Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa Harus ke Peradilan Sipil

Polisi berwenang memeriksa Jaksa Agung Andi Ghalib karena deliknya bersifat tindak pidana umum. Kalau deliknya militer, barulah diproses di peradilan militer.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASRAT untuk menegakkan kemandirian lembaga yudikatif, yang dituntut masyarakat sejak awal Orde Baru, tampaknya akan terwujud. Kelak, pemerintah sebagai lembaga eksekutif tak bisa lagi mencampuri urusan kekuasaan kehakiman. Sebab, wewenang pemerintah terhadap hakim akan dicabut dan diserahkan ke Mahkamah Agung (MA). Itulah prinsip baru dalam rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang kini dibahas DPR. Selama ini, kekuasaan kehakiman dipecah dua: wewenang yudisial di MA, tapi wewenang administrasi, organisasi, dan finansial ada di pemerintah. Dengan demikian, urusan non-yudisial bagi hakim peradilan umum dan peradilan tata usaha negara ditangani oleh Menteri Kehakiman. Sedangkan Menteri Agama mengurusi hakim agama dan Panglima ABRI (TNI) mengurusi hakim militer. Dualisme itu membuka celah bagi pengaruh eksekutif, sehingga hakim tak berani mengalahkan pemerintah bila digugat masyarakat. Namun, dalam rancangan perubahan tadi, campur tangan pemerintah dihapuskan. Hakim hanya akan punya satu atap dan satu garis komando, yakni MA. Lembaga peradilan tertinggi itu yang merupakan tampuk wewenang yudikatif dan menangani segala kepentingan hakim. Langkah awal reformasi yudikatif ini tentu harus disambut dengan baik. Terlebih bila konsep itu juga diberlakukan terhadap peradilan militer, yang menurut pengamatan Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cenderung eksklusif dan acap kali mengecewakan masyarakat. Menurut Bambang, peradilan militer terkesan melindungi dan menguntungkan kepentingan militer. "Berbagai kasus kriminal dialihkan hanya menjadi kesalahan prosedural dan hukuman terhadap terdakwanya ringan, cuma beberapa bulan penjara," ujarnya. Fenomena itu tampak pada kasus penyerangan anggota militer ke sebuah kampus di Ujungpandang. Yang lebih mencolok adalah kasus penculikan mahasiswa dan penggiat demokrasi—diduga dilakukan oleh anggota Komando Pasukan Khusus. Juga kasus penembakan mahasiswa Trisakti oleh personel Brigade Mobil. Kendati dipacu semangat reformasi, rencana penyatuan komando yudikatif ke MA tetap tak luput dari kritik. Dalam pembahasan rancangan perubahan undang-undang kekuasaan kehakiman di DPR, Kamis pekan lalu, beberapa anggota DPR menganggap pembinaan peradilan militer tak mungkin dilakukan oleh MA. Alasannya, mekanisme di peradilan militer bersifat khusus, baik yang menyangkut disiplin militer, hierarki kepangkatan, maupun adanya lembaga atasan yang dapat menghukum anggota militer (TNI). Terdakwa ber-pangkat brigadir jenderal, misalnya, tak mungkin diadili oleh hakim berpangkat kolonel. Untuk itu, sang hakim harus berpangkat minimal sama dengan pangkat terdakwa. Hal khusus seperti itu tentu tak bisa diatur oleh MA. Dengan kalimat lain, hal itu tetap menjadi wewenang panglima TNI. Jadi, "Kalaupun nantinya disatukan ke MA, kekhususan itu harus dipikirkan," kata Aisyah Amini, anggota DPR. Bagi ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Loebby Loqman, masalah kepangkatan tak menjadi kendala bagi konsep peradilan satu atap ke MA. Justru yang perlu diperhatikan, menurut Loebby, adalah wewenang peradilan militer. Sebab, peraturan perundang-undangan sekarang memfokuskan peradilan militer pada subyek pelaku tindak pidana. Bila terdakwanya militer, ia ditangani peradilan militer. Seharusnya, obyek perkaralah yang dijadikan ukuran. Bila deliknya bersifat tindak pidana umum, meski pelakunya militer, ia harus diadili di peradilan umum. Jadi, "Seorang jenderal yang melakukan tindak pidana umum diproses di pengadilan umum," ujar Loebby menegaskan. Bila tindak pidananya menyangkut obyek militer, umpamanya kejahatan perang atau berhubungan dengan profesionalisme militer—mencuri senjata api, misalnya—barulah pengadilan militer yang menanganinya. Dengan begitu, proses perkara koneksitas (tindak pidana yang dilakukan orang sipil bersama anggota militer) tak perlu ada. Sebabnya sederhana saja, kalau tindak pidananya umum, ya, kasusnya dibawa ke peradilan umum. Contoh paling tepat adalah perkara Jaksa Agung (nonaktif sementara) Andi M. Ghalib, yang terus-menerus diwarnai perkembangan kontroversial. Perkara ini seharusnya dibawa ke peradilan umum. Dan ini wajar karena menyangkut tindak pidana umum, berupa penyuapan. Jadi, polisi berwenang penuh untuk menyidiknya, sedangkan polisi militer tak perlu repot atau pusing kepala. Happy Sulistyadi, Hani Pudjiarti, dan Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus