Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Bila Remaja Bermain Wayang

Wayang Orang Remaja Bharata berpentas di Gedung Kesenian Jakarta pekan lalu. Sebuah upaya alih generasi sebuah kelompok kesenian rakyat.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGONG menembang di atas panggung. Begini syairnya: "...Awan-awan blanja nang Pasar Paing. Prawan randa, kanggo aku ora penting…." (Siang-siang berbelanja ke Pasar Paing. Perawan janda buat aku tidak penting). Nyanyian Bagong, satu dari trio punakawan dalam kisah pewayangan itu, dilantunkan saat kelompok Wayang Orang Remaja (WOR), yang terdiri dari 100 anak muda—generasi kedua Wayang Orang Bharata—mementaskan lakon Salyo Wiratama di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jumat silam. Di balik seragam punakawan, Sigit Sanjaya, 23 tahun, si pemeran Bagong, sesungguhnya menyimpan profil seorang remaja Ibu Kota yang funky. Penari bertubuh langsing dan liat ini gemar mengenakan celana longgar hitam pekat dipadu kaus tanpa lengan. Rambutnya gondrong, separuhnya dicat dengan warna-warna gradatif: cokelat muda hingga setengah pirang. Tampangnya lebih mirip remaja kosmopolitan penggemar MTV ketimbang pemain wayang orang—kesenian rakyat yang kian pudar di tengah deru kehidupan metropolitan. Sigit Sanjaya memang remaja Ibu Kota. Ia pergi ke mal, melukis pada waktu luang, menyantap pop corn, dan minum Coca-Cola. Ia menari di Teater Tanah Air dalam pentas Hanoman Obong, memainkan peran pengganti dalam beberapa sinetron, dan membiayai dirinya sendiri sejak usia 20 tahun. Anak muda itu masih tinggal bersama kedua orang tuanya di Padepokan Wayang Orang Bharata, Sunter, Jakarta Utara (lihat: "Dari Sunter, Mereka Berkarya"). Di sana, kata Sigit, ia tumbuh dalam suasana wayang orang. Sejak usia enam tahun, Sigit dan kawan-kawannya rajin menonton pertunjukan wayang orang. Dari bibir panggung atau dari balik tabir pentas, mereka menyaksikan ayah dan ibunya, paman, bibi, serta sepupu memainkan berbagai lakon di Gedung Wayang Orang Bharata di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Di sanalah, selama 27 tahun, wayang orang dipentaskan. Tak peduli jumlah penonton. Tak peduli hujan dan panas. Setiap malam, sepanjang tahun, selalu ada lakon yang bisa ditonton, dari Karno Tanding, Kalabendono Leno, Gatotkaca Gugur, hingga Wirata Parwa. Di sinilah anak-anak muda seperti Indri Setianingsih, Sentot Bambang Gunawan, Endri, Deri, atau Nanang Ruswandi, mula-mula menyerap ilmu wayang dari orang tua mereka. Heru Purnomo, 55 tahun, dan Mamiek Kies Slamet, 45 tahun, adalah dua tokoh senior Wayang Orang Bharata (WOB) yang aktif membina WOR yang masih masih muda usia: enam tahun. Menurut Heru, prakarsa membentuk wayang remaja ini lahir dari anak-anak muda itu sendiri. Komunitas tempat anak-anak ini tumbuh dewasa rupanya adalah ruang sosialisasi yang efektif. Nanang Ruswandi, salah seorang tokoh utama WOR, adalah contoh anak muda yang kemudian mengembangkan sosialisasi ini pada tingkat akademis. Ia belajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Seusai kuliah, ia bekerja penuh untuk WOR. Nanang dan teman-temannya mematok cita-cita yang tinggi: melestarikan wayang dan membawa kesenian rakyat ini hingga ke tingkat internasional. Faktor pendidikan dan pengalaman di luar komunitas membuat para anak muda ini membawa semacam pembaruan dalam latihan mereka. Nanang, misalnya, melihat bahwa generasi orang tuanya semata-mata mengandalkan wibawa, tanpa memperhatikan suasana, pola lantai, komposisi, dan pencahayaan. Sementara itu, menurut Nanang, sebuah lakon bisa dikembangkan dengan memperhatikan berbagai unsur di atas, tanpa mengubah pakem. Menarik bahwa dengan kondisi finansial yang sangat marginal—pengeluaran Rp 4 juta dan pemasukan Rp 1 juta untuk setiap pentas, sebagian anak muda WOR tetap saja percaya bahwa wayang orang tak akan kehilangan masa depan. Salah satunya, Teguh Ampiranto, 32 tahun, pemain sekaligus koordinator. Ia sudah 15 tahun aktif bermain wayang orang. Lalu, tatkala WOR berdiri, Teguh praktis mengurus dan mengembangkan organisasi itu bersama rekan-rekannya. Ia yakin bahwa dengan promosi dan latihan yang lebih serius, kesenian rakyat itu bukan hanya mampu bertahan, tapi meningkatkan taraf hidupnya. Maka, Jumat pekan lalu, seratus anak muda itu seolah-olah tidak hanya mementaskan lakon. Mereka sendiri seakan-akan tengah melakoni sebuah pergeseran sosial: dari gedung yang pengap, panas, dan berbau pesing di kawasan Senen yang hiruk-pikuk ke GKJ. Di gedung pertunjukan berusia 188 tahun yang selama sekian masa menjadi simbol kaum elite itu, wayang orang seakan-akan "dinaikkan" kelasnya oleh anak-anak muda Ibu Kota, yang bermain tanpa dibayar. "Kami dibayar oleh kesenangan bermain, bukan uang," ujar Indri Setianingsih, seorang penari. Seperti Sigit, yang merasa impas oleh kesenangan, menembang campursari di atas panggung. "… Nang Semarang tuku gelang opo anting-anting? Ojo sumelang, yo ben rondo, dijamin kempling..."(Ke Semarang membeli gelang atau anting-anting? Jangan khawatir, biar janda, dijamin oke). Hermien Y. Kleden, Arif Kuswardono, dan Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus