjung. Kalau ketemu, diam saja, jangan ganggu.”

Adapun flora unik yang dapat dilihat di hutan ini di antaranya ialah pohon gembor atau pohon obat nyamuk, dan glowing mushrooms atau jamur menyala.

Jalur selama trekking memang datar. Pengunjung akan melewati hutan dan bekas kebun milik warga tempo dulu, yang bermukim di sekitar hutan sebelum wilayah itu dijadikan taman nasional.

Namun kudu hati-hati lantaran banyak jalan setapak dengan jurang yang menganga di salah satu sisinya. Ditemui pula jebakan kancil berupa lubang persegi 1 x 1 meter dengan kedalaman lebih dari 2 meter.

Waktu terbaik untuk night trekking adalah pukul 18.00 sampai 22.00. Syaratnya, pengunjung kudu ditemani pemandu wisata. Mereka cukup membayar Rp 50-100 ribu untuk tiket masuk sekaligus jasa pemandu.

Menuju lokasi trekking, pengunjung menunggang klotok dari Dermaga Kumai dan menyusuri Sungai Sekonyer. Waktu tempuhnya berkisar 4 jam dengan jarak 45 kilometer. Disarankan menginap di klotok bila ingin susur hutan malam hari. Biaya menyewa klotok berkisar Rp 2,3 juta per orang untuk 3 hari 2 malam.

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus